Malam Lebaran


Aku menuliskan ini pada pukul 20.35 wita di mejaku, di kantor, dan tidak ada lagi rekan kerja seruangan di sekitarku. 

Satu-persatu mereka beranjak menjauhi areal kantor sejak dua hari lalu. Ada yang naik mobil pribadi, naik Panther antar daerah, ada pula yang sekadar mengasingkan diri di rumahnya di pinggir kota. Sebenarnya aku sah-sah saja melakukan hal serupa. Tidak ada yang melarang, pun sanksi tidak seberapa. Masih masuk akal kehilangan selembar dua lembar seratus ribuan demi liburan beberapa hari dan berkumpul bersama keluarga.

Hanya bagiku,
Untuk apa kutukar lembaran uang itu?
I can say I'm fucked up tonight until three days after.

Shall I write that I have a huge huge huge family with many fathers and mothers, but I prefer being around a Chinese couple near my office or at Bambalamotu, or Malino, or Rammang-rammang?
I've done it.

Pada momen seperti ini, sepertinya setiap orang berubah sangat egois. Kelompok di sana masa bodoh dengan sosial because they have God yang segera dan pasti mengampuni semua dosa dan menerima amalan mereka. Kelompok lain don't really give a fuck asalkan dapat berkumpul bersama keluarga. Ada juga sih setahuku yang menjadikan lebaran sebagai sarana berbasa-basi atau formalitas lantaran terikat hubungan darah (sebenarnya mereka saling membenci di dalam hati, but gotta being fake di depan orang tua). Lainnya berjuang berkumpul bersama keluarga di kampus. Dan di antara semua jenis orang-orangan ini, tidak akan ada yang peduli kepada orang-orang sejenis saya.

Yaah, sayalah itu yang membantu seseorang membersihkan tempat tinggalnya sebelum orang tua dan keluarganya datang agar mereka dapat beristirahat dengan nyaman sebab keesokan paginya harus kembali menempuh perjalanan jauh. Sayalah itu yang menjadi anak pengganti bagi sepasang kekasih Chinese sebab anak gadisnya sekarnag entah di mana. Sayalah itu yang diharap-harapkan seorang ibu paruh baya, di dalam hatinya ia menyesali memiliki anak yang karakternya tidak sepertiku. Sayalah itu, seseorang yang diam-diam merokok di dalam keremangan parkiran seharga 3000 ribu rupiah per hari, di samping sebuah gedung hotel berlantai 18.

Aku tahu, dari sudut pandangmu aku tidak sedang berbahagia
Tetapi hati setiap manusia adalah misteri
Kamu mana tahu apa yang aku rasakan sebenarnya, kecuali kamu bertanya A atau B dan aku menjawab dengan menyebut satu di antaranya (itupun kalau aku sedang tidak berbohong)

demikianlah,

satu hal yang pasti, gema takbiran membuatku merindu. kepada banyak...
ayah, 
ibuku yang dahulu,
sahabat-sahabat lama,
petualangan,
proses belajar di kampus,
sahabatku di alam ruh,
kucing-kucingku yang straight to heaven
and.... probably you,



14 Juni 2018

0 comments: