Lapisan Daeng



Redup dan lengang. Pertanda-pertanda ada pada aspal. Pada lampu jalan dua kepala. Pada pangkuan lambai nyiur. Pada rundukan miana. Asjir mengenakan jaket bertudung dancelana cutbrai menghampiriku.
“Malik berkabar?” Asjir bertanya sambil berdiri, matanya awas.“Itu dia!” aku menunjuk sisi toilet umum. Malik berjalan terseok-seok ke arah kami. Cahaya layar ponsel menerangi wajahnya dari bawah. Begitu tiba, bisik-bisik ia menjelaskan;
“Saya memancing dengan hestek #makassartidakaman tadi malam, belum berapa menit, di linikala muncul hestek #makassarharusaman. Situasi masih berada di luar kendali kita,”
“Siapa yang memulai hestek itu?” Asjir bertanya sembari meletakkan pantatnya di sampingku. Malik masih berdiri, menunduk, menghadap kami berdua. Dalam kegelapan, kulihat ia menggaruk-garuk pantat.
“Entahlah, banyak yang me-retweet dan tweet, saya tidak bisa melacak siapa yang pertama kali memulai. Sepertinya, ada kelompok lain yang ingin ikutlakon kita.
“Ini sebuah pertanda, kawan. Kita harus lanjut,” kataku, “Hei, hentikan garukanmu!”
“Tidak bisa, bro. Gatal sekali di bawah sini. Kayaknyatumbuh bisul baru,”
“Awas kau salah pakai kostumku, nanti aku bisa tertular penyakit jalananmu,” Asjir mendengus.
“Tenanglah. Bagaimana pun situasinya, kita tetap menjalankan rencana awal. Persiapan kita sudah matang. Dari awal, semua ini sudah kita ramal akan terjadi. Sebab dan akibat, keduanya dapat diciptakan dan dihentikan,”
“Jadi kita lanjutkan?” tanya Malik
“Di balik kebenaran yang relatif, situasi ini justru membuka ruang bagi rencana kita,” jawabku. Malik terus menggaruk, menuju bagian depan selangkangannya.


***
Tole mulai gelisah. Di benaknya muncul kasur berseprai putih dengan bantal guling isi bulu. “Siapa yang akan kita serang kalau begini? Lautnya kosong!”
“Belum jam dua belas, kau sudah gelisah. Tidak jantan betul. Satu jam lagi lah kita di sini, kalau belum ada yang lewat, kita pindah ke Cendrawasih,” kataku
“Memangnya begitu perintah Bos?”
“Di sini, aku yang Bos. Di kantor, Daeng yang Bos. Di kantor Daeng, .. baru ada lagi Bos lain”
Sementara kami bercakap, Ichal siap pada posisinya, mengarahkan busur ke arah seorang pengendara sepeda motor, yang berjarak hanya beberapa meter dari benteng kami. Aku dan Tole melompat ke sepeda motor masing-masing, untuk menghadang target dari dua arah. Ichal menembakkan satu anak panah ke arah kaki si pengendara, membuatnya terjungkal dari sepeda motor, mencium aspal. Bunyi jatuhnya lumayan ledak. Kami menyeret tubuhnya ke benteng, di bawah pohon ketapang.
Pengendara motor itu mengerang kesakitan. Dia akan baik-baik saja setelah dibawa ke rumah sakit, karena Malik mendapatkan besi baru dan racunnya sedang habis. Kami mengambil apa saja dari baju dan celana si pengendara, lalu meninggalkannya. Sirene motor polisi samar-sama terdengar. Kami bergegas ke Cendrawasih, ke tempat Daeng menunggu.
Yang barusan hanyalah pembuka malam ini. Polisi akan menghabiskan waktu cukup lama di TKP tadi dengan kebodohan. Acara sulap di televisi tidak membuat mereka memberitahu dirisendiri, bahwa ada lapisan di tiap-tiap hal. TKP tadi hanya lapisan terluar. Sementara mereka sibuk membereskan TKP, kami berlayar ria dari Cendrawasih, ke Veteran, ke Rappocini, ke mana pun sampai tiba jam sembahyang.
Menghabiskan waktu di ibarat menunggu ibu memasak batu. Minatku pada permainan kartu domino, kartu joker, ataupun togel menghilang sejak Daeng menepuk pundakku dan berkata, “Kau yang pimping geng ini”. Aku mengenggam jemarinya yang besar-besar itu di pundakku, memberinya pemahaman memilihku adalah keputusan yang tepat.
Sesungguhnya, dari semua sudut pandang dan alasan, kehadiran kami hanya perulangan dari kejayaan masa lalu. Aku ingin kembali ke masa lalu. Sewaktu Lorong 8 dan Pammolongan jarang alpa memberi hiburan kepada malam-malam yang sepi. Saat itu, perkara seringkali muncul hanya disebabkanmencari alasanmengapa seseorang di antara kami tiba-tiba terbahak padahal botol isi oplosan belumlah tandas setengah. Sandal karet kini croocs, ontel kini motor. Semua berevolusi. Kecuali ini, anak panah dan parang, diciptakan nenek moyang dari hasil meramal masa depan. Kini perkara dapat berangkat dari alasan-alasan yang lebih ganjil. Soal mengapa modifikasi motor geng sebelah meniru-niru modifikasi motor geng kami, padahal kami sama-sama tahu motor-motor itu diotak-atik di bengkel yang sama.
***
“makassartidakaman bikin merekas emakin meraja lela. Bukannya plesiran dulu beberapa minggu,” ujar Malik. Suara kalengan bencong-bencong samar terdengar. Di antara tanaman hias, ada bayangan yang cangkul-mencangkul.
“Kalau kupikir-pikir, sih sekarang ini saatnya mereka pesta sampai bungkuk. Takut sudah jadi trend. Tidak takut, tidak gaul,” Asjir menimpali. Aku merasa dia benar, “Kita berharap hestek itu membuat aksi mereka menurun, supaya kita tidak terlalu bonyok nantinya,” kataku.
“Jadi bagaimana? Lanjut atau sudahlah, balik ke warnet seperti hari-hari kemarin,” Malik mulai dapat firasat jelek.
Aku pun serba salah sekarang. Mundur sama dengan tidak konsisten. Teman-temanku meninggalkan warnet karena ajakanku. Aku memaksa mereka memindahkan karakter handal dalam game online ke dunia nyata. Maju pun, kami pasti masuk markas assasin. “Sebaiknya kita pulang saja, kadang saat yang tepat ada di luar rencana,”
***
Daeng memberi isyarat agar kami memutar ke Alauddin, menuju Hertasning. Mengubah rencana dalam perjalanan bukan tipikal Daeng. Rencana satu selesai dahulu, kemudian pindah ke rencana berikutnya. Gerombolan kami berhenti di dekat kanal. “Uttang, dengarkan saya. Kau bos di sini, saya bos dari semua bos di jalanan, tapi di atas saya masih ada bos lagi,” Daeng melempar filter kreteknya ke air. “Di Cendrawasih sudah ada yang duduki, tentara juga lagi patroli,”
“Tentara? Sialan! Habis kita menyogok ke sana kemari,”
“Kosong satu akan urus ini. Kita ikut sajalah. Itu, itu, ada yang lewat. Bereskan!!” Daeng menunjuk ke sisi jembatan di sebelah. Sebuah sepeda motor dikendarai perempuan.
Kulempar batu sebesar kepalan tangan agar ia berhenti. Yang lain mengepung dari depan dan belakang. Perempuan di atas sepeda motor berteriak meminta bantuan hingga dicekat suara sendiri. Aku tidak suka bertemu perempuan tua di tengah-tengah jam kerja. Mereka semua tampak seperti ibuku. Kugampar di bagian kepala sampai helmnya retak. “Ibu-ibu harusnya di rumah jaga anak!” Kami melempar sepeda motor metik itu ke air, dan terserah bagaimana ibu itu menemukan cara pulang. Harusnya sekarang ini kami di Cendrawasih, mengeluarkan kelakar masing-masing di depan anak sekolahan.
***
Nasi tersembur dari mulut Malik. Televisi mas sari laut memberitakan polisi sedang mencari pemilik akun twitter yang menyebarkan hestek makassartidakaman. “Sialan,” umpatnya. Kami bergegas meninggalkan warung, lupa membayar. Di belakang tanaman hias itu, dipagari aktifitas bencong, kami diam-mendiami. Mungkin inilah saat tepat yang di luar rencana itu.
Mata kami akhirnya terbuka setelah bosan diganggu cahaya matahari yang merembes lewat lobang-lobang paku pada dinding seng. Kepalaku sedikit pening, lebam di pelipis kanan sudah mendingan dibandingkan tadi subuh. Asjir tergelak lemas di atas sofa, di depan televisi. Darah di lututnya yang runcing sudah kering. Maliklah yang paling sial. Sekujur tubuhnya terkena hantaman benda keras. Masih ada denyut di lehernya. Syukurlah. Tiga versus belasan orang, siapa sangka kami selamat. Aksi perdana yang mujur.
***
Aku memaksa tubuhku bergerak menuju kamar mandi. Mencuci muka, menyikat gigi, mengoles sedikit betadine pada luka di pelipis. Saat kembali ke kamar, Asjir menopangkan kakinya yang luka di kursi pelastik, sedang kaki sebelah menyalakan televisi yang berada tepat segaris dengan sofa.
“Tolong buatkan saya kopi, dua banding satu,” pinta Malik. Asjir mengonta-ganti channel televisi, aku menuju dapur. Sekalian kubuat tiga cangkir.
“Berita Terkini. Belum selesai makassar dihebohkan oleh aksi brutal dan kejam geng motor, muncul kehebohan baru. Sekelompok pemuda bertopeng menyerang geng motor yang sedang beraksi di sebuah mini market. Mereka terlibat baku hantam sampai armada polisi tiba di TKP. Sayangnya, baik warga maupun tim yang meliput kehilangan jejak kelompok pemuda itu. Polisi berhasil membekuk geng motor Pakarasu, yang ternyata beranggotakan beberapa siswa sekolah menengah atas,”
“Kita terkenal...” Malik menyahut sayup di lantai. Di dalam televisi, di dalam studio mereka, si presenter mempersilahan seseorang masuk dan duduk di sampingnya. Laki-laki paruh baya yang mengenakan seragam kuning tua.
Pak Asnur, bosku di proyek dulu pernah menjelaskan padaku tentang relatifitas. Ada benar di sana, mungkin di sini salah. Ada pula yang sebaliknya. Kadang, seharian bekerja mengangkat campuran semen terasa sebulan lamanya, kadang terasa hanya satu jam. Proyek ruko tiga lantai, yang dalam gambar dan rencana kerja dapat selesai dalam waktu tiga bulan. ternyata baru rampung di bulan kedelapan. Malik senang, Asjir tidak tampak senang atau sedih, aku meletakkan cangkir-cangkir kopi hitam di sisi mereka tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Pikiranku menembus waktu, melampaui relatifitas kini, menuju kalimat demi kalimat dari penjelasan Daeng tentang lapisan perintah-perintah.











Coker, 3 Maret 2015.
sementara dua bola bulu menikmati dingin.

ditulis oleh RSTj

0 comments: