Hari Milad dan Kebenaran

Baik dari adat keluarga maupun adat agama, aku tidak pernah diajarkan untuk merayakan hari kelahiranku. Ayahku lebih senang merayakan prestasi atau pencapaian, seperti semasa kecilku dahulu. Aku baru dapat hadiah mainan kalau juara satu di kelas atau memenangkan lomba. Setiap 18 November, ayahku hanya memintaku shalat yang panjang dan lama untuk berdoa dan meminta ampunan dari Karaeng Allah Ta'ala. 

Pernah suatu waktu, teman-temaku memberi kejutan kue berlilin dan beberapa kado. Tak tahu apa yang harus kulakukan pada kue berlilin itu, jadi kutiup sekenanya kemudian membuka kado. Bukannya tak bersyukur, tetapi teman-temanku memberi hadiah yang sama sekali tidak kubutuhkan. Perayaan yang sia-sia, bukan?

Kusembunyikan hari kelahiranku kemarin, dari kawan-kawanku yang sekarang sebab aku tak ingin mereka kecewa dengan ketidaktahuanku pada perayaan seperti itu. Apalagi jika ada yang memberi kado berisi benda-benda yang tidak aku butuhkan. Senyumku pastinya akan palsu. Namun, iya tetap dalam hatiku ada seseorang yang berpikiran esensial, yang dapat melihat hari kelahiran sebagai sebuah ajang memberi yang berfaedah dan kesempatan membuktikan rasa cinta kepadaku.

Aku yakin mereka akan menunjukkannya, mereka orang-orang yang baik. Selain menghindari posibilitas kejadian fales di atas, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama mereka, tanpa mereka sadari, tanpa merasa terpaksa harus berada di sekitarku. Dan begitulah, sejauh ini di 2018 lah kurasakan menghidupi hari kelahiran yang paling hangat seumur hidupku. Semua teman terbaikku kumpul bersama di satu meja, bermain kartu joker dan berbego-bego ria merah kembali muncul di langit.

Terima kasih, wahai Tuhanku.
Engkau Maha Penyanyang.

0 comments: