Banyak bekas luka di kakinya. Rambutnya pendek seleher dan tidak wangi. Ruang-ruang di rumah ini berbau tembakau akibat kebiasaannya. Dia memanggilku anak dan menjuluki dirinya mamaku. Bukannya tidak sudi, tetapi aku sudah memiliki ibu.
Pertama kali memasuki tempat tinggal Sofie, aroma lepek menyeruak dari dinding lembab dan udara yang jarang terganti. Dia membuka pintu kandang. Harapnya, aku dapat menjelajah rumah agar terbiasa. Namun aku hanya berdiam di atas meja makan, memandang kecoak-kecoak merdeka di bawah lemari makan. Dia menyiapkan bak buang air, mangkuk makanan dan air minum di garasi yang sebenarnya menyatu dengan ruang keluarga. Dia memintaku minum, aku tidak bergeming. Air itu dari sumur bor.
Pada hari kedua dan ketiga, aku belum menyentuh makanan kering yang disiapkannya. Bagiku makanan adalah nasi campur cubitan daging cakalang goreng. Setiap ada kesempatan, dia mengelus tengkukku sembari meminta maaf. Maafkan aku, kata Sofie. “Secepatnya kan 'kubelikan kamu ikan di pasar. Hanya untukmu, anak manis.”
Pagi tadi Sofie iseng mengocok sebutir telur ayam kampung untukku. Di rumah sebelumnya, makanan ini biasa disajikan sebagai cemilan untukku, ibu, dan ketiga saudaraku. Terpaksa kujilati hingga tandas setengah. Sofie lega, akhirnya aku berkenan makan. Dia berpikir aku sedang stres menghadapi lingkungan baru tanpa adanya kucing lain. Itu benar satu alasan, namun yang utama adalah aku tidak senang kepadanya.
Pemilikku sebelumnya, Liu membuka pagar rumah untuk seorang tamu yang datang berkendara sepeda motor metik. Liu dan ibunya pun memancing kami berkumpul dengan sepiring cubitan ikan tanpa nasi. Lalu Liu mengangkatku ke gendongannya dengan lembut dan menyerahkanku kepada tamu itu. Si tamu datang tanpa persiapan, hingga aku harus meninggalkan rumah dengan kardus diselotip ketat. Ibu dan saudara-saudariku tidak turut dibawanya. Satupun tidak.
Manusia satu ini agak pemalas dan bodoh. Sudah tahu dirinya bukan nokturnal, malah terjaga di malam hari. Hampir setiap saat kulihat dia berada di depan laptop . Saat sedang sibuk seperti itu, aku menyelinap keluar rumah mencari udara segar. Kecoak-kecoak yang keluar dari selokan menjadi hiburan tersendiri. Sejak pertama kali aku tiba, sudah puluhan yang berhasil aku lumpuhkan. Belum termasuk tikus dan lipan.
Sulit aku mengerti alasan Liu dan ibunya melepasku. Beberapa waktu sebelum aku dijemput, Liu memang terlibat adu mulut dengan tetangga depan. Aku biasa menangkap burung gereja di atap rumahnya. Orang itu mengeluhkan jumlah keluarga kami, juga kebiasaanku. Liu menjawabnya dengan kepala dingin sampai tetangga itu berkata “Sipit” dengan nada tinggi. Liu meminta kami masuk ke pekarangan rumah sembari meneteskan air mata. Ibu Liu memeluk ibuku yang sedang hamil tua. Menjadikan kucing sebagai alasan bertengkar itu tidak masuk akal, ujar ibu Liu.
Aku mogok makan lagi. Seharian ini, Sofie memaksaku melakukan segala sesuatu di dalam rumah saja, seolah aku adalah dirinya. Sore tadi aku memang berkelahi dengan kucing totol berbadan besar di ujung lorong. Kata Sofie, sebaiknya aku tidak mencari masalah dengan kucing itu karena pemiliknya sensiti. Sofie tidak ingin ada yang menyakitiku. Apalah dayaku, masih berusia 4 bulan. Cakar dan ototku belum cukup kuat dipakai memanjat ke kusen jendela, apalagi melewati langit-langit rumah.
Sofie keluar rumah barang 30 menit dan membawa pulang kandang, makanan rasa tuna dan pasta sachet. Dari mana dia tahu pasta itu bisa membujukku menyodorkan dagu untuk dibelai, juga tengkuk, juga perut. Pasta yang enak itu juga membuatku mengurungkan niat bermain di luar rumah. Aku pun melakukan hal yang seharusnya telah selesai di hari pertama.
Ruangan demi ruangan kujelajahi. Di dalam kamarnya, terdapat kasur, lemari penuh buku, dan karpet kecil. Di dindingnya ada banyak lukisan tua, tergantung cukup tinggi sehingga tak dapat kurasakan teksturnya. Lukisan paling besar menggambarkan banyak orang sedang duduk di depan meja panjang dan mengangkat gelas. Di sampingnya ada hiasan dinding yang bentuknya hampir sama dengan liontin milik Liu. Setiap malam, sebelum tidur, Liu mengenggam liontin itu dan berdoa. Doa terakhir yang aku dengar agar keluarganya, termasuk kami, senantiasa mendapatkan kedamaian dan perlindungan. Pemilik baruku ini tidak pernah berdoa sebelum tidur. Sesekali hanya kudapati dia bergerak naik-turun di atas karpet kecil tadi. Mulutnya pun komat-kamit entah.
Saat seperti ini, biasanya aku dan saudara-saudaraku bermain gulat. Awalnya aku mengalah, akhirnya akulah yang paling kuat. Ibu akan datang dan menjilati kami satu-persatu dengan lembut. Disusul Liu, membaringkan kepalanya sejajar dengan kami. Sofie juga melakukan hal yang sama. “Penyu. Itu nama yang cocok untukmu,” ujarnya. Buruk sekali. Aku bukan binatang air. Lurik di punggungku mirip cangkang. Apabila aku melingkar, menurutnya, tampak seperti seekor penyu yang sedang berlindung di dalam rumahnya. “Aku ini kucing!” Aku mencakar pipinya. Dia menatapku lekat. Sepasang mata di balik kacamata cokelat itu tidak berkedip. Jangan-jangan aku berhasil membuatnya marah. Hore, aku akan pulang!
Elusan mendarat di tengkukku, lebih lembut dari sebelumnya. Manusia ini kepala batu rupanya. Itu pula yang membuatnya sangat bodoh bagiku. Aku masih kesal, jadi kubanting gelasnya. Kopi yang masih panas tertumpah, mengenai kakinya. Aku diraih ke gendongannya. "Baiklah, kamu kupulangkan besok pagi,”
Ia memutar tayangan komedi di ponselnya sembari melakukan banyak hal: menyisirku, menepuk-nepuk bedak ke badanku, dan membersihkan kotoran di kepalaku. Setelah itu, dia mengemas makanan dan pasta ke dalam kandang. Selembar kain wol juga dimasukkan agar aku merasa nyaman di perjalanan nanti. Ia bergerak lambat tanpa gairah. Caranya bersedih seperti Liu, tetapi tanpa tetesan air mata. Seharusnya aku iba kepadanya, tetapi mengapa dia tidak iba kepadaku di hari dia memisahkanku dari keluargaku? Prang!
Kaca jendela depan retak. Ada kerikil yang menggelinding ke selokan. Dia kebingungan sebab volume pelantang ponselnya masih pada batas wajar. Sejak pertama di rumah ini pun, kami nyaris tidak melakukan hal-hal yang aneh bagi tetangga. “Kadangkala, aku merasa kucing lebih pandai dari sapiens,” ujarnya kepada diri sendiri.
***
Sepanjang perjalanan, aku tidak mengeong sekalipun. Kusimpan semua tenaga untuk ibu dan saudara-saudaraku saat berkumpul lagi. Sepeda motor melaju pelan, penuh kehati-hatian. Kandang pun diselubungi kain tipis agar meneduhkan. Setelah perjalanan yang panjang, sepeda motor berhenti dengan decitan. Dia bergegas meninggalkan sepeda motor seolah aku tidak butuh diturunkan. Aku ditinggalkannya begitu saja.
“Wingky, anakku!” itu suara ibu. Dia menyahut di balik bak sampah. Ibu sedang bersembunyi Aku mendekat ke jendela kandang. “Ibu, maaf aku datangnya lama. Kakak dan adik di mana?"
“Ibu tidak tahu tetapi mereka berada di tempat yang aman,” ibu terbatuk-batuk. Ini tidak seperti yang kuharapkan. Sehari setelah semua saudaraku telah diadopsi manusia lain, sekelompok manusia berjubah putih mendatangi rumah kami. Mereka berteriak memaksa Liu dan ibunya angkat kaki. “Waktu itu, banyak manusia, banyak suara. Liu dan ibunya terburu-buru pergi, sampai tidak sempat membawa ibu. Padahal, Liu bilang akan merawat ibu dan adik-adikmu nanti."
Sebagai kucing, aku tidak dapat memhami peristiwa yang telah menimpa keluarga kami. Aku mengeong senyaring-nyaringku. Aku bingung, terkejut, sedih, dan marah. “Seharusnya kamu tidak kembali, nak.” ibuku tertunduk dengan mata berkaca-kaca.
Sofie kembali. Amarah besar terpancar dari sorot matanya. Di sisi motor dia berujar kepadaku dengan nada yang ditekan, “Kadangkala, aku merasa kucing lebih terhormat dari sapiens.” Dia melihat ibuku di persembunyian lalu tanpa ragu menggendongnya dan dimamasukkan ke kandang bersamaku. Sepeda motor melaju di jalur semula dalam kecepatan yang lebih lambat lagi.
0 comments:
Post a Comment