Menerjemahkan
kata “home” ke dalam bahasa Indonesia tidak mudah. Padanannya bukan “rumah”.
Terkadang sih, makna “home” diselamatkan para penyair dalam sajak-sajak mereka,
dengan kalimat-kalimat padat sebagai pengantar. Sederhananya terjemahan kata
“rumah” boleh salah satu dari “house” atau “home”. Akan tetapi, “home” dapat
berdiri sendiri dengan mengesampingkan penanda “sebuah bangunan tempat tinggal
keluarga”. “home” is home. Demikian jika yang dipekerjakan untuk mengaji makna
“home” adalah otak kita.
Mengaji
makna “home” dengan hati, menjadi lebih mudah. Juga dapat menjadi semakin
sulit. Saya seringkali menjawab pertanyaan kecil “Rumah itu apa?” dengan
jawaban kecil, “Sebuah tempat di mana kau dapat melakukan apapun sesukamu tanpa
mempedulikan apa kata orang-orang di sekitarmu….”. Sesungguhnya saya sedang
mendefinisikan makna “home” itu sendiri. menjadi sulit kemudian sebab kalimat
saya itu membuat pendengarnya bingung. Kebanyakan menjawab begini, “Kalau
begitu, saya tidak punya rumah”
Kalimat
saya di atas ada lanjutannya, “… walau begitu, orang-orang di sekitarmu tetap
mempedulikanmu karena mereka keluargamu…” lalu ditimpali lagi, “Saya tidak
punya keluarga juga kalau begitu.” Yah, perasaan-perasaan yang berkecamuk di
dalam jiwa kamu saat berusaha menerjemahkan kata “home” membuat proses
penerjemahan itu menjadi semakin sulit.
Tidak
satu pun di antara manusia di muka bumi ini yang dapat memilih di keluarga mana
mereka lahir. Jangankan keluarga, memilih akan menjelma dari sperma laki-laki
mana pun tak dapat dipilih. Manusia dimulai dengan ketidakbebasan. Saat keluar
dari vagina (yang juga tak dapat dipilih sendiri), kamu mengeluarkan suara
pertama kali kepada orang-orang yang tidak dikenali. Dan orang-orang yang tidak
kamu kenali itu lah yang merawat, membesarkan, dan menyayangimu dengan cara
yang mereka fasihkan dalam proses.
Oh,
iya. Ayah dan ibumu juga tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih anak
seperti apa yang akan mereka besarkan. Bentuk wajah, sifat, dan sikap seperti
apa yang akan dibawa dalam kedirian calon anak mereka, tidak dapat mereka
pilih. Orang tua dan anak “dipaksa” berinteraksi dan saling menyayangi di dalam
sebuah lingkungan kecil, lingkungan keluarga.
Seandainya bisa memilih sebelum kejadian, apakah kamu akan memilih ayah dan ibumu sekarang? apakah ibu dan ayahmu akan memilih anak seperti kamu?
Saya
berkali-kali mendapatkan teman, saya percaya mereka orang-orang yang baik.
Berbagai masalah membuat mereka meninggalkan saya. Di lingkaran pertemanan
lainnya, saya meninggalkan teman-teman saya. Mereka bisa memilih saya. Saya
bisa memilih mereka. Mereka memiliki hak untuk percaya dan tidak percaya kepada
saya. Begitu pula sebaliknya. Saya memiliki banyak sekali mantan teman, mantan
sahabat, dan mantan kekasih. Untuk hal ini, saya bukan satu-satunya manusia
yang mengalaminya. Kamu juga, kan? Pria tua berpakaian kemeja lusuh itu juga,
kan?
Hak
untuk terlibat dan tidak terlibat dalam kehidupan kita membuat orang-orang itu
disebut “teman”. Keluarga tidak memiliki hak tersebut. hubungan kekeluargaan
itu tirani. Mau tak mau harus mau. Keluarga mau tak mau harus mau menerima
keburukan-keburukan yang bersumber dari kita. Kita berada dalam lingkaran, tak
bermula dan tak berujung, tak beralasan kenapa ada. Lingkaran itu terus
berputar pada porosnya, terus dan terus, hingga lelah. Karena berputar terus
menerus tanpa henti, lingkaran tersebut akhirnya menua dan kehilangan usianya.
Dan sampai saat itu pun, keluarga tidak membutuhkan alasan untuk keberadaannya.
relasi misterius, tarik-ulur, roller-coaster di dalam lingkaran keluarga yang mengubah sebuah tempat, bangunan, atau tanah lapang menjadi sebuah "home". tempat di mana kamu dapat datang dan pergi sesuka hati, melakukan apa pun tanpa memikirkan konsekuensi, berjanji untuk mengingkari, berkhianat, mempermalukan diri sendiri dan segala bentuk ekspresi kebebasanmu di sana.