July 07, 2016
No Comment
July 06, 2016
No Comment
Redup dan lengang. Pertanda-pertanda
ada pada aspal. Pada lampu jalan dua kepala. Pada pangkuan lambai nyiur. Pada
rundukan miana. Asjir mengenakan jaket bertudung dancelana cutbrai
menghampiriku.
“Malik berkabar?” Asjir
bertanya sambil berdiri, matanya awas.“Itu dia!” aku menunjuk sisi toilet umum.
Malik berjalan terseok-seok ke arah kami. Cahaya layar ponsel menerangi
wajahnya dari bawah. Begitu tiba, bisik-bisik ia menjelaskan;
“Saya memancing dengan
hestek #makassartidakaman tadi malam, belum berapa menit, di linikala muncul hestek
#makassarharusaman. Situasi masih berada di luar kendali kita,”
“Siapa yang memulai
hestek itu?” Asjir bertanya sembari meletakkan pantatnya di sampingku. Malik
masih berdiri, menunduk, menghadap kami berdua. Dalam kegelapan, kulihat ia
menggaruk-garuk pantat.
“Entahlah, banyak yang
me-retweet dan tweet, saya tidak bisa melacak siapa yang pertama kali memulai. Sepertinya,
ada kelompok lain yang ingin ikutlakon kita.
“Ini sebuah pertanda,
kawan. Kita harus lanjut,” kataku, “Hei, hentikan garukanmu!”
“Tidak bisa, bro. Gatal
sekali di bawah sini. Kayaknyatumbuh bisul baru,”
“Awas kau salah pakai
kostumku, nanti aku bisa tertular penyakit jalananmu,” Asjir mendengus.
“Tenanglah. Bagaimana
pun situasinya, kita tetap menjalankan rencana awal. Persiapan kita sudah
matang. Dari awal, semua ini sudah kita ramal akan terjadi. Sebab dan akibat,
keduanya dapat diciptakan dan dihentikan,”
“Jadi kita lanjutkan?”
tanya Malik
“Di balik kebenaran
yang relatif, situasi ini justru membuka ruang bagi rencana kita,” jawabku. Malik
terus menggaruk, menuju bagian depan selangkangannya.
June 13, 2016
Mulanya,
bahasa manusia diinspirasi oleh bebunyian alam. Angin, aliran air, suara tanah
longsor, kicauan burung. Manusia meniru-niru bebunyian alam dan berkomunikasi
menggunakan hasil tiruan itu. Beberapa bunyi memiliki makna yang terlampau luas
untuk diterjemahkan ke dalam kata-kata. Bunyi-bunyi itu pun sangat bergantung
kepada bebunyian lainnya. Kita tidak bisa membahasakan makna yang terlampau
luas. Bebunyian yang tidak ingin dipisahkan dalam makna-makna banal inilah yang
kita kenal dengan sebutan “musik”.
June 03, 2016
Erni Manis |
Gadis kecil ini tinggal di desa Bambalamotu, Kab. Mamuju Utara. Disetarakan dengan sekolah dasar biasa, kini ia duduk di bangku kelas 3. Namanya Erni. Ayahnya seorang petani dari suku Da’a dan ibu berdarah Mandar. Erni tampak cukup tertarik pada kamera kami dan tidak menunjukkan tingkah yang canggung. Berkali-kali ia menjadi screen stealer saat saya mewawancarai gurunya tentang sejarah SLBS Bambalamotu yang belum lama dibangun ini. Erni sangat aktif. Ia berlarian berkeliling kelas lalu kembali masuk frame dan tersenyum seperti ini. Menurut gurunya, ia penderita autism yang berbakat di bidang olahraga. Saat kami pamit, Erni mengejar saya dan meminta difoto sekali lagi. Saya melakukannya dengan senang hati. Erni meloncat-loncat kegirangan sebelum kembali bersembunyi di bawah ketiak gurunya.
****
June 01, 2016
Berlama-lama di sini hanya
menyenangkan hati Alma, tapi tidak hatiku. Maksudku, aku senang berada di kota
ini, bersamanya.
Aku senang memberi tumpangan skuter sewaan ini padanya, lalu seperti biasa ia
turun lima puluh meter lewat kuburan tua – tanpa pernah kutahu kenapa ia turun di situ
– setiap hari. Tiap kota hanya kuberi
jatah paling lama tiga bulan. Satu bulan untuk mengenal kota dan kenalan
sana-sini. Satu bulan untuk cari gara-gara, maksudku melakukan apa yang bisa
kulakukan di sana. Sisanya, waktu memikirkan destinasi berikutnya.
Alma tentu senang jika kutunda
kepergianku barang satu atau dua bulan. Dari gerak-geriknya, mungkin dia sedang
jatuh cinta padaku. Ia tak pernah terlambat membawakanku sarapan pagi. Kamar
sewaannya tepat di samping kamarku. Dia senang memasak dan lebih senang jika
masakannya dinikmati sampai habis. Aku satu-satunya orang, katanya, yang selalu
menghabiskan masakannya.
May 12, 2016
Menerjemahkan
kata “home” ke dalam bahasa Indonesia tidak mudah. Padanannya bukan “rumah”.
Terkadang sih, makna “home” diselamatkan para penyair dalam sajak-sajak mereka,
dengan kalimat-kalimat padat sebagai pengantar. Sederhananya terjemahan kata
“rumah” boleh salah satu dari “house” atau “home”. Akan tetapi, “home” dapat
berdiri sendiri dengan mengesampingkan penanda “sebuah bangunan tempat tinggal
keluarga”. “home” is home. Demikian jika yang dipekerjakan untuk mengaji makna
“home” adalah otak kita.
April 19, 2016
Selalu
terdengar jenaka jika ada pelancong dari luar yang mengkritisi
jalur-jalur wisata alam di Sulsel. Misalnya jalur menuju air terjun yang harus
melintasi aliran sungai kecil, “Harusnya dipasangin jembatan bamb atau
pegangan tali nih di sini, biar gampang,”. Nah, itu jenaka karena selayaknya
wisata alam bebas, ornamen macam tali begitu akan mengurangi tantangan,
berpotensi merusak alam, dan yah, ngapain ke alam bebas kalau ingin merasakan
hal-hal yang mudah saja, bukan?
Membayangkan keempat sungai keci di sepanjang jalur menuju Lembah Ramma membuatku sedih. Yaah, sungai-sungai kecil itu yang akhirnya akan menyisakan kutu air atau gatal-gatal sebagai kenang-kenangan petualangan kamu. Akan ada cerita menarik atau banyolan hebat saat memandangi sepasang kaki mengerut pucat sepulang rumah.
15-18
April 2016 lalu, aku dan seorang sahabat namun jarang bertemu merencanakan
penanjakan kecil-kecilan ke Lembah Ramma di kaki gunung Bawakaraeng. Kaki,
begitu nama lapangan perempuan tangguh itu – ia dapatkan dari singkatan yang
dibuat teman lainnya. Kami ditemani 2 orang lainnya, ada Langkose dan Buldozer.
Langkose dan Kaki seangkatan diksar di Mapala salah satu universitas Islam di
Makassar. Langkose sebagai penjantan tunggal di antara kami tentu saja dipilih
berdasarkan skill security, tingkat kebatuan, dan kemampuan survivalnya yang
tinggi. Itu lantaran aku sendiri hanya seorang explorer, Kaki yang sudah 2
tahun puasa nanjak karena bekerja, dan Buldozer yang baru kali ini melakukan
penanjakan di jalur yang cukup sulit.
April 14, 2016
barking like a dog
shouting like a starving to death kitten
too free
to remember, the golden
ages
looking
at my finger toe, bad and big
I saw it’s already tired clamped by my old-fashioned shoe
feeling
my heart beats slowly
too tired
for running, the
blackest years
bean
sand and wind in my skirt
told me to reopen an old book
without
tearing or hiding certain pages
the
sound of sea became soundtrack to our acts
my
new beginning
follow
me, while there still muscles
March 18, 2016
![]() |
ilustrasi milik Puung |
Kepada
hati yang menabahkan tubuhmu, kukirimkan degup kencang hasil berlari
sesanggupku mengelilingi lapangan yang dahulu menjarakkan pandangan kita. Saat kuhadapi
sore tadi, kurasakan waktu silam memanjangkan tangannya memberiku semangat,
mengajarkanku kembali arti mengejar mimpi-mimpi
Kepada
sepasang mata yang tak kunjung habis asa menembus ke depan, kunyalakan lilin
doa-doa dari tempatku menandaskan dua gelas kopi hitam di sini. Walau kuhabiskan
sendiri, sepasang mata itu melihat niatku membuatnya bukan untuk diriku
sendiri. beri kesempatan pada jeda-jeda yang manis dengan sendirinya itu –
membuat isi cangkir-cangkir membentuk semesta ketenangan
Kepada
strategi yang berhamburan di dalam kepalamu, aku berharap ada sihir yang
menjadikannya cawan putik sari di mana kelak aku menjelma tinkerbell penebar
dalam tanah-tanah subur yang dipinjamkan tuhan. Kamu tahu, pikirmu mendapatkan
hutan tak tumbuh dalam sehari.
Kepada
kita, mari bersabar. Lautan, arah angin, garis imajinier, dan jadwal
penerbangan yang sering dikacaukan awan itu, kelak merupakan kendaraan untuk
melihat alam yang lebih luas, alam yang membijakkan kita.
February 19, 2016
Menanggalkan
pakaian, beserta kenangan
menuju
masa depan aku melambaikan tangan
Apalah
yang ditinggalkan kaki selain jejak
Dalam
hidup orang lain yang berusaha kupungkiri
Apakah
yang diinginkan hati selain sajak
Dari
jiwa yang tak peduli mati karena sendiri
Kurentangkan
tangan sepanjang jalan yang sepi
Memang
penantian itu lama dan lamat
Yang
kuinginkan agar bayang-bayang selalu di belakang, tahu diri
Di
ujung sana, ketiadaan mungkin ada, begitu pula keadaan yang mungkin sudah
tertambat.
Belum
terlambat
Untuk
mencintai diri yang habis dikuliti
Untuk
mencintai yang lelah dicintai
January 25, 2016
“Creativity is the ride of revolution”
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa
Indonesia dari selatan ke timur kini sedang berbenah menyambut MEA yang akan menjadi senjata bagi negara-negara Asean untuk berdiri sebagai pemilik revolusi dunia baru.
Dalam persiapan tersebut, negara ini telah memiliki sumber daya alam yang kaya untuk dikelola secara maksimal, oleh pemerintah dan swasta dengan kompak. Namun, siapakah yang bertanggung jawab menyiapkan sumber daya manusia yang siap untuk dunia baru tersebut?
Jawabannya, ada di tangan para pendidik dan institusi pendidikan yang layak. Sekolah formal dan non-formal sama besar porsinya untuk menjalankan kewajiban ini dan melahirkn generasi-generasi yang kompeten sebagai leaders di masa depan. Untuk itu, diperlukan kegiatan-kegiatan yang dapat menanamkan dan mengasah kreativitas para peserta didik, agar siap menjadi leader. Kreatifitas merupakan kendaraan revolusi. Dengan kreativitas produktif, para peserta didik dapat melakukan revolusi-revolusi dalam beride, berkarya, dan memimpin. Karena itulah, kami mengadakan program 8D1S (8 days 1 Short).
January 18, 2016
Sebagai
penulis, aku tidak mengenal penyakit “writer’s block”. Bagiku, writer’s block
hanya alasan-alasan yang dibuat penulis itu sendiri untuk tidak menyelesaikan
karyanya. Bagiku, yang ada adalah suasana-suasana yang tidak mendukung untuk
menulis. Terkadang, aku nyaman melakukannya saat sepi, biasanya dini hari. Terkadang
pula, saat aku menyendiri. Yaitu, suasana di saat aku tenggelam dalam tulisanku
sendiri sementara di sekitarku penuh balon-balon percakapan yang dibuat oleh
keramaian. Aku lebih produktif saat menyendiri. Untuk mendapatkannya, aku
sering membawa laptop dan kretekku ke warung kopi.
Ada
beberapa warung kopi yang sering aku kunjungi sejak tahun 2011. Oh, iya tulisan
ini bukan untuk mempromosikan warkop-warkop itu, melainkan untuk menyimpan
ingatanku semata. Kedai-kedai minum kopi tersebut sering aku kunjungi karena
dua alasan utama. Pertama, sajian kopi yang nikmat tentu saja. Kedua, suasana
yang menenangkan. Mungkin tempat tersebut memiliki sudut manis bagiku untuk
duduk dan tenggelam bersama kata-kata, atau tempat itu berkonsep, yang dengan
cara tertentu dapat membuatku nyaman secara pribadi.
![]() |
sketch form etsy.com |
Di
ujung jalur Borong Raya, tepatnya sudah masuk wilayah jalan Ujung Bori (batas
antar kedua jalan ini tidak jelas), pada sudut jejeran ruko terbaik di sana,
ada sebuah warung kopi yang menarik. Mengikut namanya, sang pemilik memarkir
bendi (pedati/kereta kuda) tepat di parkiran depan. Bendi yang telah berusia
puluhan tahun dan didatangkan langsung dari Jeneponto (Tanah Seribu Kuda). Selain
itu, asbak-asbak yang diletakkan di atas meja terbuat dari pahatan batu sungai.
Pemiliknya sudah hapal tempat favoritku, di sudut kiri kafe, sudut yang
memungkinkanku memandang pada tiga arah dan di saat ramai, para
pengunjung tidak akan memperhatikanku. Jika bosan menatap laptop, aku akan naik
ke lantai dua, memainkan guitar hero sampai kurindukan laptop itu kembali.
Kafe
lain yang masih membawa suasana pedesaan dan keunikan daerah Jeneponto terletak
di JL Saripah Raya (belakang Unifa). Kedai berdesain sederhana ini adalah milik
bapak bersahaja bernama Om Najib. Hubunganku dengan kedai ini terbilang unik. Aku
telah menjadi pelanggan tetap sejak kedai ini didirikan pada tahun 2011. Kursi dan
meja bambu, atap rumbia, dinding gamacca, penerangan lampu-lampu kuning 5 watt
dan music instrument sunda mampu membuatku duduk berlama-lama di dalamnya. Suasana
seperti ini sudah langka di Makassar. Saat kafe-kafe lain berlomba-lomba mengusung
desain minimalis, vintage, atau street art, Warkop 88 masih bersahaja dengan
konsepnya. Kini Warkop 88 telah berganti pengelola dan mereka dengan ramah
selalu menyambutku, walau aku sering tidak tahu diri nongkrong dari pagi hingga
malam.
January 18, 2016
“Aku pulang!” sahut Felisha sambil membuka
pintu. Piki bergegas bangun untuk menyambut majikannya. Ia menggosokkan
badannya ke kaki Felisha dengan manja. Tetapi Felisha tidak langsung
menggendong Piki seperti biasa. Gadis kecil malah asyik mengelus-elus anak
kucing berwarna hitam di pelukannya.
Dengan kesal, Piki menonton manjikannya memandikan
anak kucing itu. Sehabis mandi, Felisha mengeringkan tubuh si kucing mungil
dengan handuk milik Piki. Tadi Felisha tak acuh padanya, kini ia harus rela
barang miliknya dipakai kucing lain. Piki mencakar-cakar balok dengan gemas.
“Piki yang baik, Olong minta susu kamu ya..”
ujar Felisha sambil mengelus kepala Piki. Kucing Persia berbulu abu-abu itu
tidak mengeong, ia justru menjauh dan bersembunyi di bawah meja belajar. “Mulai
hari ini, Piki dan Olong jadi adik-kakak ya,” lanjut Felisha Piki
mengibas-ngibaskan ekor tanda tak setuju.
Hari silih berganti. Bantal tidur kini milik
Olong dan Piki tidur di atas keset. Kalau Felisha sedang belajar, Olong di
pangkuannya. Piki merasa sangat sedih. Ia merasa kehilangan kasih sayang
Felisha.
Diam-diam Piki kabur dari rumah lewat jendela
kamar. Ia ingin mencari majikan baru. Di suatu tempat pasti ada manusia semanis
Felisha yang juga sayang kepada kucing. Demikian Piki berusaha menghibur diri.
Kucing gendut itu menyusuri jalan-jalan
setapak dengan hati yang sangat sedih. Ia tidak sekali pun menoleh ke belakang.
Ia terus berjalan hingga tiba di sebuah taman. Piki tidur di bawah perosotan
sambil mengingat-ingat kenangan bersama Felisha.
Saat tengah malam, Piki mendengar tangisan
bayi. “Ah, pasti hanya mimpi,” batin Piki. Ia tidur kembali. Namun suara itu
muncul lagi. Kini semakin jelas terdengar. Piki beranjak mencari sumber suara.
Ia menemukan seekor anak kucing bersembunyi
di balik semak. “Berisik sekali kamu. Aku sedang tidur,” kata Piki sembari beranjak
pergi. “Paman, aku takut..” anak kucing itu terisak. “Memangnya di mana ibumu,
di mana saudara-saudaramu?” tanya Piki padanya. Anak kucing itu pun bercerita
bahwa ia ketiga saudaranya dibuang di taman ini. Dua saudaranya dipungut
manusia. Dan saudarinya tertabrak sepeda motor. Tinggal dia sendiri, ketakutan,
menunggu ibunya datang.
Mendengar cerita itu, Piki merasa tidak tega
padanya. Sejak Felisha membelinya di toko hewan peliharaan, hidupnya selalu
bahagia. Ia makan berkecukupan. Banyak susu untuk di minum. Bantal tidur yang
empuk. Berlimpah elusan, pelukan, dan ciuman dari Felisha. “Malang sekali
nasibmu,” kata Piki sembari membersihkan wajah anak kucing itu dengan lidahnya.
“Ikutlah denganku, ke rumahku,”
Piki menuntun anak kucing itu pulang ke rumah
Felisha. Sepanjang perjalanan, keduanya tampak bahagia. Piki menceritakan
betapa manis dan baik hati Felisha itu. “Seperti kita, Felisha juga tidak punya
Ibu. Tetapi dia punya ayah yang penyayang. Felisha dan ayahnya sangat
menyayangiku. Mereka tidak pernah kasar padaku,” Piki bercerita panjang lebar.
Ia berharap rasa takut kucing kecil itu perlahan menghilang.
Menjelang fajar, keduanya tiba di rumah.
Tampak Felisha sedang menggendong Olong di ambang pintu. Air mata tak henti
mengalir dari sepasang mata Felisha. Di pelukan Felisha, Olong pun tampak
sedih. Sementara ayah Felisha berkeliling rumah, menyahut-nyahutkan nama Piki.
Melihat Piki muncul dari pagar, Felisha
berhambur memeluk dan menciumnya. Kucing berbulu kapas itu merasa sangat
bersalah telah membuat Felisha bersedih. Dalam pelukan, ia berjanji tidak akan
meninggalkan Felisha lagi. “Maafkan aku, Piki. Aku sayang kamu, aku sayang
Olong. Aku sayang kalian berdua,” isak Felisha sembari mempererat pelukannya.
‘Meong’ Felisha mendengar suara seekor anak
kucing. Suara itu dari semak di balik pagar. “Oh, kamu pulang membawa hadiah
untukku?” Felisha menatap Piki dengan mata berbinar-binar. Piki meloncat dari
pelukan menuju semak. Ia membujuk anak kucing itu keluar. “Tidak usah takut,
dia Felisha-ku,” kata Piki.
Dengan perasaan malu dan takut, anak kucing
itu perlahan menampakkan diri. Felisha bahagia melihatnya. “Ayah, lihatlah,
betapa cantik anak kucing ini!” tanpa ragu Felisha meraih anak kucing belang
tiga itu ke pelukannya. “Sansa!” kata Felisha. “Oh, sungguh nama yang indah,”
batin Piki bahagia.
Pagi itu, Piki, Olong, dan Sansa menikmati
mandi air hangat bersama. Mereka juga makan dengan satu mangkuk yang sama. Di
malam hari, Piki dan kedua adik barunya berbagi pelukan hangat yang sama.
Pelukan dari majikan mereka yang baik hati.
Akhirnya Piki sadar bahwa memiliki banyak
makanan, susu, dan pelukan Felisha adalah anugerah yang luar biasa. Tetapi yang
lebih baik dari itu adalah membaginya bersama Olong dan Sansa. Ia merasa menjadi
kucing yang paling beruntung di dunia ini.
January 18, 2016
“Wah…
bekal kamu cantik sekali. Kalau cantik begitu, pasti rasanya enak,” kata Nayla,
teman sebangku Rika.
“Tentu
saja. Ini buatan ibuku. Rasanya eeenaaaaak banget,” timpal Rika lalu memasukkan
sepotong tempe goreng ke dalam mulutnya, padahal ia belum selesai mengunyah
makanan sebelumnya.
“Bagi
dooong… pliis,” kata Nayla. Gadis berkuncir itu menatap Rika penuh harap.
Tetapi Rika malah menutup kotak makannya dan pergi.
Rika
anak perempuan dengan tubuh yang sangat gendut. Tubuhnya membesar setiap hari
karena dia suka sekali makan. Rika jarang membagi makanannya. Karena itu,
anak-anak lain tidak senang berteman dengannya. Pada suatu hari, saat istirahat
siang, Rika mengajak Nayla dan anak-anak lain untuk makan bersama di taman
sekolah. Namun mereka menolak ajakan Rika. Ia pun menikmati sandwich sendirian
di bawah pohon.
Saat
sedang asyik mengunyah, seekor kucing menghampiri Rika. Kucing itu sangat
kurus, tidak seperti tubuhnya yang besar. Kelihatannya, si kucing meminta
makanan. Dasar Rika pelit, Ia malah menghabiskan roti itu sendirian. Si kucing
tampak kecewa, namun ia masih berada di sisi Rika.
“Pergi,
sana! Makananku sudah habis,” kata Rika kepada si kucing. Kucing itu tetap di
sana. Ia merapikan duduknya. Seolah-olah si kucing ingin berkata, “Walau
begitu, biarkan aku menemanimu di sini. Sepertinya kamu anak kecil yang
kesepian.” Rika dan kucing itu pun menghabiskan waktu istirahat siang di bangku
taman.
Esok
harinya, Rika melakukan hal yang sama. Ia mengajak teman-teman sekelasnya untuk
makan siang bersama di taman. Namun mereka menolak ajakan Rika lagi. Rika
bertanya-tanya, mengapa teman-temannya tidak mau makan bersamanya. Akhirnya,
Rika makan seorang diri lagi di taman.
“Meong….”
Seekor kucing bertubuh sangat kurus menghampirinya.“Kamu lagi. Tidak ada
makanan untukmu,” kata Rika pada kucing itu. “Meong... meong … meong…” suara
bayi kucing ramai bersahutan. Rupanya kucing kurus itu adalah seekor induk.
Hari ini ia membawa ketiga anaknya ikut serta.
Rika
memperhatikan sepasang tangannya yang besar dan tebal. Lalu ia melihat betapa
kecil kepala si induk kucing dibanding kepalan tangannya. Apalagi tubuh ketiga
anak kucing itu, jauh lebih kecil.
“Ini…
buat kalian. Aku sedang tidak ingin makan,” ujar Rika. Ia menyodorkan kotak
makanannya kepada keluarga kucing. Dari kejauhan, tampak teman-teman sekelasnya
menggelar tikar di bawah pohon. Kemudian mereka makan siang bersama. Rika
menghampiri mereka. Tetapi, tidak satu pun yang mempedulikannya. Ia Rika pun
kembali ke bangku taman. Siang itu, Rika tidak makan sama sekali. Ia hanya
menonton keluarga kucing menghabiskan bekal makan siang miliknya.
Keesokan
harinya lagi, Rika tidak lagi mengajak teman-teman sekelasnya makan siang
bersama. Ia takut mereka menolak ajakannya lagi. Setelah bel istirahat
berdentang, Rika membawa kotak bekalnya menuju taman. Di sana, keluarga kucing
sudah menunggu. Rika membagi makan siangnya sama banyak. Setengah untuk
dirinya, setengah untuk keluarga kucing. Mereka pun makan siang bersama.
Begitulah
yang dilakukan Rika setiap hari. Ia berbagi makan siang bersama keluarga
kucing. Hingga suatu waktu, Rika membanding-bandingkan tangannya dengan kepala
si induk kucing. “Kamu semakin gendut, yah. Sekarang kepalamu sama besar dengan
kepalan tanganku,” ujar Rika pelan, sambil menonton teman-temannya dari
kejauhan.
“Wah…
anak kucing yang imut!” seru Nayla dari jauh. Nayla menunjuk anak kucing di
dekat Rika. “Yuk, kita ke sana!” seru salah seorang anak. Mereka pun beranjak menghampiri
bangku tempat Rika duduk. Tiba-tiba Rika merasa kikuk.
“Anak-anak
kucing ini lucu sekali. Mereka bersih dan sehat. Apa mereka kucing-kucingmu?”
tanya Nayla kepadanya. “Oh.. ehmm.. bukan. Mereka teman-temanku. Yang ini
induknya,” kata Rika sambil mengelus-elus tengkuk si induk kucing.
“Lucunya….,”
ujar Nayla sembari meletakkan si induk kucing di pangkuannya. Anak-anak yang
lain tak mau kalah. Mereka juga mengambil salah satu anak kucing untuk dielus.
Sekeliling Rika mendadak ramai oleh teman-temannya. Rika tidak lagi melihat
mereka dari kejauhan. Kini mereka berada di sisinya. Rika merasa bahagia.
Bel
pertanda istirahat siang selesai berdentang. Nayla dan anak-anak lainnya
berhamburan kembali ke kelas. Mereka berpamitan pada keluarga kucing dan berjanji
akan kembali lagi setelah pulang sekolah. Tetapi Rika tidak segera kembali ke kelas.
Gadis kecil itu sedang mengelus-elus tengkuk si induk kucing sembari berbisik,
“Terima kasih, ya mama kucing.”
January 16, 2016
Oh,
netral tak lagi pilihan yang baik untuk menjalani hidup. Aku menyaksikan
orang-orang tampak pengecut dengan bendera putih yang berkibar-kibar di atas
kepalanya. Mereka bangga menjaga tiang bendera itu tetap tegak. Tidak berpihak
kata mereka.
“Kami tidak berada di blok sebelah kanan, tidak pula berada di blok sebelah kiri”
Bukankah
mereka justru membuat blok baru di antara kedua blok dan dalam kebanggaan
sebenarnya telah memproklamirkan diri sebagai golongan tanpa pijakan atau
justru membuat pijakan baru bagi orang-orang pengecut lainnya?
January 14, 2016
No Comment
Aku ingin mempelajari cara mewarnai ingatan yang memudar.
Aku terlalu sering berdoa agar melupakan hal-hal buruk yang telah terjadi
padaku dengan pengabaian-pengabaian. Melupakan menjadi kemampuan terbaikku
belakangan ini. Padahal, selalu kuingatkan orang lain bahwa melupakan adalah
berbuat dosa. Kita harus mengikhlaskan sesuatu. Karena ikhlas tidak memudarkan
ingatan, namun melipatnya dengan rapih di bagian terputih dari ingatan. Ikhlas
mengubah ingatan menjadi kenangan. Kenangan tidak dapat dilupakan.