Menurut KBBI, Etika diartikan
sebagai sebuah bidang ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan apa yang
buruk, serta hak dan kewajiban moral (akhlak). Menurut Brooks, Etika merupakan
cabang ilmu filsafat yang menyelidiki penilaian normatif terhadap benar atau
apa yang seharusnya dilakukan. Etika berlaku kapanpun, baik dalam pergaulan
maupun saat seseorang menyendiri. Etika inilah yang dapat diasosiasikan dengan
behavior atau kebiasaan. Etika memandang manusia pada batinnya (jiwanya).
Sehingga Etika tidak dapat disamakan dengan attitude, tetapi lebih kepada behavior.
Dari sudut pandang psikologi, behavior atau kebiasaan merupakan rutinitas yang
dilakukan secara otomatis, seringkali di alam bawah sadar, atau spontanitas.
Sementara itu, ada istilah lain
yang lebih tepat ditujukan kepada perilaku yang diputuskan oleh alam sadar
manusia, yaitu etiket atau etiquette
dalam bahasa Prancis. Di mana etiket diatur oleh norma-norma sosial tempat seorang individu berasal. Menurut KBBI, Etiket adalah tata cara (adat) yang
dilakukan dalam rangka menjaga hubungan baik sesama manusia. Contoh etiket
adalah gestur menunjukkan jempol yang di Indonesia dianggap positif, tetapi ada
negara yang menilainya kurang ajar atau negatif. Berbeda dengan Etika, Etiket
hanya berlaku dalam tataran pergaulan saja. Apabila individu sedang tidak
bersama rekannya, maka dia bebas dari aturan etiket. Etiket memandang individu
dari segi luarnya saja, tidak mempedulikan aspek batiniah individunya. Etiket
ini sangat relatif.
Etika adalah cerminan jiwa
seseorang, berbeda dengan Etiket yang belum tentu merupakan cerminan jiwa.
Seringkali kita tertipu oleh etiket seseorang yang terkesan baik. Khususnya
dalam hal berbicara, kedengarannya baik dan santun. Perihal survival,
mengetahui motif seseorang di balik etiket yang baik sangatlah perlu. Tidak
jarang kita menemukan etiket manis yang membungkus etika buruk. Contohnya,
pidato Prabowo yang berbunyi, “Ga papa mencuri, asalkan santun”. Kalimat tersebut
sangat kontradiktif. Kalimat pertama merupakan cerminan etika yang buruk,
sementara kalimat kedua adalah cerminan etiket yang baik.
Kesantunan seseorang dapat
menjadi pertanyaan besar, apabila di lain kesempatan kita menemukan seseorang
tersebut ternyata beretika buruk (berniat buruk). Ingat, Etika bersifat
batiniah, sementara etiket bersifat lahiriah. Ketidaksesuaian etika dan etiket melahirkan kepribadian yang tidak paripurna. Dalam istilah lain, disebut
munafik (hipokrit). Lain di hati, lain di mulut. Lain di niat, lain di perbuatan.
Adalah suatu gejala yang saya
alami di lingkungan sekitar saya, kebanyakan menyamakan etika dan etiket ke
dalam istilah attitude. Attitude.
Kata ini identik dengan ranah profesionalitas kerja, khususnya dalam pergaulan
para pelaku seni. Sedikit-sedikit, seorang pelaku dinilai dari attitude-nya. ‘attitude’ adalah kosa kata
bahasa Inggris yang padanan katanya dalam bahasa Indonesia adalah ‘perilaku’.
Menurut Kendra Cherry di verywellmind.com, sebuah situs ilmu psikologi, “An attitude refers to a set of emotions,
beliefs, and behaviors toward a particular object, person, thing, or event.
Attitudes are often the result of experiecnce or upbringing, and they can have
a powerful influence over behavior”, di mana maksudnya kurang lebih seperti
berikut, “Perlaku merujuk pada rangkaian emosi, keyakinan, dan kebiasaan
(seseorang) terhadap objek tertentu, misalkan benda atau kejadian. Emotions dan
beliefs merupakan dua aspek batiniah. Berarti attitude lebih pas jika
diasosiasikan dengan “etika”.
Gejalanya, apabila seorang
individu mengeluarkan kata-kata kasar dalam sebuah percakapan, atau secara
spontan mengeluarkan kata kasar, individu tersebut dituduh tidak ber-attitude
baik. Sebuah tuduhan yang tidak sesuai, sebab kata-kata adalah urusan etiket,
urusan lahiriah, dan belum tentu sama dengan urusan batin atau etikanya. Kembali kepada definisi menurut
Kendra Cherry, attitude merupakan hasil dari pengalaman individu dan
berpengaruh besar kepada kebiasaannya. Dalam artian, attitude merupakan reaksi
individu atas lingkungannya. Bila perilaku awal seseorang kepada individu
tersebut disebut aksi, maka attitude adalah reaksi. Tidak tepat kemudian bila tutur
kata yang spontan serta-merta dihubungkan dengan isi batin yang buruk. Boleh jadi,
reaksi tersebut adalah sikap defensif. Boleh jadi reaksi tersebut merupakan
buah dari etika buruk kita kepadanya.
Dengan demikian, dalam hal
menyikapi sikap buruk seseorang, kita lebih baik refleksi dahulu. Mengapa
etiketnya kurang baik, apakah itu berhubungan dengan etikanya, apakah etika
tersebut adalah reaksi dari etikaku? Berpikir sebelum judging. Value sebuah etika itu tidak dapat diukur oleh etiket
belaka, etika harus dilihat secara menyeluruh, melihat pola pikir individu,
melihat pengalamannya, melihat prinsip-pripsipnya. Jangan sampai kita pernah
tertipu oleh etika buruk yang berbalut etiket manis. Jangan sampai, di sekitar
kita lebih banyak orang-orang yang tidak sinkron antara etika dan etiketnya.
Boleh jadi, mereka yang gagap etiket sebenarnya memiliki etika yang baik. Kita
perlu pandai menilai individu yang fake dan individu yang genuine.
Psychology Today memberikan
ciri-ciri genuine people sebagai berikut;
- 1. Genuine
people tidak malu mengutarakan opininya, entah itu benar atau salah dan mereka
tidak membutuhkan dukungan atas opini tersebut. Mereka mengatakan kebenaran,
memberitahukan kejujuran, tanpa peduli respon di sekitarnya.
- 2. Genuine
people lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengeksplorasi keyakinan,
idealisme, dan ekspektasi, ketimbang memikirkan hasil-hasil yang materialistis.
Pemikiran mereka substansial, lebih kepada basic atau pondasi ketimbang hal-hal
yang bersifat sensasional.
- 3. Genuine
people tidak takut kepada kegagalan. Kegagalan dianggapnya sebagai bagian dari
perjalanan menuju keberhasilan.
- 4. Genuine
people berani mengakui kesalahannya dan belajar darinya. Lebih jauh, apabila
bersalah, mereka akan bertanggung jawab atas kesalahan tersebut.
- 5. Genuine
people tidak judgmental. Mereka menerima perbedaan rasial, latar belakang,
hingga karakteristik. Jarang sekali orang-orang genuine ini dapat bersikap
rasis. Mereka dapat berteman dengan
siapapun, kaya atau miskin, tampan atau jelek, dan sebagainya.
- 6. Genuine
people memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Ini adalah result dari kombinasi
karakteristik di atas: jujur, subtantif, tidak takut gagal, berani mengakui
kesalahan, dan tidak judgmental. Mereka tidak menemukan adanya kekeliruan dalam
etika atau batin mereka. Sebab jujur, subtantif, berani dan terbuka adalah
hal-hal yang positif.
Sebagai
hasilnya, berada di antara orang-orang beretika baik (genuine people) dapat
memberikan rasa aman dan nyaman. Etika inilah yang ditanamkan dalam berbagai
budaya kuno di dunia, dalam berbagai ajaran agama agar menjadi kebiasaan.
Itulah mengapa sering kita mendengar istilah, “Kita dapat percaya kepada
orang-orang yang beretika baik,”, sekali lagi berarti percaya kepada orang-orang yang berniat baik. Bagaimana menilai individu yang beretika baik? Yaitu dengan melihat ciri-ciri genuine di atas. Bila sinkron buah pikir dan perilakunya, itulah yang disebut individu beretika baik. Bila tidak senang kepada sesuatu, dia akan jujur mengatakannya. Bila senang, dia akan memuji. Orang-orang yang beretika baik penuh tanggung jawab dan berpikir subtantif, mereka juga berani dan penuh kepercayaan diri.