Aku bergerak dalam dunia teramat sempit, meski beruang-ruang. Di luar sana, ada yang dapat bergerak bebas, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu ide ke ide lainnya. Aku di sini-sini saja. Ambang pintu ke dapur, kadang kala ke kamar mandi. Saat lelah, aku berdiam di dalam kamar tidur. Di depan rak buku seorang teman, [At least you keep the knife away].air mataku mengalir tak lagi menetes.
Karantina bukan penyebabnya. Kesempitan ini hal yang karib, bagian dari hidupku. Meskipun ruang gerak meluas menjadi beberapa kilometer, gerakanku begitu-begini saja. [At least you keep the knife away]. Duniaku sempit sekali, sebebas apapun yang dikatakan orang-orang. Aku tidak bergerak sebagaimana butuhku.
Aku juga sempat beberapa kali naik pesawat, menyeberang air, naik bus menempuh lebih dari 200km tetapi pada akhirnya aku harus kembali ke titik berangkat. berdiam di sana cukup lama. pergi lagi. kembali lagi. [At least you keep the knife away]. begitu melulu.
Duniaku tak hanya sempit, tetapi juga sunyi. Aku memulai percakapan, jarang ada yang menimpali. Paling baik hati, mereka menjawab sekenanya. Pernah ada yang menimpali, tetapi dia menjawab untuk membenarkan dirinya sendiri. Aku berdialog dengan diri sendiri lebih sering. [At least you keep the knife away]. Bilakah ada teman untuk mengirim pesan pendek, aku harus bersiap untuk tidak menerima balasan cepat. Kadang harus kutunggu beberapa jam untuk jawaban singkat, sekadar aku tak merasa diacuhkan. Sebenarnya bukan kata-kata yang ingin aku tumpahkan, melainkan perasaan. [At least you keep the knife away]. Aku ingin ada yang mengerti bahwa lelahku buka fisikal. Tidur dan sedikit perenggangan telah meredakanya. Lelahku ada di dalam sini, di dalam jiwaku.
Sepi ini juga hasil sumbangsih sosial, orang-orang di sekitar, stigma, nilai-nilai tidak penting yang disematkan atas jenis kelaminku, tubuhku, kebiasaanku, keluargaku, jumlah penghasilanku, bekas sekolahku, teman-temanku. mereka tidak menilaiku sebagai aku. [At least you keep the knife away]. mereka menilaiku sebagai mereka. maka dari itu, sedikit percakapan di mana aku bisa membahasakan diriku, tentang jiwa yang berada di balik tulang dan daging ini. aku hanya dihargai atas tulang dan dagingku.
Adakah dunia yang lebih sepi dari milikku?
Adakah yang lebih sepi dari dunia perempuan di antara bising titah sosial, kata-kata leluhur, perbandingan usia, pendidikan dengan ruang-ruang keramat, pembalut berventilasi, dan bingkai kacamta? Ada darah, ada luka. Jauh dari kata-kata.
0 comments:
Post a Comment