Beberapa tahun silam, tanpa
peralatan yang memadai, tanpa pelatihan khusus, bahkan dana yang cukup, saya
dan teman-teman yang memiliki minat kuat pada perfilman berkumpul dalam
komunitas bernama Findie Makassar. Kami bukan dari lembaga kursus perfilman,
studi ilmu komunikasi, atau kampus yang mengajarkan film dan pertelevisian.
Kami hanyalah penikmat film yang penasaran bagaimana cara berkarya melalui
media audio-visual. Saya dan almarhum teman saya belajar sastra asing, seorang
lagi adalah mahasiswa teknik elektro, dan dua orang merupakan arsitek, kami
memanfaatkan hasil pembelajaran dari studi masing-masing untuk diterapkan dalam
membuat film. Semangat yang besar menjadikan Findie Makassar sebagai komunitas
sederhana dengan pintu yang terbuka luas untuk siapapun. Dalam tahun-tahun
aktif kami, Findie Makassar menjadi komunitas film-enthuasiast yang ramah,
toleran, dan fleksibel di kota Daeng.
Tak heran jika kemudian banyak
acara kota atau program-program yang dekat ke masyarakat berafiliasi dengan
kami, baik secara individu maupun membawa nama kelompok. Sebutlah acara-acara
bedah film, event musik, event bedah buku, pemutaran film di lokasi KKN
reguler, hingga kami bekerjasama dengan dua komunitas film-enthusiast lainnya
untuk menggelar Makassar Film Festival di 2013. Apa benar kegiatan itu disambut
sebagai pesta penggemar, penggiat, dan pelaku film di timur Indonesia? Sebagai
orang yang pernah mengemban amanah mengarahkan festival tersebut, saya hanya
bisa mengatakan apa yang kami persiapkan selama lebih-kurang 12 bulan itu mendapatkan
apresiasi dan penerimaan yang baik, di kota Makassar hingga nasional. Rekam
jejak digital kami ada dan tidak dibesar-besarkan di media-media daring.
Silakan cek sendiri.
Apa kabar Makassar Film Festival 2014?
Beberapa bulan setelah penutupan
MFF 2013, panitia inti mengumumkan melalui www.makassarfilmfestival.com
(maaf, website ini sudah tidak eksis lagi, tetapi barangkali ada media yang
pernah memberitakan update di sana) bahwa kami akan menggelarnya di tahun 2014.
Selama 6 bulan kami mencoba mencari dukungan moril kepada para senior penggiat
film di Makassar dan nasional, juga tokoh-tokoh yang malang-melintang di festival,
kami juga mencari dukungan funding dari pemerintahan, yayasan terkait, hingga
ke perusahaan yang dinilai bersinergi dengan visi dan misi kami. Di saat yang
bersamaan, antusias pembuat film dari berbagai daerah di Indonesia terus
bertumbuh dan mereka dengan penuh optimisme mengirimkan karya-karya mereka
untuk dikurasi oleh tim kami.
Akan tetapi, malang tak dapat
ditolak. Upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil sesuai harapan, bahkan
benar seorang dari komunitas yang berafiliasi dengan kami memilih untuk
memprioritaskan agenda-agenda komunitasnya sendiri dan mengesampingkan Makassar
Film Festival yang wajib lebih baik dan lebih berkualitas dari tahun
pertamanya. Dari hasil audiensi dengan pemerintahan, kami menolak Makassar Film
Festival dijadikan agenda tahunan kota sebab tidak adanya kesepakatan yang
terjadi di antara kami terkait visi dan misi festival yang telah tertuang dalam
buku besar kami. Perbedaan pendapat pun hadir dalam internal kami. Ada yang
memilih berdamai dengan keadaan, ada yang tetap teguh kepada visi dan misi.
Sebagai pengarah, apalagi saat itu dewan penasehat seperti lepas tangan, dan
saya pribadi bukanlah orang yang bergelimang harta, maka Makassar Film Festival
2014 ditiadakan. Keputusan tersebut saya sampaikan melalui website kami, tak
lupa kami cantumkan agar para peserta yang telah mengirimkan karyanya dapat
menghubungi kami untuk pengembaliannya.
Bagaimana respon publik Makassar?
Tentu saja menyayangkan keputusan tersebut. Mereka saja sedih, apalagi saya
yang selama dua tahun mengabaikan perkuliahan saya demi Makassar Film Festival.
Komentar-komentar nyinyir dan menjatuhkan pun terdengar hingga ke telinga saya.
Itu hal yang wajar, sebab ada harapan yang mereka letakkan di pundak kami.
Hingga di satu kesempatan, pada pertemuan di Forum Film Makassar, beberapa
tahun silam. Banyak senior dan rekan penggiat film di Makassar mempertanyaan
gagalnya MFF edisi kedua. Tak banyak yang dapat saya katakan selain menjelaskan
ketidakcukupan dana penyelenggaraan. Di situ pula saya sampaikan kepada forum,
bahwa Makassar Film Festival kami konsep menjadi milik orang-orang Makassar
yang dapat dibanggakan dan dirayakan secara luas, tanpa mengenal sekat-sekat
komunitas, area studi, atau apapun itu yang selama ini selalu menjadi momok
besar bagi para penggiat. Karena itulah kami menggunakan nama “Makassar” yang
secara luas maknanya tentu tidak dapat dipersempit menjadi milik saya sendiri,
milik Findie Makassar, milik CAM, atau Fenagraphy.
Inti tulisan saya ada di paragraf
ini. Makassar Film Festival dilahirkan untuk menjadi bagian dari kota Makassar.
Siapapun anda, apabila memiliki niat yang baik dan tekad yang besar untuk
menghadirkannya kembali, dengan senang hati saya persilakan. Tak terhingga
kebahagiaan saya apabilan ada yang dapat terus menghidupkan festival ini hingga
bertahun-tahun mendatang. Satu saja pesan saya sebagai benar satu orang yang
ambil andil dalam proses kelahirannya, tolong untuk terus setia kepada karakter
Makassar Film Festival yang hadir untuk menjawab permintaan masyarakat secara
luas dan untuk menjadi pesta penggiat dan penikmat film tanpa melihat
sekat-sekat tersentu. Sebab Makassar Film Festival ini diciptakan untuk
menyatukan, bukan untuk membeda-bedakan.
0 comments:
Post a Comment