Teguh Karya, Suhu teater dan Legenda Perfilman Indonesia

Festival Film Indonesia, penulis sering menyebutnya “Academy Award-nya Indonesia” pasca kemenangan “Ekskul” yang controversial, tidak henti dilanda masalah. Beberapa tahun terakhir, Piala Citra diduga banyak salah alamat. Para penggiat film tahah air pun tak henti memberikan asumsi-asumsi negatif terkait tim penyelenggara FFI. Mengagungkan Teguh Karya sebagai wajah FFI tahun ini seperti penawar racun yang manjur. Beliau merupakan legenda sinema Indonesia dan karya-karyanya yang banyak dirujuk penggiat film sekarang ini.


Teguh Karya lahir dengan nama Liem Tjoan Hok di Padeglang, Banten pada 22 September 1937. FFI 2015 pun dihelat di kota ini sebagai bentuk totalitas penghargaan kepada almarhum. Steve Liem, begitu ia dahulu sempat dikenali, seperti kebanyakan seniman sineas tahun 1970-an, Teguh Karya juga mulai berkesenian dari panggung teater sepanjang tahun 1957-1961 langganan sebagai pemain drama di panggung-panggung Akademi Teater Nasional Indonesia. Ia bergabung bersama Dewan Kesenian Jakarta (1968-1972), ketika Gus Dur menjadi ketua DKJ.

foto dari IFC
Pada tahun 1968, Teguh Karya membuat film anak-anak dan baru menghasilkan film dewasa pertamanya 3 tahun kemudian, saat sibuk melakukan tugas praktik penulisan scenario film-film semi documenter di PPFN (Perusahaan Film Negara). Di PPFN, beliau mendapatkan kesempatan luas untuk berkarya di banyak departemen, baik sebagai penulis scenario, penata artistik, pemain, hingga asisten sutradara.

Di saat yang bersamaan, Teguh mendirikan Teater Populer di kediamannya, di jalan Kebon Kacang, Tanah Abang. Di sinilah banyak seniman kawakan Indonesia dilahirkan. Dari beberapa kenangan para “anak” Teguh Karya, beliau dikenal sebagai seorang seniman non-stop. Ia tidak pernah puas pada pencapaiannya. Teguh Karya melakukan banyak cara untuk melahirkan generasi baru, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, dan Alex Komang merupakan sedikit di antara aktor-aktor yang “dilahirkannya”. Ajaran-ajaran Teguh Karya pun masih ditanamkan para anaknya. Siapa yang tidak mengenal Christine Hakim, dalam “Eat Pray Love” ia beradu akting dengan Julia Roberts dan menjadi salah satu aktris kenamaan yang diundang menghadiri banyak festival film internasional.



Teguh Karya juga tak luput dari bencana mati suri film Indonesia. Kondisi ini membuatnya turut meramaikan layar kaca. Beberapa judul karya sinema elektronik yakni “Pulang” (1987), “Arak-Arakan” (19920, dan “Pakaian dan Kepalsuan” (1994). “Cinta Pertama” (1974), “Ranjang Pengantin” (1975), “November 1828” (1978), “Ibunda” (1986), “Di Balik Kelambu” (1983), dan “Pacar Ketinggalan Kereta” (1988) memberinya gelar sutradara terbaik Festival Film Indonesia.

Teguh Karya dikenal bermazhab realis. Melalui Teater Populer, beliau mengejawantahkan gagasan-gagasan teater realis di atas panggung, menyambungkan tali idealism yang dibawa Usmar Ismali dan Asrul Sani. Sebagai orang realis, dalam mendidik para rekan di balik layar, Teguh Karya menciptakan suasana yang agaknya serius. Berdasarkan cerita Christine Hakim, beliau selalu meminta para actor yang tidak sedang berakting untuk tidak bermain-main. Ia meminta mereka untuk terus memperhatikan aktifitas di atas panggung, agar mereka tidak keluar dari dimensi cerita.

Tokoh ini meninggal di usia 64 tahun di RSAL Mintoharjo pada tanggal 11 Desember 2001, setelah menderita stroke sejak tahun 1998. Teguh Karya hidup melajang sepanjang hidupnya. Orang-orang yang mengenal dekat beliau menceritakan kalau Teguh Karya sebenarnya sosok yang penuh cinta, akan tetapi ada ruang-ruang khusus bagi setiap aspek dalam hidupnya. Dan pernikahan mungkin berada dalam ruang yang misterius baginya dan bagi orang lain.

0 comments: