portrait stories: Manusia-manusia Matra

Erni Manis

Gadis kecil ini tinggal di desa Bambalamotu, Kab. Mamuju Utara. Disetarakan dengan sekolah dasar biasa, kini ia duduk di bangku kelas 3. Namanya Erni. Ayahnya seorang petani dari suku Da’a dan ibu berdarah Mandar. Erni tampak cukup tertarik pada kamera kami dan tidak menunjukkan tingkah yang canggung. Berkali-kali ia menjadi screen stealer saat saya mewawancarai gurunya tentang sejarah SLBS Bambalamotu yang belum lama dibangun ini. Erni sangat aktif. Ia berlarian berkeliling kelas lalu kembali masuk frame dan tersenyum seperti ini. Menurut gurunya, ia penderita autism yang berbakat di bidang olahraga. Saat kami pamit, Erni mengejar saya dan meminta difoto sekali lagi. Saya melakukannya dengan senang hati. Erni meloncat-loncat kegirangan sebelum kembali bersembunyi di bawah ketiak gurunya.
****



Rezky Nelayan

Cahaya Tuhan tinggal sedikit lagi untuk kebutuhan capturing saat saya menemui bapak ini sedang bersiap-siap melaut di pantai Bambaira. Ia dan nelayan lainnya bergabung dalam satu kelompok nelayan. Dengan berorganisasi, ia mengakui mendapatkan banyak kemudahan, apalagi saat tangkapan sedang sepi. Ia berbagi speedboat bernama “Raja Laut” bersama ayahnya. Ia memberiku isyarat untuk tidak berkata apapun kepada ayahnya karena beliau tidak menuturkan bahasa Indonesia. Selanjutnya, nelayan yang tingginya hanya lebih 5 cm dari saya ini mengajak kami berkeliling desa. Ia menunjukkan jangkar-jangkar, tali, jala, dan hanging-mat yang ia anyam sendiri dan digantung di kolong rumahnya. Ia begitu ramah dan terbuka. Ia mengajak saya bertemu dengan keluarganya. Tetapi, sebelum istrinya sempat menjerang kopi untuk disuguhkan kami lekas pamitan, sebab tidak ingin merepotkan dan hari sudah gelap. Saya baru sempat berkenalan dengannya di ujung desa. “Nama saya Rezky. Pak Rezky,” katanya. Saya tertawa, “Nama kita sama, Pak!” Terdengar gelak tawa dari belakang. Ternyata penduduk desa mengekor sejak tadi.
***


Perempuan Kasoloang

Saya dan guide yang menemani saya selama 7 hari di Matra beristirahat di tepi sungai di ujung desa Kasoloang. 100 m dari tempat kami ngaso, terdapat dusun terpencil yang dihuni suku terasing. Suku itu memiliki kekhasan di wajah mereka. Mendengar ceritanya, saya segera menancap tripot dan mengarahkan kamera kepada gerbang desa yang penuh belukar. Tak lama, keluar seorang pemuda berpakaian hitam-hitam dengan parang panjang yang menggantung di pinggangnya. Saya memperhatikannya di display dengan saksama. Tadinya, pemuda itu berjalan tegak penuh percaya diri, namun ia menunduk dan menutupi wajahnya yang penuh jelaga setelah menyadari kehadiran kami dengan kamera. Menghindari bahaya, saya segera menarik senjata dan menyembunyikannya di balik semak, kemudian membalikkan wajah dan mengalihkan perhatian pada aliran sungai. 

“Jangan mi takut, baik jitu. Malu-malunya ji,” celutuk seorang perempuan. Saya berbalik dan kaget melihat matanya rusak sebelah. Ia menderita cat eye syndrome. Tampaknya ia tidak asing dengan kamera. Ibu berusia sekitar 45 tahun ini menceritakan ternak ayam dan kambingnya, tentang kesulitan anak-anaknya bersekolah, dan suaminya yang seorang buruh tani. Ia mengajak kami ke rumahnya. Saya kagum melihat caranya menata dapur dan alat-alat memasak tradisional dengan apik. Tak tampak secuil sampah pun di halaman rumahnya. Dua anak lelakinya sedang membuat kandang burung dan di belakang kandang kambing. Dalam tuturan bahasa Mandar asli, rupanya ibu ini mengira kami salah satu tim survey program bedah rumah dari pemda setempat. Tak ingin mengecewakannya (walau tentu saja saya berbohong), saya memotret rumahnya yang terbuat dari batako beberapa kali, kemudian lanjut mendengarkan curhatnya hingga selesai.
 ***


Takwin

Sehabis jumatan, bapak ini buru-buru keluar dari masjid lewat pintu belakang. Tak lama, ia muncul kembali dengan pakaian berkebun dan sepeda ontel. Pada setang sepeda, tergantung pisang raja segar. Melihatku duduk sendirian di teras rumahnya, ia menyambutku sebentar. Namanya Pak Takwin dari Majene. Setelah menikah ia pindah dan menetap di Bambaira sejak 20 tahun yang lalu. Saya pun meminta ijin mengambil gambar tamanan-tamanan di sekitar rumahnya. Pak Takwin seorang pekebun handal. Halaman rumahnya penuh tanaman yang menghasilkan pangan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti ubi jalar, pisang, kangkung, dan palawija. Khusus untuk lahan ubi jalar, ia memasang jala di sekelilingnya agar terhindar dari hama binatang dan manusia. Itu karena ia lebih suka makan ubi ketimbang nasi. 

Dari dalam rumah, muncul anak sulung Pak Takwin yang juga siap berkebun walau pakaiannya lebih cocok untuk nongkrong di alun-alun desa. Saya menyodorkan sebungkus kretek agar ia merasa semakin nyaman bercerita. Ia bercerita, rumahnya ini memang cukup bagus karena berlokasi tepat di pinggir jalan poros trans Sulawesi. Memikirkan seberapa menguntungkan tanahnya kelak memang menyenangkan, tetapi Pak Takwin lebih senang tinggal di rumah kebunnya, di atas bukit. Ia tidak kuat mendengar suara-suara truk pengangkut sawit di malam hari. Ia juga kuatir pada anak-cucunya nanti. Menurutnya, rumah tinggal harus terletak jauh dari jalan raya dan memiliki halaman yang luas untuk melakukan ritus keluarga. Adalah kebiasaan perempuan Mandar untuk menghabiskan sore di halaman rumah dengan mencari kutu, mengepang rambut, atau luluran, sambil mengawasi anak-anak bermain. Oh, laki-laki ini sangat bersahaja. Diam-diam saya mengaguminya. Sampai jumpa lagi, Pak Takwin.
***


Rute paling sulit dalam perjalanan kali ini adalah menuju desa Wulai, di bagian timur kecamatan Bambalamotu. Desa ini berbatasan langsung dengan area hutan Sulawesi Tengah. Sebagian orang berpikiran Wulai jauh tertinggal dari desa lainnya karena penduduk harus menyeberangi sungai selebar 20 meter untuk mengakses peradaban. Faktanya, justru Wulai memiliki standar infratruktur dan sosial desa yang baik. Lembaga organisasi desa, seperti kantor desa, BPD, kelompok Tani dan posko-posko pendukung partai politik justru berfungsi dengan baik di Wulai. Peternakannya juga lebih beragam. Tidak hanya sapi, kambing, dan unggas, penduduk Wulai memiliki peternakan babi hampir di setiap halaman belakang rumah. Ada 2 mesjid dan 2 gereja. Anak-anak mereka pun melek sekolah. Melihat banyaknya sepeda motor yang lalu-lalang di jalan poros gambaran kemakmuran penduduk desa ini.

selfiselfi Matias
Saya ke Wulai khusus mempelajari cara mereka beternak babi. Kebetulan, sekdes mengantar saya ke rumah peternak babi sukses di sana. Sang peternak membebaskan saya mondar-mandir di antara babi-babinya yang hitam dan gemuk. Kandang babi yang berlumpur itu berada di sekitar pepohonan nipah. Kandang dikelilingi pagar bambu dan berisi enam ekor babi. 2 pejantan baru saja dikebiri. Sementara yang betina sedang asik mengurus keempat bayinya. Menurut sang peternak, bayi babi berusia 5 bulan itu bisa terjual dengan harga Rp 500.000,- per ekor. Yang dewasa mencapai harga jutaan. Saya mengerti mengapa penduduk Wulai lebih makmur dari penduduk desan lainnya di Bambalamotu. Belum lagi jika menghitung hasil dari perkebunan sawit dan kelapa dalam yang mereka miliki. Saya berkelakar bagaimana kalau penduduk di sini kongsi-kongsi membangun jembatan. Bapak itu menimpali dengan serius, “Yang begituan bukan kewajiban kami, tapi pemerintah.” Di belakang kami, ada seorang pria tua yang tak ambil pusing pada percakapan kami. Saudara sulung si bapak. Namanya Pak Matias. Saya memperhatikannya sibuk mengasah parang berlatar belakang pemandangan babi-babi gemuk. Foto ini hanyalah satu dari sekian banyak foto Pak Matias. Oh, dia suka sekali difoto. “Selfiselfi” katanya.