Mulanya,
bahasa manusia diinspirasi oleh bebunyian alam. Angin, aliran air, suara tanah
longsor, kicauan burung. Manusia meniru-niru bebunyian alam dan berkomunikasi
menggunakan hasil tiruan itu. Beberapa bunyi memiliki makna yang terlampau luas
untuk diterjemahkan ke dalam kata-kata. Bunyi-bunyi itu pun sangat bergantung
kepada bebunyian lainnya. Kita tidak bisa membahasakan makna yang terlampau
luas. Bebunyian yang tidak ingin dipisahkan dalam makna-makna banal inilah yang
kita kenal dengan sebutan “musik”.
Nada-nada.
Mayor-minor. Lengking-desis. Nada-nada ada di sekitar kita, menanti seorang conqueror untuk menerjemahkan dan
mengabarkannya kepada makhluk hidup lainnya. Aurora Aksnes menemui nada-nada
itu. Ia membalut tubuhnya dengan jalinan sarang laba-laba, sayap kupu-kupu
patah, dan warna-warna yang digubahnya dari langit abu-abu musim gugur
Norwegia. Aurora tak melulu borealis. Aurora adalah cahaya, yang mungkin saja
lahir dari suara-suara melankolis alam ini.
Rasanya
tidak tepat menggambarkan musik Aurora Aksnes dengan teknik narasi ala majalan musik terkenal. Bagi saya, Aurora ibarat anak bungsu Bjork yang menjalin cinta monyet
dengan Jonsi. Nuansa ballad, sedikit folk, dan ritmik trip-hop dalam penjiwaan
seorang remaja penggila biology for the die-happily-creatures terdengar
menawan. Musiknya membuat saya “terobati” sekaligus memberi saya kesempatan
merenungi hal-hal yang telah lalu tanpa menyesalinya.
All
My Demons Greeting me As a Friend dirilis pada Maret lalu dan belum lama ini
menjadi watchlist di youtube, seolah cahaya lilin putih yang melambai-lambai di
antara lampu-lampu LED milik dance atau dub music belakangan ini. Saya mendengarkan
Aurora tidak berusaha menghibur orang-orang dengan meyakini “You Only Live
Once, so Have Fun” dan bergoyang berpura-pura teler di atas panggung. Aurora
bernyanyi sembari menggerakkan tubuh dan tangan secukupnya, lalu kita tenggelam
dalam sepasang mata kehijuaan yang misterius di antara wajah dan rambut pucat.
Runway, single pertama dalam album
pertamanya merupakan curhatan seorang gadis yang berada di tempat dan suasana
yang segera dapat membunuhnya. Menurut saya, suasana itu adalah anomali atas
kemajuan teknologi modern yang wah dan tak dapat ditolak. Aurora bernyanyi “and
I kept running for a soft place to fall.., take me home where I belong…”
diiringi synth yang terdengar seperti cara seseorang berlari lekas dari
sekumpulan bullshit dan kandangnya.
Dalam
track “Running with the Wolves” memiliki aura keberanian seorang Scandinavian girl. Trip-hop yang gelap terdengar seperti choir menyemangati pendengarnya untuk tidak takut mendengarkan suara hati. Kalau kamu
berpikir Aurora mencoba menjadi seorang motivator, kamu salah. Aurora hanya
bercerita tentang dirinya dan demons yang berubah menjadi sahabatnya. Jikapun
kamu memiliki demons juga dalam dirimu, well, mereka masih berada dalam dirimu
berarti di bawah kekuasaanmu.. Aurora dapat bersahabat baik dengan mereka tanpa
menjadi mereka. Get it?
Aurora Aksnes - Running with The Wolves
Aurora Aksnes - Running with The Wolves