Oh,
netral tak lagi pilihan yang baik untuk menjalani hidup. Aku menyaksikan
orang-orang tampak pengecut dengan bendera putih yang berkibar-kibar di atas
kepalanya. Mereka bangga menjaga tiang bendera itu tetap tegak. Tidak berpihak
kata mereka.
“Kami tidak berada di blok sebelah kanan, tidak pula berada di blok sebelah kiri”
Bukankah
mereka justru membuat blok baru di antara kedua blok dan dalam kebanggaan
sebenarnya telah memproklamirkan diri sebagai golongan tanpa pijakan atau
justru membuat pijakan baru bagi orang-orang pengecut lainnya?
Warna-warna
netral, misalkan hitam atau putih, benar satunya selalu bagus saat dipadukan
dengan warna lain, merah atau biru. Warna-warna netral tersebut sebenarnya
berfungsi sebagai “open-minded color” yang membuka diri untuk disandingkan dengan
warna dari golongan non-netral yang memberi makna “Bukan memiliki sikap
sendiri, melainkan terang-terangan jadi reseptif. Putih dan biru, bisalah.
Putih dan merah, keren juga. Putih dan kuning, manis tampaknya. Bukankah
begitu?
Dalam
konteks politik, netral, non-blok, golput atau apalah lagi sebutannya
sebenarnya berlindung di bawah ketiadaan. Netralisme adalah omong kosong. Mereka
hanya tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mendukung salah satu pihak,
atau terlalu takut mengemukakan pendapat. Maka orang-orang netral ini terus
bersembunyi, mencari aman dari segala masalah yang terjadi di sekitarnya.
Namun, alih-alih merasa aman, mereka justru merasa gelisah sendiri lantaran,
tentu saja di dalam pikirannya terlintas juga tanggapan-tanggapan atas apa yang
terjadi, namun jiwa yang keburu takut memerintahkan seluruh tubuhnya untuk
tidak berbuat apapun menyikapi kedua kubu, lantas memilih uring-uringan di
tempatnya sendiri.