Pukul 9 pagi waktu itu, aku menemukan isi kepalaku berkurang. Di bagian depan dan belakang. Hari-hari sebelumnya, isi kepala yang telah hilang itu membuatku sulit meluruskan posisi kepala. Terkadang, bagian dahi telampau berat hingga aku sering nyaris terjatuh tanpa mempedulikan lokasi. Benar-benar pagi yang ganjil, karena memang tidak biasanya aku merasakan seperti itu. Biasanya kepala berat, sangat.

Banyak bekas luka di kakinya. Rambutnya pendek seleher dan tidak wangi. Ruang-ruang di rumah ini berbau tembakau akibat kebiasaannya. Dia memanggilku anak dan menjuluki dirinya mamaku. Bukannya tidak sudi, tetapi aku sudah memiliki ibu.


Pertama kali memasuki tempat tinggal Sofie, aroma lepek menyeruak dari dinding lembab dan udara yang jarang terganti. Dia membuka pintu kandang. Harapnya, aku dapat menjelajah rumah agar terbiasa. Namun aku hanya berdiam di atas meja makan, memandang kecoak-kecoak merdeka di bawah lemari makan. Dia menyiapkan bak buang air, mangkuk makanan dan air minum di garasi yang sebenarnya menyatu dengan ruang keluarga. Dia memintaku minum, aku tidak bergeming. Air itu dari sumur bor.


Betapa aku muak melihat komentar, saran, bahkan makian nitijin terkait kebijakan pemerintah yang diterapkan di masa pandemi. Seolah mereka tahu dan pernah mengalami kondisi krisis yang sama seumur hidupnya. Perlu dicatat, sejak negara ini berdiri, bangsa Indonesia belum pernah mengalami krisis semacam ini. Pandemi COVID19 adalah yang pertama bagi kita, saudara-saudara.

Aku bergerak dalam dunia teramat sempit, meski beruang-ruang. Di luar sana, ada yang dapat bergerak bebas, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu ide ke ide lainnya. Aku di sini-sini saja. Ambang pintu ke dapur, kadang kala ke kamar mandi. Saat lelah, aku berdiam di dalam kamar tidur. Di depan rak buku seorang teman, [At least you keep the knife away].air mataku mengalir tak lagi menetes.


Disclaimer: Tulisan ini bukan bermaksud menyerang siapapun atau lembaga manapun, tolong jangan dicocoklogikan.

Ramai warganet melirik ke ilmu tata bahasa setelah keluarnya cuplikan video wawancara eksklusif antara Najwa Shihab dan Presiden RI baru-baru ini. Cuplikan tersebut amat singkat dengan langsung menampilkan satu pertanyaan saja. Lalu bagian jawaban Joko Widodo terpotong. Bagi kamu yang pernah membuat teaser promosi suatu tayangan, memotong di bagian yang memancing curiosity penonton merupakan skill tingkat tinggi. Cuplikan tersebut hanya sebagian kecil dari durasi total wawancara. Ibaratnya film, cuplikan itu adalah teaser dan video penuhnya merupakan filmnya. Bisakah kita menyimpulkan film tersebut hanya dari teaser-nya saja? Tidak.
I went to the oldest part of my memory
found a tiny girl drown into ditch
by her own imaginary friend
mom brushed her body not so gently
watered her with tears
of self pity

The next dusk I went again
- with a devoted yearning
saw the same lil girl, sitting beside
a fan of folk song who didn't sing along
she wore her favorite navy shirt, pony tailed hair
her language was limitless to utter
love for the man, so
she looked at anything behind glass
delivering truth to the air

two pieces
both are in war
hatred or fan-girling
I am no more a worshipper







Stasis in darkness.
Then the substanceless blue   
Pour of tor and distances.

God’s lioness,   
How one we grow,
Pivot of heels and knees!—The furrow

Splits and passes, sister to   
The brown arc
Of the neck I cannot catch,

Nigger-eye   
Berries cast dark   
Hooks—

Black sweet blood mouthfuls,   
Shadows.
Something else

Hauls me through air—
Thighs, hair;
Flakes from my heels.

White
Godiva, I unpeel—
Dead hands, dead stringencies.

And now I
Foam to wheat, a glitter of seas.   
The child’s cry

Melts in the wall.   
And I
Am the arrow,

The dew that flies
Suicidal, at one with the drive   
Into the red

Eye, the cauldron of morning.


by 
Sylvia Plath
1960
Corona is invading all over the city,
I am on my corner, writing my wounded cells.

I could only rely on pets, plants, and friends.
How could parents become such evils?
I never asked to be given birth.
I am not supposed to be alive.

Love is blind
Sometimes it's weapon to kill others
Love is reckless
Its shoulders are illusion.

All I need is leaving this world very soon.
I barely have no reason to stay.



Nenek kesayangan saya mati. Sima mati bukan karena apa-apa, memang sudah saatnya. Matinya natural. Keluarga besar dari garis ibu pun berkumpul di rumah nenek. Mereka datang dari segala penjuru. Aku juga hadir, sekadar memeluknya terakhir kali (sebab itu yang paling disukainya dariku) kemudian aku berlalu tanpa mengantarnya ke pemakaman. Waktu di sore hari itu malah kuhabiskan bersama kekasihku. Soalnya semasa hidup, Sima selalu periang. Pasti dia tidak ingin ditangisi.
Sima lahir di Manipi, Sinjai Barat. Keluarga kami mendiami sekitaran situs kerajaan Manipi. Ada yang bilang kami masih keturunan kejayaan masa lalu itu, tetapi Sima menampiknya, “Ah, tidak ada itu yang dibilang Karaeng kecuali Karaeng Allah Ta’ala” seraya menengadah ke langit-langit rumah. Eh, dia benar. Dari kacamata linguistik, Sima tidak merujuk kepada Tuhan bagi satu agama tertentu, tetapi Tuhan Yang Esa, Tuhan Semesta Alam.

Ketika Sima remaja, pimpinan DI/TII wilayah Manipi dan sekitarnya (entah bagaimana pastinya, yang jelas kata Sima penculiknya itu orang penting dari kalangan gerilyawan). Dia diculik untuk kepentingan politik: menikahi anak dari keluarga berpengaruh di suatu wilayah. Kata Sima, orang itu sempat melamar baik-baik, tetapi Sima menolak karena dia masih young, wild, and free. Terlebih pula, kakek buyut dan keluarga tidak menyukai motivasi di baliknya. Nenek diculik pada suatu malam dan dia dibawa ke dalam tenda persembunyian mereka di tengah hutan. Sementara itu, gerilyawan mengejak kakak Sima (kakek Tallasa namanya), sebab menolak dipaksa menyebut dua kalimat syahadat. Tallasa lari menerobos hutan dan lembah hingga terjebak di ujung “Tebing Penghakiman”. Tebing itu masih ada sampai hari ini. Sebagai titik yang menyeramkan, tempat itu dijadikan spot eksekusi adat bagi para pelanggar atau kriminal.