Sebagai
penulis, aku tidak mengenal penyakit “writer’s block”. Bagiku, writer’s block
hanya alasan-alasan yang dibuat penulis itu sendiri untuk tidak menyelesaikan
karyanya. Bagiku, yang ada adalah suasana-suasana yang tidak mendukung untuk
menulis. Terkadang, aku nyaman melakukannya saat sepi, biasanya dini hari. Terkadang
pula, saat aku menyendiri. Yaitu, suasana di saat aku tenggelam dalam tulisanku
sendiri sementara di sekitarku penuh balon-balon percakapan yang dibuat oleh
keramaian. Aku lebih produktif saat menyendiri. Untuk mendapatkannya, aku
sering membawa laptop dan kretekku ke warung kopi.
Ada
beberapa warung kopi yang sering aku kunjungi sejak tahun 2011. Oh, iya tulisan
ini bukan untuk mempromosikan warkop-warkop itu, melainkan untuk menyimpan
ingatanku semata. Kedai-kedai minum kopi tersebut sering aku kunjungi karena
dua alasan utama. Pertama, sajian kopi yang nikmat tentu saja. Kedua, suasana
yang menenangkan. Mungkin tempat tersebut memiliki sudut manis bagiku untuk
duduk dan tenggelam bersama kata-kata, atau tempat itu berkonsep, yang dengan
cara tertentu dapat membuatku nyaman secara pribadi.
![]() |
sketch form etsy.com |
Di
ujung jalur Borong Raya, tepatnya sudah masuk wilayah jalan Ujung Bori (batas
antar kedua jalan ini tidak jelas), pada sudut jejeran ruko terbaik di sana,
ada sebuah warung kopi yang menarik. Mengikut namanya, sang pemilik memarkir
bendi (pedati/kereta kuda) tepat di parkiran depan. Bendi yang telah berusia
puluhan tahun dan didatangkan langsung dari Jeneponto (Tanah Seribu Kuda). Selain
itu, asbak-asbak yang diletakkan di atas meja terbuat dari pahatan batu sungai.
Pemiliknya sudah hapal tempat favoritku, di sudut kiri kafe, sudut yang
memungkinkanku memandang pada tiga arah dan di saat ramai, para
pengunjung tidak akan memperhatikanku. Jika bosan menatap laptop, aku akan naik
ke lantai dua, memainkan guitar hero sampai kurindukan laptop itu kembali.
Kafe
lain yang masih membawa suasana pedesaan dan keunikan daerah Jeneponto terletak
di JL Saripah Raya (belakang Unifa). Kedai berdesain sederhana ini adalah milik
bapak bersahaja bernama Om Najib. Hubunganku dengan kedai ini terbilang unik. Aku
telah menjadi pelanggan tetap sejak kedai ini didirikan pada tahun 2011. Kursi dan
meja bambu, atap rumbia, dinding gamacca, penerangan lampu-lampu kuning 5 watt
dan music instrument sunda mampu membuatku duduk berlama-lama di dalamnya. Suasana
seperti ini sudah langka di Makassar. Saat kafe-kafe lain berlomba-lomba mengusung
desain minimalis, vintage, atau street art, Warkop 88 masih bersahaja dengan
konsepnya. Kini Warkop 88 telah berganti pengelola dan mereka dengan ramah
selalu menyambutku, walau aku sering tidak tahu diri nongkrong dari pagi hingga
malam.
Sedikit
lebih jauh ke alun-alun kota Makassar. Di dekat Chinatown, masih dalam jejeran
bekas kota tua, terdapat sebuah kafe kecil berjudul Kafeologi. Kalau tidak
salah hitung, kafe ini hanya memiliki delapan meja dengan sofa-sofa yang ditata
rapi. Dari sudut manapun, pengunjung dapat melihat barrista melakukan
keahlian di balik pantry kecilnya. Kafe ini selalu menjaga musik yang
diputar tetap berada dalam volume kecil, sehingga para pengunjung tak harus
berteriak saat bercakap-cakap. Aku selalu berada di meja deretan paling dalam
dan para pelayan mereka yang ramah selalu memastikan aku nyaman di sana.
Yang
terakhir, kafe paling hijau di kota seribu ruko ini, La Buana Coffee. Terletak di dalam bangunan
ruko pula tidak membuat pemiliknya kehabisan ide untuk menciptakan area hijau
terbuka. Ia menyulap rooftop bangunan itu menjadi taman bunga yang indah. No
wifi area, no music, hanya pemandangan langit terbuka, dan furniture vintage
membuatku betah berlama-lama di tempat ini. Sudut kesukaanku di depan kolam
teratai yang dikelilingi rerumputan raksana, palem, dan akasia.
Jika
sedang tidak berada di rumah atau bekerja di luar kota, kamu dapat menemui di
salah satu tempat ini.