Disclaimer: Tulisan
ini bukan bermaksud menyerang siapapun atau lembaga manapun, tolong jangan dicocoklogikan.
Ramai warganet melirik ke ilmu
tata bahasa setelah keluarnya cuplikan video wawancara eksklusif antara Najwa
Shihab dan Presiden RI baru-baru ini. Cuplikan tersebut amat singkat dengan
langsung menampilkan satu pertanyaan saja. Lalu bagian jawaban Joko Widodo
terpotong. Bagi kamu yang pernah membuat teaser
promosi suatu tayangan, memotong di bagian yang memancing curiosity penonton merupakan skill tingkat tinggi. Cuplikan tersebut
hanya sebagian kecil dari durasi total wawancara. Ibaratnya film, cuplikan itu
adalah teaser dan video penuhnya merupakan filmnya. Bisakah kita menyimpulkan
film tersebut hanya dari teaser-nya saja? Tidak.
Di jagat twitter, ada pengguna
yang menyematkan arti literal kata ‘mudik’. Di situ tertulis bahwa ‘mudik’
merupakan sinonim ‘pulang kampung’. Suatu upaya baik dan objektif sebelum
menilai arti kata. Awalnya saya menduga bahwa istilah ‘pulang kampung’ telah mengalami
perubahan makna leksikal yang dalam hal ini diwakili dengan kata ‘mudik’. Satu
kata dapat mengalami perluasan atau penyempitan makna di mana kata tersebut
hidup (digunakan oleh masyarakat). Faktor-faktor yang menyebabkannya ada banyak,
termasuk siapa penggunanya, di mana digunakan, atau untuk tujuan apa. Pada
kasus tertentu, ada kata yang berubah makna secara ekstrim sebab konteks
lahirnya kata tersebut sudah tidak ada.
Sacara pribadi, baik ‘mudik’
maupun ‘pulang kampung’ adalah frasa yang jarang saya gunakan. Hal itu
disebabkan bahwa konteks di mana frasa tersebut bisa saya keluarkan telah gugur
di keseharian saya. Tempat lahir dan tumbuh besar saya adalah kota Makassar. Sejak
lahir hingga sekarang, saya tidak pernah merantau atau menetap di luar kota
Makassar. Saya pun tidak dapat mengatakan ‘mudik’ ketika berkunjung ke desa
asal nenek saya, karena ikatan emosional dengan daerah tersebut tidak pernah
dibangun dalam diri saya. Lain cerita ketika nenek yang dahulu merantau ke
Makassar, mengatakan ‘mudik’ atau ‘pulang kampung’ kepada anak-anaknya. Nenek
memiliki prasyarat untuk menuturkannya.
Beberapa sumber mengatakan kata ‘kampung’
berasal dari bahasa Portugis campo yang
berarti tempat perkemahan. Di bahasa Inggris ada ‘camp’. Bahaya Minang memiliki entri ‘kampoang’ dan KBBI memuat kata ‘kampung’. Melihat tradisi komunal
orang-orang Nusantara, kampung menjadi sebutan untuk wilayah permukiman khusus,
terdiri dari beberapa kediaman. Orang-orang lahir di tempat tersebut, hidup
bersama sebagai penghuni suatu wilayah yang berbagi ruang dan budaya yang sama.
Tradisi ‘merantau’ tidak hanya hadir di Nusantara. Apabila kita melacak
sumber-sumber sejarah atau karya sastra di luar Indonesia, kegiatan keluar dari
kampung halaman untuk mencari peruntungan di kota atau di tempat lain juga
terjadi.
Kita tentu karib dengan kalimat “I
am going home” dalam film atau novel. Kata ‘home’ adalah representasi tempat di
mana seseorang merasa paling nyaman. Bagi sebagian besar orang, ‘home’ adalah ‘kampung’.
Fonem ‘home’ di bahasa Inggris ditempelkan ke kata-kata lain sehingga menjadi ‘homeland’,
atau ‘homecountry’, kemudian bisa kita artikan sebagai ‘negeri asal’. Dari sini
dapat dipahami bahwa .kampung’ merupakan daerah asal atau dan sekaligus tempat
ternyaman bagi seseorang. Selesai di
kata ‘kampung’.
Definisi ‘pulang’ cukup mudah
sebab masih berada pada pemaknaan asli. Secara literal, ‘pulang’ berarti
perjalanan dari luar rumah menuju rumah. Di kota, pulang dari kantor atau dari
kampus. Dari kota ke desa juga dapat disebut pulang. Dalam karya sastra, ‘pulang’
kerap menjadi metafor perjalanan menuju belahan jiwa tokoh utama. Singkatnya,
pulang itu perjalanan dari tempat yang kurang nyaman menuju tempat yang nyaman.
Dalam konteks di Indonesia,
tempat ternyaman adalah kampung halaman. Di tempat itulah tinggal keluarga
besar, asal-usul darah, ayah-ibu, barangkali juga istri, dan secara administratif
dicatat sebagai alamat di Kartu Tanda Penduduk yang menjadi pintu masuk semua
kebijakan pemerintah. Bagi orang yang berasal dari kampung dan tinggal di desa,
ada istilah ‘mudik’. Kata ‘mudik’ merupakan singkatan dari ‘mulik sedelik’ atau
pulang sejenak. Maksudnya, kembali ke kampung dalam periode yang singkat untuk nantinya
kembali lagi ke kota. Alasan perantau untuk mudik bermacam-macam, kadang hanya
karena rindu, ada yang untuk rekreasi, ada pula karena mumpung hari libur.
Overcrowded di kota-kota besar seperti Jakarta membuat momen mudik
menjadi seremonial. Jumlah orang-orang yang bekerja di Jakarta namun berumah di
desa sangat banyak, sementara hari-hari libur nasional tidak terlalu banyak.
Banyak pekerja yang menjadikan lebaran sebagai waktu mudik paling tepat. Maka
tak ayal, terminal, bandara, dan stasiun selalu ramai pemudik setiap tahun.
Desak-desakan adalah hal yang biasa. Bahkan di beberapa momentum, aktivitas
mudik tersebut memakan korban nyawa. Di antara para pemudik, ada yang juga
sekaligus pulang kampung. Maksudnya, tidak akan kembali lagi ke tempatnya
merantau, meskipun sebagian besar memang mungkin hanya mudik saja. Inilah
kondisi lapangan mengapa kita sering mendengarkan ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’
dituturkan di tempat-tempat tersebut. Apabila tidak jeli, pendengar tuturan
akan menyimpulkan bahwa ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’ sama saja.
Secara timing, mudik dan pulang kampung dapat terjadi bersamaan, bisa pula
tidak. Kembali pada konteks kota, mudik melekat pada mereka yang
melakukan perjalanan ke desa di hari-hari libur. Sementara ‘pulang kampung’
dapat dilakukan kapan saja. April dan Mei 2020 menjadi bulan di mana kondisi ‘mudik’
dan ‘pulang kampung’ tercipta. Pandemi menjadikan banyak buruh kasar dan
perantau kecil harus pulang kampung. Hal itu disebabkan oleh surutnya mata
pencaharian dan menipisnya tabungan, sementara biaya hidup di kota besar,
tarolah Jakarta, sangat tinggi. Sebagian besar di antara mereka pun memutuskan
pulang kampung dengan asumsi biaya hidup lebih murah, support system ada dan
layak, serta keluarga mereka ada di kampung. Menyebut itu sebagai tindakan
mudik saja juga belum tentu. Mereka sadar bahwa pandemi telah mengubah banyak
hal, termasuk mungkin membuat mereka mikirkan lirik lagu GodBles itu ada
baiknya diamalkan. Pada kondisi sekarang, justru ‘pulang kampung’ lebih dekat
ke istilah ‘bertahan hidup’.
Bila melihat kelas sosialnya,
mudik memang lebih hidup pada masyarakat golongan menengah. Yaitu mereka yang
memiliki keberdayaan finansial, tabungan banyak, atau pengusaha di sektor-sektor
vital yang masih mampu bertahan meski pandemi melumpuhkan sebagian besar
aktivitas ekonomi. Meskipun mereka berkampung di luar Jakarta, mereka masih
mampu bertahan hingga beberapa bulan ke depan, atau bisa saja selamanya. Oleh
pemerintah, aktivitas mudik kaum menengah ini yang dianggap akan memicu klaster
pandemi baru dan mempersulit upaya gugus tugas untuk mengontrol penyebaran.
Kembali ke pada video wawancara penuh, lanjutan dari cuplikan tersebut, Joko
Widodo dengan tenang menjelaskan perbedaan kedua istilah dan lasan mengapa
mudik akan dilarang, sementara aktivitas pulang kampung sebagai upaya survival
(sekarang sedang berlangsung) tetap dibiarkan. Pada contoh buruh bangunan yang
tinggal desak-desakan di kontrakan petak, terlihat bahwa presiden justru
menganjurkan mereka pulang kampung agar dapat menerapkan physical distancing, mengingat ruang di desa-desa belum sepadat di
kota. Hal itu pula terkait BLT yang wajib disalurkan pemerintah melalui jalur
administrasi (dilihat berdasarkan KTP) yang menjadi tanggung jawab
kepala-kepala daerah. Lebih mudah bagi mereka untuk melakukan klaim bantuan sosial
bila langsung dari kepala desa
Oh, iya. Menyinggung wikipedia yang seketika berubah
mengikut kepada penjelasan presiden (di KBBI saya belum cek), saya melihatnya
sebagai upaya para ahli bahasa yang akhirnya sadar perbedaan kedua terma di
atas. Kamus M. Webster pun memiliki tim sendiri yang bertuga untuk melakukan
revisi pada entri-entri kata bahasa Inggris, termasuk konteks baru, definisi
baru, contoh penggunaan baru dan lain-lain yang aktual. Boleh dikata bahwa
kamus bahasa memang acuan utama, namun bukan seluruhnya memuat hukum bahasa
yang paten dan tidak bisa digangganggu gugat. Bila dianggap seperti itu, justru
dapat mengejawantahkan sifat bahasa yang fleksibel, arbitrer, dan berubah-ubah.
0 comments:
Post a Comment