PPS (Piknik-Piknik Saja) di Lembah Ramma

Selalu terdengar jenaka jika ada pelancong dari luar yang mengkritisi jalur-jalur wisata alam di Sulsel. Misalnya jalur menuju air terjun yang harus melintasi aliran sungai kecil, “Harusnya dipasangin jembatan bamb atau pegangan tali nih di sini, biar gampang,”. Nah, itu jenaka karena selayaknya wisata alam bebas, ornamen macam tali begitu akan mengurangi tantangan, berpotensi merusak alam, dan yah, ngapain ke alam bebas kalau ingin merasakan hal-hal yang mudah saja, bukan?

Membayangkan keempat sungai keci di sepanjang jalur menuju Lembah Ramma membuatku sedih. Yaah, sungai-sungai kecil itu yang akhirnya akan menyisakan kutu air atau gatal-gatal sebagai kenang-kenangan petualangan kamu. Akan ada cerita menarik atau banyolan hebat saat memandangi sepasang kaki mengerut pucat sepulang rumah.

15-18 April 2016 lalu, aku dan seorang sahabat namun jarang bertemu merencanakan penanjakan kecil-kecilan ke Lembah Ramma di kaki gunung Bawakaraeng. Kaki, begitu nama lapangan perempuan tangguh itu – ia dapatkan dari singkatan yang dibuat teman lainnya. Kami ditemani 2 orang lainnya, ada Langkose dan Buldozer. Langkose dan Kaki seangkatan diksar di Mapala salah satu universitas Islam di Makassar. Langkose sebagai penjantan tunggal di antara kami tentu saja dipilih berdasarkan skill security, tingkat kebatuan, dan kemampuan survivalnya yang tinggi. Itu lantaran aku sendiri hanya seorang explorer, Kaki yang sudah 2 tahun puasa nanjak karena bekerja, dan Buldozer yang baru kali ini melakukan penanjakan di jalur yang cukup sulit.
Langkose, Kaki, Buldozer, dan Kake

Sekilas tentang nama si Langkose. Dengar-dengar nama KTP-nya adalah Dika, namun berubah menjadi nama daerah untuk kacang olahan – Langkose – karena saat diksar di dalam kerelnya terdapat banyak kacang Langkose. Dan si Buldozer mendapatkan nama itu sepanjang jalur pendakian lantaran ia memiliki tubuh yang cukup subur dan berjalan “asal hantam”, layaknya Buldozer. Batu, genangan, akar, rawa, atau apapun yang terhampar di depan kakinya, semua ia jejaki tanpa berpikir panjang. Dan si Buldozer memanggilku Kake, singkatan dari namaku. Sesederhana itu.

Perencanaan hiking kali ini sangat singkat. Kaki mengajakku via bbm sehari sebelumnya, aku mengajak Buldozer dan kami mengajak Langkose. Peralatan camp kami dapatkan dari Mapala UIM. Ada 2 tenda, 2 flysheet, 4 matras, dan perlatan masak. Buldozer kami biarkan hanya membawa perlengkapan pribadi. Aku mengisi kerelku dengan ransum siap makan dalam perjalanan. Kami meninggalkan Makassar pada hari jumat, 15 April 2016, pukul 1 siang.

Kami tiba di Lembanna pukul 5 sore karena tertahan hujan lebat di desa Bili-bili. Tak mau kehabisan tenaga sebelum memulai penanjakan, kami menunggu hujan lewat selama 2 jam lebih. Begitu tiba, kami segera memulai perjalanan. Hari sudah gelap, kabut pun menutupi hutan pinus.

Kecepatan normal menuju Pos 1 akan menghabiskan waktu kurang lebih satu jam di malam hari, namun kami sepakat tidak memaksakan diri jalan malam demi menghindari bahaya, utamanya bahaya mistis. Sebab bagcover milik Kaki berwarna merah dan Buldozer memakai baju warna merah. Entahlah dari mana mitos ini bermula, sebagai orang modern agak menggelikan juga untuk mempercayai hal ini. Namun sebagai manusia yang menghargai adat, ada baiknya mengikut saja. Konon, para pendaki yang mengenakan sesuatu berwarna merah di tubuhnya akan mengalami kejadian-kejadian mistis di sekitaran Bawakaraeng. Kabar hilang, kesurupan, kecelakaan, dan sebagainya yang menimpa orang-orang berpakaian merah sudah santer terdengar dan menjadi mountain tales bagi para pendaki Sulsel. Kami memutuskan memasang tenda di sisi sungai menuju Pos 1.

Pagi-pagi sekali Buldozer mengisi botol-botol air, ia kembali dengan wajah yang memendam rasa bersalah dan nafas tersengal-sengal. Katanya, “Maafkan.. aku membiarkan 1 botol kita hanyut,”. “Lho, kok bisa?” timpalku. “Iya.. itu, tadi tidak sengaja berpapasan dengan cowok cakep pas lagi isi air.. dan gitu.. botolnya hanyut…” kami terbahak-bahak mendengarnya. Sudahlah, akan ada limbah botol air mineral sepanjang perjalanan nanti. Kata Kaki dengan bijak, tapi ia tetap tidak bisa menyembunyikan kegeliannya.

Kami melanjutkan perjalanan pukul 9 pagi, terus melewati Pos 1, ladang Paku, hingga tiba di bendungan “Binanga” tempat penduduk biasa memancing ikan air tawar dan lokasi instalasi pengairan menuju ladang-ladang setempat. Di sana kami menghisap sebatang kretek, melemaskan kaki, menikmati pemandangan dan cekrek, cekrek, cekrek!


Perjalanan berlanjut menuju sungai pertama, jalur masih mudah. Di hutan yang penuh gelantungan lumut dan ular-ular kecil, kami singgah sejenak. Di sungai yang pas membelah dua jarak jalur pendakian, hujan turun deras. Dengan sigap Langkose memasang flysheet dan aku buru-buru mencari tempat buang hajat. Biasalah, makhluk dengan pencernaan sehat seperti aku harus BAB setiap pagi. Akan tetapi, suhu dan air yang dingin membuat saluran belakangku mengerut. BAB batal. Terpaksa aku melanjutkan perjalanan dengan beban lebih, di punggung dan di perut. Haha.

Istirahat kurang lebih 30 menit, kami habiskan dengan ngemil dan ngopi. Lalu-lintas padat merayap di titik ini, karena merupakan sungai yang paling besar di antara 3 lainnya. Pendaki lain banyak pula yang beristirahat di sini, sekedar terapi kaki dengan arus sungai atau meregangkan otot bahu. Kami melanjutkan perjalanan hingga ke Talung, pos terakhir sebelum mencapai lembah yang surgawi itu.
di Talung
Talung merupakan puncak dengan elevasi di kisaran 1.700-1.800 mdpl. Dari titik ini, lembah Ramma tampak sangat jelas dan menawan. Kami menuruni Talung melalui jalur yang penuh bebatuan dan curam karena struktur tanah liat. Belum lagi jalur ditutup bangkai sapi yang tampaknya mati kemarin sore karena tergelincir dari Talung. Sampai tulisan ini dipublikasikan, belum ada kabar doi berhasil dieksekusi. Celakalah mereka yang nanjak setelah tanggal 17 kemarin, pasti baunya semakin menyengat.

Camping di lembah Ramma cukup semalam saja. Walau sebenarnya kami masih ingin beberapa malam lagi. Kami agak sial, karena langit terang hanya tampak beberapa jam selama berada di sana. Lewat pukul 11 siang, kabut mulai menghadang penglihatan. Dari tenda kami, tampak jalur pos 7 menuju puncak Bawakaraeng.
Lembah Ramma
Kami menempuh jalan kembali tepat pukul 12 diiringi hujan lebat. Pendakian menjadi lebih menantang dengan hujan sebab kita harus memberi perhatian lebih pada barang bawaan, kesehatan, dan strategi pijak. Semua menjadi dua kali lebih sulit dan resiko kecelakaan meningkat. Buldozer tak kuijinkan sekalipun menggendong kerel, sebab jalur semakin curam dan phobia batu besar yang ia derita semakin menjadi. Untungnya, pepohonan yang rapat membuat para pendaki tidak basah kuyup. Menunggu hujan reda pula bukan pilihan yang baik. Curah hujan selalu tinggi di kawasan ini dan berada di lembah Ramma dalam waktu yang cukup lama tentu saja berbahaya.
biar tidak dituduh kurang piknik
Tidak ada lagi istirahat dengan seduhan kopi dan ngemil. Kaki terus berjalan hingga ke pangkal jalur pendakian. Istirahat lebih dari 15 menit hanya menambah resiko terkena flu, karena gigil pasti menyerang. Kami hanya sempat beritirahat sekali sekedar mendapatkan tenaga dari agar-agar biscuit yang Kaki buat sesaat sebelum berangkat. Agar tidak bosan, kami memilih jalur alternative yang lebih landai, jalur yang tidak tembus ke Pos 1, melainkan berujung pada tikungan yang telah diblok oleh pinus tumbang, sekisar 100 m dari area camp pertama. Dari titik itu, jalur terasa sangat menyenangkan karena pepohonan membentuk lorong mirip labirin, mengingatkanku pada set tempat Alice mengejar “kelinci telat” di Alice in Wonderland (Tim Burton, 2010).

Kami tiba di rumah Tata Rasyid, salah seorang kuncen kawasan ini. Beliau akrab dengan ratusan pendaki sebab sangat ramah membuka pekarangan rumahnya menjadi area parkir dan rumahnya dijadikan tempat persinggahan. Kesialan pertama menimpa rombongan kami. Sandal milik Langkose ditukar seorang pendaki culas dengan sandal rusak. Kesialan kedua, saat berada di ujung desa Malino, sepeda motor yang Langkose dan Kaki tumpangi menginjak lubang besar, menyebabkan kebocoran ban. Selanjutnya, kami memilih jalur poros JL Malino demi menghindari perampokan yang marak terjadi di jalur Samata. Tetapi realitanya justru poros Malino malam itu lebih sepi dari biasanya. Dua sepeda motor kami berjalan beriringan dengan kecepatan 50km/jam, nyaris jatuh karena borok-borok aspal dan aku nyaris disambar Rubicon mabuk. Kami tiba di perbatasan Sungguminasa-Makassar tepat pukul 11 malam. Keesokan harinya, Kaki memberitahu bahwa motornya harus masuk bengkel untuk menjalani perawatan service berat. Huft!

Walaupun perjalanan pulang tidak semenyenangkan perjalanan pergi, kami tetap bahagia. Toh, kami bukan pendaki yang sedang uji kemampuan. Kami melakukannya karena ingin mengobati kerinduan. Di sisi lain, sebagai perjalanan spiritual Buldozer, menaklukann phobia-nya dan sebagai hari-hari di mana ia menemukan berbagai jawaban atas pertanyaannya tentang problema kehidupan belakangan ini. Bagiku, Bawakaraeng dan Lompobattang merupakan museum alam, tempatku merefleksikan sejarah nenek moyang.

Selanjutnya, geng kocak ini akan menyapa Rinjani awal September nanti. Semoga. Aamiin!