Seperti Rindunya Petani

Aku merindukanmu seperti petani kepada hujan di bulan September.
...

Hujan pertama Oktober, membasahi tanah yang kutatap geram. Ada kesejukan yang tidak selesai. Aku enggan meratap, ini keputusan yang kami buat bersama tanpa kata-kata.

Aku merasakannya, ayah. Perasaanmu pasti remuk kala itu, menyimak anak-anakmu bertengkar dan kau tidak dapat berbuat apa-apa. Aku merasakannya, ayah. Bagaimana kau ingin kupapah beranjak meninggalkan rumah itu demi menjalani sisa usiamu bersamaku, ya, juga dengan kucing-kucing ini. Aku merasakannya, ayah. karena itu aku menangis di sini.



Ingatanku kuat, sangat kuat untuk mengenang kasih sayangmu. Masih terasa, aku, anakmu yang jadi tidak kau sangka-sangka ini, sangat senang berada di pelukanmu yang penuh cium dan gembira. Aku ingat saat kau mendudukkanku di atas meja makan agar kau dapat menertawai tingkah polahku.

Aku ingat panikmu saat pelukanku terlepas dari pinggangmu, kau takut aku tertidur dan jatuh ke aspal.  Aku ingat, di atas Jeep kebanggaanmu, kau membuka lebar jendela, memutar lagu-lagu daerah. Aku menikmati pemandangan, kau menikmati musik dan perjalanan bersamaku.

Aku ingat setiap sabtu sore, kau mengajakku ke kampung dan tak sekalipun marah karena aku keluar mobil melalui jendela bukannya pintu. Aku tahu pula kalau kau melarang tante dan sepupu mencariku di kebun agar aku leluasa memanjat dari satu pohon ke pohon lainnya. Bila getah mangga menempel di bajuku, kau hanya tertawa dan memintaku mandi, ganti baju, lalu shalat.

Aku selalu menjadi kebanggaanmu, kesayanganmu, karena itu, di suatu sore kau menghentikan mobil demi membeli kaos judul sinetron “Tersayang” dan memintaku memakainya saat itu juga. Ayah, itu kaos kesayanganku walau tidak kutahu raib di mana.

Ayah, masih ingat pertama kali ayah memintaku bermain gin rummy bersama rekan kerja ayah hanya karena kekurangan jumlah pemain? Ayah tertua di sana, aku termuda. Masih kuingat betapa ayah bangga kepadaku, semuda itu dapat mengalahkan orang dewasa tanpa bersusah payah. Ayah juga mengajariku bermain dam, supaya bisa menemani santai soremu. Aku benar-benar anakmu yang spesial.

Ah, ayah. Kau tak pernah membiarkanku tidak merasa aman saat kau tidak di sekitar. Ada kakak-kakak, ada paman-paman yang kau pinta menjagaku, mengantarku, menemaniku bermain dan pasti kau marah bila mereka tidak melakukannya dengan baik.

Ah, gara-gara ayah juga aku dahulu dibenci teman sekolah karena diminta guru menggantikannya mengajar muatan lokal. Tahu tidak, yah... ibu guru jadi kebiasaan, teman-teman sampai mem-bully anakmu ini. Tetapi aku tidak membalas dan tidak marah. Aku justru bangga, aku memiliki sebagian dari bakatmu dan berhasil melakukannya dengan baik. Ah, ayah...

Beranjak remaja, ayah sering marah. Tetapi aku tahu, semua karena ayah tidak ingin aku bergaul dengan anak-anak jahat. Ayah pernah lho mengejarku dengan seutas tali tambang, keliling lorong, karena sore tadi aku nongkrong dengan anak-anak nakal. Padahal aku tidak melakukan apa-apa yang buruk dengan mereka, hanya duduk dan bercerita. Aku tahu, kok kalau ayah sengaja tegas agar aku bisa seperti sekarang ini.

Ayah juga licik. Hihihi... tahu aku nakal dan pasti punya cara nongkrong sama mereka lagi, ayah memaksaku tinggal di rumah dengan segala fasilitas yang, oh, sungguh, sangat kusyukuri. Barangkali akulah remaja paling beruntung sedunia saat itu. Buku, musik, komputer, semuanya ayah sediakan untukku. Ya, apapun kau beli demi aku tetap menjadi anak kebanggaanmu.

Yah, seperti apa aku sekarang bila dahulu kau tidak mati-matian selalu hadir untukku. Mungkin aku, aku telah menjadi seorang gembong narkoba atau makelar miras, atau mati overdosis.

Oh, ayah... bisakah sekali, sebelum kau meninggalkanku menuju Allah, bisakah kita duduk berdua seperti saat itu. Kau dengan secanteng kopimu, aku dengan segelas kopiku. Lalu kau membacakan ayat-ayat dan memberitahukanku kisah-kisah di baliknya. Kau meminta pendapatku, kau meluruskan yang keliru. Atau bisakah kita sekali saja, berkendara bersama menuju utara dengan iringan lagu-lagu Makassar dan anging mammiri itu. Aku yang nyetir, yah...  

Yah, kadang kuhadirkan kau di kamarku. Kau tidur di sisi dekat sajadah, aku di dekat tembok. Aku memang telah sedewasa ini, tetapi kepadamu aku selalu gadis kecilmu yang sering sesegukan dan bergelayut manja di kakimu.

Ayah, kurindukan kau seperti perihnya perasaanmu merindukanku.

0 comments: