Pukul 9 pagi waktu itu, aku menemukan isi kepalaku berkurang. Di bagian depan dan belakang. Hari-hari sebelumnya, isi kepala yang telah hilang itu membuatku sulit meluruskan posisi kepala. Terkadang, bagian dahi telampau berat hingga aku sering nyaris terjatuh tanpa mempedulikan lokasi. Benar-benar pagi yang ganjil, karena memang tidak biasanya aku merasakan seperti itu. Biasanya kepala berat, sangat.
Tanpa diawali segelas air putih, aku membakar kretek rasa maduku dan mulai mencari penyebabnya. Berpikir pun terasa lebih mudah. Cepat sekali aku tiba pada jawaban bahwa ringan kepala ini disebabkan oleh peristiwa kematian. Sang almarhum adalah ayah saya sendiri.
Pada malam di mana segala perangkat medis untuk menjaganya tetap bernafas menempeli tubuhnya yang renta, saya datang dalam keadaan siap menghadapi resiko apapun. Teman-teman yang baik menjaga saya di luar ruang ICU. Menurut dokter, ayah sedang dalam keadaan koma. Kugenggam tangan kanannya, memijatnya lembut seperti biasa. Ayah tersadarkan. Kelopak matanya bergerak-gerak. Aku membisikinya banyak kalimat, lamat-lamat. Ada bulir air di sudut mata kanannya. Aku tahu dia sudah mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang muncul di benaknya selama 4 tahun tidak dapat bertemu denganku. Aku tahu dia pun telah memaafkan dan dimaafkan.
Begitu saja. Ancaman sekelompok orang rakus membuatku tidak dapat bersamanya lebih lama. Pukul 8 pagi pada hari yang sama, ayah pergi. Aku tidak turut mengantar mayatnya ke kuburan. Aku kembali ke kontrakan dan tidur lebih dari 12 jam. Tidurku nyenyak. Aku tidak bermimpi, kalaupun ada sudah terhapus dari memori otak.
Orang-orang berkata ku mendendam kepada ayahku, sebab aku tidak mengunjunginya selama 4 tahun. Jujur saja, banyak perilaku ayahku yang membuatku kesal. Bahkan pada suatu malam, aku merasakan patah hati yang luar biasa. Cinta pertamaku, dia, tidak mencariku untuk menanyakan kabar dan mengatakan "Nak, ayah mencintaimu." melainkan hanya berkata "Katakan pada putriku, uangnya akan segera aku kirimkan". Memuakkan, hampir semua orang yang kukenal menilaiku dengan seonggok uang belaka. Kali ini, ayahku yang memproduksiku pun menilaiku dengan cara yang sama. Seperti memang hanya aku dan Tuhan yang tahu siapa diriku sebenarnya. Sebagian dari aku inginkan satu di antara mereka memahami pandanganku soal harta, tapi tidak satupun yang sanggup. Antara aku ini 'anak salah' atau 'satu-satunya yang benar di antara kita". Namun toh siapapun yang tidak mengikuti tren umum, maka dianggap si pesakitan. Aku percaya diri aku manusia yang benar dan baik. Dan itu cukup untukku. Aku tidak perlu menjelaskan dan berupaya membuktikannya, sebab pada akhirnya kenyataan akan membenarkan yang sepatutnya dibenarkan. Hidup seperti itu, bukan?
Bila dikatakan kematian tidak dapat membuatku bersedih, dapat aku iyakan. Bagiku, kematian itu finalisasi. Peristiwa yang sepatutnya menjadi tujuan hidup, hukum alamnya seperti itu, kan? Maka dari itu, proses selalu menjadi kunci. Seperti apa kita menjalani keseharian adalah kunci sebagai manusia. Apakah hari ini aku mendapatkan upah dari bekerja sesuai tanggung jawab, ataukah di antaranya ada jerih payah orang lain yang aku curi secara sengaja. Niat sebagai tuturan jiwa adalah landasan berbuat.
Sebagai penutup, kukatakan bahwa jiwaku telah diperbaharui oleh peristiwa kematian. Beban-beban yang membuatnya lemah selama ini hilang bersama tanah pekuburuan yang sengaja tidak kuhadiri. Aku ingin mengunjungi suatu hari nanti, membawa cerita yang banyak untuk kututurkan di depan batu nisan -- seperti kebiasaan kita dahulu, ayah. Kau membebaskanku ke manapun inginku agar aku dapat mengisahkan banyak cerita ketika kita bertemu sekali atau dua kali dalam tiga bulan.
0 comments:
Post a Comment