Redup dan lengang. Pertanda-pertanda ada pada aspal. Pada lampu jalan dua kepala. Pada pangkuan lambai nyiur. Pada rundukan miana. Asjir mengenakan jaket bertudung dancelana cutbrai menghampiriku.
“Malik berkabar?” Asjir bertanya sambil berdiri, matanya awas.“Itu dia!” aku menunjuk sisi toilet umum. Malik berjalan terseok-seok ke arah kami. Cahaya layar ponsel menerangi wajahnya dari bawah. Begitu tiba, bisik-bisik ia menjelaskan;
“Saya memancing dengan hestek #makassartidakaman tadi malam, belum berapa menit, di linikala muncul hestek #makassarharusaman. Situasi masih berada di luar kendali kita,”
“Siapa yang memulai hestek itu?” Asjir bertanya sembari meletakkan pantatnya di sampingku. Malik masih berdiri, menunduk, menghadap kami berdua. Dalam kegelapan, kulihat ia menggaruk-garuk pantat.
“Entahlah, banyak yang me-retweet dan tweet, saya tidak bisa melacak siapa yang pertama kali memulai. Sepertinya, ada kelompok lain yang ingin ikutlakon kita.
“Ini sebuah pertanda, kawan. Kita harus lanjut,” kataku, “Hei, hentikan garukanmu!”
“Tidak bisa, bro. Gatal sekali di bawah sini. Kayaknyatumbuh bisul baru,”
“Awas kau salah pakai kostumku, nanti aku bisa tertular penyakit jalananmu,” Asjir mendengus.
“Tenanglah. Bagaimana pun situasinya, kita tetap menjalankan rencana awal. Persiapan kita sudah matang. Dari awal, semua ini sudah kita ramal akan terjadi. Sebab dan akibat, keduanya dapat diciptakan dan dihentikan,”
“Jadi kita lanjutkan?” tanya Malik
“Di balik kebenaran yang relatif, situasi ini justru membuka ruang bagi rencana kita,” jawabku. Malik terus menggaruk, menuju bagian depan selangkangannya.


Mulanya, bahasa manusia diinspirasi oleh bebunyian alam. Angin, aliran air, suara tanah longsor, kicauan burung. Manusia meniru-niru bebunyian alam dan berkomunikasi menggunakan hasil tiruan itu. Beberapa bunyi memiliki makna yang terlampau luas untuk diterjemahkan ke dalam kata-kata. Bunyi-bunyi itu pun sangat bergantung kepada bebunyian lainnya. Kita tidak bisa membahasakan makna yang terlampau luas. Bebunyian yang tidak ingin dipisahkan dalam makna-makna banal inilah yang kita kenal dengan sebutan “musik”.


Erni Manis

Gadis kecil ini tinggal di desa Bambalamotu, Kab. Mamuju Utara. Disetarakan dengan sekolah dasar biasa, kini ia duduk di bangku kelas 3. Namanya Erni. Ayahnya seorang petani dari suku Da’a dan ibu berdarah Mandar. Erni tampak cukup tertarik pada kamera kami dan tidak menunjukkan tingkah yang canggung. Berkali-kali ia menjadi screen stealer saat saya mewawancarai gurunya tentang sejarah SLBS Bambalamotu yang belum lama dibangun ini. Erni sangat aktif. Ia berlarian berkeliling kelas lalu kembali masuk frame dan tersenyum seperti ini. Menurut gurunya, ia penderita autism yang berbakat di bidang olahraga. Saat kami pamit, Erni mengejar saya dan meminta difoto sekali lagi. Saya melakukannya dengan senang hati. Erni meloncat-loncat kegirangan sebelum kembali bersembunyi di bawah ketiak gurunya.
****

#1

sketsa sederhana tentang ruang tamu
jatuh diterpa angin mesin
aku bertanya-tanya, kelak

apakah ruang tamu itu milik kita
atau dia dan kau

atau yang lain dan aku?




Berlama-lama di sini hanya menyenangkan hati Alma, tapi tidak hatiku. Maksudku, aku senang berada di kota ini, bersamanya. Aku senang memberi tumpangan skuter sewaan ini padanya, lalu seperti biasa ia turun lima puluh meter lewat kuburan tua – tanpa pernah kutahu kenapa ia turun di situ – setiap hari. Tiap kota hanya kuberi jatah paling lama tiga bulan. Satu bulan untuk mengenal kota dan kenalan sana-sini. Satu bulan untuk cari gara-gara, maksudku melakukan apa yang bisa kulakukan di sana. Sisanya, waktu memikirkan destinasi berikutnya.


Alma tentu senang jika kutunda kepergianku barang satu atau dua bulan. Dari gerak-geriknya, mungkin dia sedang jatuh cinta padaku. Ia tak pernah terlambat membawakanku sarapan pagi. Kamar sewaannya tepat di samping kamarku. Dia senang memasak dan lebih senang jika masakannya dinikmati sampai habis. Aku satu-satunya orang, katanya, yang selalu menghabiskan masakannya.

Menerjemahkan kata “home” ke dalam bahasa Indonesia tidak mudah. Padanannya bukan “rumah”. Terkadang sih, makna “home” diselamatkan para penyair dalam sajak-sajak mereka, dengan kalimat-kalimat padat sebagai pengantar. Sederhananya terjemahan kata “rumah” boleh salah satu dari “house” atau “home”. Akan tetapi, “home” dapat berdiri sendiri dengan mengesampingkan penanda “sebuah bangunan tempat tinggal keluarga”. “home” is home. Demikian jika yang dipekerjakan untuk mengaji makna “home” adalah otak kita.
Selalu terdengar jenaka jika ada pelancong dari luar yang mengkritisi jalur-jalur wisata alam di Sulsel. Misalnya jalur menuju air terjun yang harus melintasi aliran sungai kecil, “Harusnya dipasangin jembatan bamb atau pegangan tali nih di sini, biar gampang,”. Nah, itu jenaka karena selayaknya wisata alam bebas, ornamen macam tali begitu akan mengurangi tantangan, berpotensi merusak alam, dan yah, ngapain ke alam bebas kalau ingin merasakan hal-hal yang mudah saja, bukan?

Membayangkan keempat sungai keci di sepanjang jalur menuju Lembah Ramma membuatku sedih. Yaah, sungai-sungai kecil itu yang akhirnya akan menyisakan kutu air atau gatal-gatal sebagai kenang-kenangan petualangan kamu. Akan ada cerita menarik atau banyolan hebat saat memandangi sepasang kaki mengerut pucat sepulang rumah.

15-18 April 2016 lalu, aku dan seorang sahabat namun jarang bertemu merencanakan penanjakan kecil-kecilan ke Lembah Ramma di kaki gunung Bawakaraeng. Kaki, begitu nama lapangan perempuan tangguh itu – ia dapatkan dari singkatan yang dibuat teman lainnya. Kami ditemani 2 orang lainnya, ada Langkose dan Buldozer. Langkose dan Kaki seangkatan diksar di Mapala salah satu universitas Islam di Makassar. Langkose sebagai penjantan tunggal di antara kami tentu saja dipilih berdasarkan skill security, tingkat kebatuan, dan kemampuan survivalnya yang tinggi. Itu lantaran aku sendiri hanya seorang explorer, Kaki yang sudah 2 tahun puasa nanjak karena bekerja, dan Buldozer yang baru kali ini melakukan penanjakan di jalur yang cukup sulit.
Langkose, Kaki, Buldozer, dan Kake

pict by Little Nymph

















counting one to twenty six, I missed five to ten
barking like a dog
shouting like a starving to death kitten
too free to remember, the golden ages

looking at my finger toe, bad and big
I saw it’s already tired clamped by my old-fashioned shoe
feeling my heart beats slowly
too tired for running, the blackest years

bean sand and wind in my skirt
told me to reopen an old book
without tearing or hiding certain pages
the sound of sea became soundtrack to our acts
my new beginning

follow me, while there still muscles
ilustrasi milik Puung

Kepada hati yang menabahkan tubuhmu, kukirimkan degup kencang hasil berlari sesanggupku mengelilingi lapangan yang dahulu menjarakkan pandangan kita. Saat kuhadapi sore tadi, kurasakan waktu silam memanjangkan tangannya memberiku semangat, mengajarkanku kembali arti mengejar mimpi-mimpi

Kepada sepasang mata yang tak kunjung habis asa menembus ke depan, kunyalakan lilin doa-doa dari tempatku menandaskan dua gelas kopi hitam di sini. Walau kuhabiskan sendiri, sepasang mata itu melihat niatku membuatnya bukan untuk diriku sendiri. beri kesempatan pada jeda-jeda yang manis dengan sendirinya itu – membuat isi cangkir-cangkir membentuk semesta ketenangan

Kepada strategi yang berhamburan di dalam kepalamu, aku berharap ada sihir yang menjadikannya cawan putik sari di mana kelak aku menjelma tinkerbell penebar dalam tanah-tanah subur yang dipinjamkan tuhan. Kamu tahu, pikirmu mendapatkan hutan tak tumbuh dalam sehari.


Kepada kita, mari bersabar. Lautan, arah angin, garis imajinier, dan jadwal penerbangan yang sering dikacaukan awan itu, kelak merupakan kendaraan untuk melihat alam yang lebih luas, alam yang membijakkan kita.
Menanggalkan pakaian, beserta kenangan
Ilustrasi oleh RSTj
Telanjang melajang
menuju masa depan aku melambaikan tangan

Apalah yang ditinggalkan kaki selain jejak
Dalam hidup orang lain yang berusaha kupungkiri
Apakah yang diinginkan hati selain sajak
Dari jiwa yang tak peduli mati karena sendiri

Kurentangkan tangan sepanjang jalan yang sepi
Memang penantian itu lama dan lamat
Yang kuinginkan agar bayang-bayang selalu di belakang, tahu diri
Di ujung sana, ketiadaan mungkin ada, begitu pula keadaan yang mungkin sudah tertambat.

Belum terlambat
Untuk mencintai diri yang habis dikuliti
Untuk mencintai yang lelah dicintai



“Creativity is the ride of revolution”
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa Indonesia dari selatan ke timur kini sedang berbenah menyambut MEA yang akan menjadi senjata bagi negara-negara Asean untuk berdiri sebagai pemilik revolusi dunia baru.
Dalam persiapan tersebut, negara ini telah memiliki sumber daya alam yang kaya untuk dikelola secara maksimal, oleh pemerintah dan swasta dengan kompak. Namun, siapakah yang bertanggung jawab menyiapkan sumber daya manusia yang siap untuk dunia baru tersebut?

Jawabannya, ada di tangan para pendidik dan institusi pendidikan yang layak. Sekolah formal dan non-formal sama besar porsinya untuk menjalankan kewajiban ini dan melahirkn generasi-generasi yang kompeten sebagai leaders di masa depan. Untuk itu, diperlukan kegiatan-kegiatan yang dapat menanamkan dan mengasah kreativitas para peserta didik, agar siap menjadi leader. Kreatifitas merupakan kendaraan revolusi. Dengan kreativitas produktif, para peserta didik dapat melakukan revolusi-revolusi dalam beride, berkarya, dan memimpin. Karena itulah, kami mengadakan program 8D1S (8 days 1 Short).

Sebagai penulis, aku tidak mengenal penyakit “writer’s block”. Bagiku, writer’s block hanya alasan-alasan yang dibuat penulis itu sendiri untuk tidak menyelesaikan karyanya. Bagiku, yang ada adalah suasana-suasana yang tidak mendukung untuk menulis. Terkadang, aku nyaman melakukannya saat sepi, biasanya dini hari. Terkadang pula, saat aku menyendiri. Yaitu, suasana di saat aku tenggelam dalam tulisanku sendiri sementara di sekitarku penuh balon-balon percakapan yang dibuat oleh keramaian. Aku lebih produktif saat menyendiri. Untuk mendapatkannya, aku sering membawa laptop dan kretekku ke warung kopi.

Ada beberapa warung kopi yang sering aku kunjungi sejak tahun 2011. Oh, iya tulisan ini bukan untuk mempromosikan warkop-warkop itu, melainkan untuk menyimpan ingatanku semata. Kedai-kedai minum kopi tersebut sering aku kunjungi karena dua alasan utama. Pertama, sajian kopi yang nikmat tentu saja. Kedua, suasana yang menenangkan. Mungkin tempat tersebut memiliki sudut manis bagiku untuk duduk dan tenggelam bersama kata-kata, atau tempat itu berkonsep, yang dengan cara tertentu dapat membuatku nyaman secara pribadi.

sketch form etsy.com
Di ujung jalur Borong Raya, tepatnya sudah masuk wilayah jalan Ujung Bori (batas antar kedua jalan ini tidak jelas), pada sudut jejeran ruko terbaik di sana, ada sebuah warung kopi yang menarik. Mengikut namanya, sang pemilik memarkir bendi (pedati/kereta kuda) tepat di parkiran depan. Bendi yang telah berusia puluhan tahun dan didatangkan langsung dari Jeneponto (Tanah Seribu Kuda). Selain itu, asbak-asbak yang diletakkan di atas meja terbuat dari pahatan batu sungai. Pemiliknya sudah hapal tempat favoritku, di sudut kiri kafe, sudut yang memungkinkanku memandang pada tiga arah dan di saat ramai, para pengunjung tidak akan memperhatikanku. Jika bosan menatap laptop, aku akan naik ke lantai dua, memainkan guitar hero sampai kurindukan laptop itu kembali.

Kafe lain yang masih membawa suasana pedesaan dan keunikan daerah Jeneponto terletak di JL Saripah Raya (belakang Unifa). Kedai berdesain sederhana ini adalah milik bapak bersahaja bernama Om Najib. Hubunganku dengan kedai ini terbilang unik. Aku telah menjadi pelanggan tetap sejak kedai ini didirikan pada tahun 2011. Kursi dan meja bambu, atap rumbia, dinding gamacca, penerangan lampu-lampu kuning 5 watt dan music instrument sunda mampu membuatku duduk berlama-lama di dalamnya. Suasana seperti ini sudah langka di Makassar. Saat kafe-kafe lain berlomba-lomba mengusung desain minimalis, vintage, atau street art, Warkop 88 masih bersahaja dengan konsepnya. Kini Warkop 88 telah berganti pengelola dan mereka dengan ramah selalu menyambutku, walau aku sering tidak tahu diri nongkrong dari pagi hingga malam.

“Aku pulang!” sahut Felisha sambil membuka pintu. Piki bergegas bangun untuk menyambut majikannya. Ia menggosokkan badannya ke kaki Felisha dengan manja. Tetapi Felisha tidak langsung menggendong Piki seperti biasa. Gadis kecil malah asyik mengelus-elus anak kucing berwarna hitam di pelukannya.
Dengan kesal, Piki menonton manjikannya memandikan anak kucing itu. Sehabis mandi, Felisha mengeringkan tubuh si kucing mungil dengan handuk milik Piki. Tadi Felisha tak acuh padanya, kini ia harus rela barang miliknya dipakai kucing lain. Piki mencakar-cakar balok dengan gemas.
“Piki yang baik, Olong minta susu kamu ya..” ujar Felisha sambil mengelus kepala Piki. Kucing Persia berbulu abu-abu itu tidak mengeong, ia justru menjauh dan bersembunyi di bawah meja belajar. “Mulai hari ini, Piki dan Olong jadi adik-kakak ya,” lanjut Felisha Piki mengibas-ngibaskan ekor tanda tak setuju.
Hari silih berganti. Bantal tidur kini milik Olong dan Piki tidur di atas keset. Kalau Felisha sedang belajar, Olong di pangkuannya. Piki merasa sangat sedih. Ia merasa kehilangan kasih sayang Felisha.
Diam-diam Piki kabur dari rumah lewat jendela kamar. Ia ingin mencari majikan baru. Di suatu tempat pasti ada manusia semanis Felisha yang juga sayang kepada kucing. Demikian Piki berusaha menghibur diri.
Kucing gendut itu menyusuri jalan-jalan setapak dengan hati yang sangat sedih. Ia tidak sekali pun menoleh ke belakang. Ia terus berjalan hingga tiba di sebuah taman. Piki tidur di bawah perosotan sambil mengingat-ingat kenangan bersama Felisha.
Saat tengah malam, Piki mendengar tangisan bayi. “Ah, pasti hanya mimpi,” batin Piki. Ia tidur kembali. Namun suara itu muncul lagi. Kini semakin jelas terdengar. Piki beranjak mencari sumber suara.
Ia menemukan seekor anak kucing bersembunyi di balik semak. “Berisik sekali kamu. Aku sedang tidur,” kata Piki sembari beranjak pergi. “Paman, aku takut..” anak kucing itu terisak. “Memangnya di mana ibumu, di mana saudara-saudaramu?” tanya Piki padanya. Anak kucing itu pun bercerita bahwa ia ketiga saudaranya dibuang di taman ini. Dua saudaranya dipungut manusia. Dan saudarinya tertabrak sepeda motor. Tinggal dia sendiri, ketakutan, menunggu ibunya datang.
Mendengar cerita itu, Piki merasa tidak tega padanya. Sejak Felisha membelinya di toko hewan peliharaan, hidupnya selalu bahagia. Ia makan berkecukupan. Banyak susu untuk di minum. Bantal tidur yang empuk. Berlimpah elusan, pelukan, dan ciuman dari Felisha. “Malang sekali nasibmu,” kata Piki sembari membersihkan wajah anak kucing itu dengan lidahnya. “Ikutlah denganku, ke rumahku,”  
Piki menuntun anak kucing itu pulang ke rumah Felisha. Sepanjang perjalanan, keduanya tampak bahagia. Piki menceritakan betapa manis dan baik hati Felisha itu. “Seperti kita, Felisha juga tidak punya Ibu. Tetapi dia punya ayah yang penyayang. Felisha dan ayahnya sangat menyayangiku. Mereka tidak pernah kasar padaku,” Piki bercerita panjang lebar. Ia berharap rasa takut kucing kecil itu perlahan menghilang.
Menjelang fajar, keduanya tiba di rumah. Tampak Felisha sedang menggendong Olong di ambang pintu. Air mata tak henti mengalir dari sepasang mata Felisha. Di pelukan Felisha, Olong pun tampak sedih. Sementara ayah Felisha berkeliling rumah, menyahut-nyahutkan nama Piki.

Melihat Piki muncul dari pagar, Felisha berhambur memeluk dan menciumnya. Kucing berbulu kapas itu merasa sangat bersalah telah membuat Felisha bersedih. Dalam pelukan, ia berjanji tidak akan meninggalkan Felisha lagi. “Maafkan aku, Piki. Aku sayang kamu, aku sayang Olong. Aku sayang kalian berdua,” isak Felisha sembari mempererat pelukannya.
‘Meong’ Felisha mendengar suara seekor anak kucing. Suara itu dari semak di balik pagar. “Oh, kamu pulang membawa hadiah untukku?” Felisha menatap Piki dengan mata berbinar-binar. Piki meloncat dari pelukan menuju semak. Ia membujuk anak kucing itu keluar. “Tidak usah takut, dia Felisha-ku,” kata Piki.
Dengan perasaan malu dan takut, anak kucing itu perlahan menampakkan diri. Felisha bahagia melihatnya. “Ayah, lihatlah, betapa cantik anak kucing ini!” tanpa ragu Felisha meraih anak kucing belang tiga itu ke pelukannya. “Sansa!” kata Felisha. “Oh, sungguh nama yang indah,” batin Piki bahagia.
Pagi itu, Piki, Olong, dan Sansa menikmati mandi air hangat bersama. Mereka juga makan dengan satu mangkuk yang sama. Di malam hari, Piki dan kedua adik barunya berbagi pelukan hangat yang sama. Pelukan dari majikan mereka yang baik hati.

Akhirnya Piki sadar bahwa memiliki banyak makanan, susu, dan pelukan Felisha adalah anugerah yang luar biasa. Tetapi yang lebih baik dari itu adalah membaginya bersama Olong dan Sansa. Ia merasa menjadi kucing yang paling beruntung di dunia ini.
“Wah… bekal kamu cantik sekali. Kalau cantik begitu, pasti rasanya enak,” kata Nayla, teman sebangku Rika.
“Tentu saja. Ini buatan ibuku. Rasanya eeenaaaaak banget,” timpal Rika lalu memasukkan sepotong tempe goreng ke dalam mulutnya, padahal ia belum selesai mengunyah makanan sebelumnya.
“Bagi dooong… pliis,” kata Nayla. Gadis berkuncir itu menatap Rika penuh harap. Tetapi Rika malah menutup kotak makannya dan pergi.
Rika anak perempuan dengan tubuh yang sangat gendut. Tubuhnya membesar setiap hari karena dia suka sekali makan. Rika jarang membagi makanannya. Karena itu, anak-anak lain tidak senang berteman dengannya. Pada suatu hari, saat istirahat siang, Rika mengajak Nayla dan anak-anak lain untuk makan bersama di taman sekolah. Namun mereka menolak ajakan Rika. Ia pun menikmati sandwich sendirian di bawah pohon.
Saat sedang asyik mengunyah, seekor kucing menghampiri Rika. Kucing itu sangat kurus, tidak seperti tubuhnya yang besar. Kelihatannya, si kucing meminta makanan. Dasar Rika pelit, Ia malah menghabiskan roti itu sendirian. Si kucing tampak kecewa, namun ia masih berada di sisi Rika.
“Pergi, sana! Makananku sudah habis,” kata Rika kepada si kucing. Kucing itu tetap di sana. Ia merapikan duduknya. Seolah-olah si kucing ingin berkata, “Walau begitu, biarkan aku menemanimu di sini. Sepertinya kamu anak kecil yang kesepian.” Rika dan kucing itu pun menghabiskan waktu istirahat siang di bangku taman.
Esok harinya, Rika melakukan hal yang sama. Ia mengajak teman-teman sekelasnya untuk makan siang bersama di taman. Namun mereka menolak ajakan Rika lagi. Rika bertanya-tanya, mengapa teman-temannya tidak mau makan bersamanya. Akhirnya, Rika makan seorang diri lagi di taman.
“Meong….” Seekor kucing bertubuh sangat kurus menghampirinya.“Kamu lagi. Tidak ada makanan untukmu,” kata Rika pada kucing itu. “Meong... meong … meong…” suara bayi kucing ramai bersahutan. Rupanya kucing kurus itu adalah seekor induk. Hari ini ia membawa ketiga anaknya ikut serta.
Rika memperhatikan sepasang tangannya yang besar dan tebal. Lalu ia melihat betapa kecil kepala si induk kucing dibanding kepalan tangannya. Apalagi tubuh ketiga anak kucing itu, jauh lebih kecil.
“Ini… buat kalian. Aku sedang tidak ingin makan,” ujar Rika. Ia menyodorkan kotak makanannya kepada keluarga kucing. Dari kejauhan, tampak teman-teman sekelasnya menggelar tikar di bawah pohon. Kemudian mereka makan siang bersama. Rika menghampiri mereka. Tetapi, tidak satu pun yang mempedulikannya. Ia Rika pun kembali ke bangku taman. Siang itu, Rika tidak makan sama sekali. Ia hanya menonton keluarga kucing menghabiskan bekal makan siang miliknya.
Keesokan harinya lagi, Rika tidak lagi mengajak teman-teman sekelasnya makan siang bersama. Ia takut mereka menolak ajakannya lagi. Setelah bel istirahat berdentang, Rika membawa kotak bekalnya menuju taman. Di sana, keluarga kucing sudah menunggu. Rika membagi makan siangnya sama banyak. Setengah untuk dirinya, setengah untuk keluarga kucing. Mereka pun makan siang bersama.
Begitulah yang dilakukan Rika setiap hari. Ia berbagi makan siang bersama keluarga kucing. Hingga suatu waktu, Rika membanding-bandingkan tangannya dengan kepala si induk kucing. “Kamu semakin gendut, yah. Sekarang kepalamu sama besar dengan kepalan tanganku,” ujar Rika pelan, sambil menonton teman-temannya dari kejauhan.
“Wah… anak kucing yang imut!” seru Nayla dari jauh. Nayla menunjuk anak kucing di dekat Rika. “Yuk, kita ke sana!” seru salah seorang anak. Mereka pun beranjak menghampiri bangku tempat Rika duduk. Tiba-tiba Rika merasa kikuk.
“Anak-anak kucing ini lucu sekali. Mereka bersih dan sehat. Apa mereka kucing-kucingmu?” tanya Nayla kepadanya. “Oh.. ehmm.. bukan. Mereka teman-temanku. Yang ini induknya,” kata Rika sambil mengelus-elus tengkuk si induk kucing.
“Lucunya….,” ujar Nayla sembari meletakkan si induk kucing di pangkuannya. Anak-anak yang lain tak mau kalah. Mereka juga mengambil salah satu anak kucing untuk dielus. Sekeliling Rika mendadak ramai oleh teman-temannya. Rika tidak lagi melihat mereka dari kejauhan. Kini mereka berada di sisinya. Rika merasa bahagia.


Bel pertanda istirahat siang selesai berdentang. Nayla dan anak-anak lainnya berhamburan kembali ke kelas. Mereka berpamitan pada keluarga kucing dan berjanji akan kembali lagi setelah pulang sekolah. Tetapi Rika tidak segera kembali ke kelas. Gadis kecil itu sedang mengelus-elus tengkuk si induk kucing sembari berbisik, “Terima kasih, ya mama kucing.”
Oh, netral tak lagi pilihan yang baik untuk menjalani hidup. Aku menyaksikan orang-orang tampak pengecut dengan bendera putih yang berkibar-kibar di atas kepalanya. Mereka bangga menjaga tiang bendera itu tetap tegak. Tidak berpihak kata mereka.

“Kami tidak berada di blok sebelah kanan, tidak pula berada di blok sebelah kiri”

Bukankah mereka justru membuat blok baru di antara kedua blok dan dalam kebanggaan sebenarnya telah memproklamirkan diri sebagai golongan tanpa pijakan atau justru membuat pijakan baru bagi orang-orang pengecut lainnya?

Aku ingin mempelajari cara mewarnai ingatan yang memudar. Aku terlalu sering berdoa agar melupakan hal-hal buruk yang telah terjadi padaku dengan pengabaian-pengabaian. Melupakan menjadi kemampuan terbaikku belakangan ini. Padahal, selalu kuingatkan orang lain bahwa melupakan adalah berbuat dosa. Kita harus mengikhlaskan sesuatu. Karena ikhlas tidak memudarkan ingatan, namun melipatnya dengan rapih di bagian terputih dari ingatan. Ikhlas mengubah ingatan menjadi kenangan. Kenangan tidak dapat dilupakan.


Kenangan adalah rekaman kejadian, rasa, mula dan akhir yang tak lagi dihinggapi


dendam.