Jalan Kaki dari Tepi Makassar ke Pangkep

Kalau takdir, alam memberikan jalannya. Awalnya Monyek enggan mengajakku tracking, katanya ini simulasi personal. Dia tidak ingin membagi rutenya denganku. Apalagi, sekali pernah ia ceplos mengutarakan maksud terdalam di balik semua petualangannya selama ini. Dia pikir, aku tipe orang yang akan menceritakan apapun kepada siapapun. Mungkin benar, mungkin juga salah. Aku hanya menulis dan tak peduli siapa pun yang akan  membaca tulisanku. 

foto oleh admin | pemandangan melewati Leang-leang (diambil dari atas pick-up tumpangan)

Begitu aku mendapat bbm “bala bantuan, datanglah!” aku tergelincir karena tertawa terbahak-bahak. Pemimpin hebat mana pun di dunia ini, butuh buah pikir seorang wanita. “Susulka. Trouble kaki kiriku. Dari paha ke jemari. Ransum juga out of stock” demikian isi bbmnya. Aku memang telah bersiap-siap untuk menyusul Monyek saat ia tiba di titik paling strategis dari rute pulang-kampung edisi jalan kaki versinya. Paling-paling dia akan melintasi poros Maros-Camba untuk mencapai Pakalu, pintu gerbang Leang-leang. Bbm minta tolong itu ia kirimkan saat mendapatkan satu bar signal di sekitaran Ta’deang, beratus meter dari Biseang Labboro (Bislab). Tampaknya Monyek mengerahkan seluruh kekuatan, menyeret sepasang kaki yang telah payah, menuju SoaSoa AdventurePark, tempat beberapa orang yang dikenalnya berada.

Bbm itu kuterima hari Kamis, sekisar pukul 14.00. Sembari mencari pesanan Ayah, aku berkeliling toko outdoor, mencari hammock, pisau lipat, headlamp dan perlengkapan lain. Sayangnya, sepatu ukuran kakiku tidak diproduksi massal. Aku hanya mengenakan sandal gunung merek segala umat yang sudah buluk. Pukul 4 dini hari, Jumat, 18 September 2015 aku meninggalkan area pemukiman Biring Romang tanpa tidur sekejap mata pun. Lantaran menurut Dwiky dan Nila merasa kurang enak melihat aku pergi menyusul Monyek, tanpa perlengkapan camp dan tracking yang  baik. Aku optimis, keadaan Monyek tidak Se-SOS isi Bbmnya. Dia bukan petualang kemarin sore. Lagipula Monyek menggendong carrier 80liter berisi peralatan camp lengkap dan tenda yang muat untuk empat orang. Tak perlu GPS pula untuk melacak kordinat Monyek. Anak PA domestic akan baik-baik saja di sekitaran TN. Bantimurung-Bulusaraung.

foto oleh admin | berkumpul bersama sekumpulan para Manggala Agni dari timur

Aku membawa carrier 60 liter berisi dua lembar kaos, satu jaket parasut, pakaian dalam, mukenah, peralatan mandi dan anti kulit terbakar. Hammock kurasa cukup. Di antara sekian banyak perlengkapan outdoor, penemuan hammock yang paling hebat, menurutku. Kantong tidur gantung berbahan taslan dapat berfungsi sebagai sleeping bag atau tenda flysheet. Penemuan yang multifungsi. Carrier-ku juga berisi ransum untuk  makan 2 kali sehari selama 3 hari. Tambahan, kelengkapan P3K untuk membereskan trouble di kaki Monyek.

3 senjata

Dalam kantong celana cargo selutut, kusematkan pisau lipat dan ponsel dengan aplikasi tracking terbaik. Hanya untuk berjaga-jaga, kalau Monyek kelewat pede memutuskan beristirahat di tempat sepi dan jarang dilalui anak PA lain. Dan Nikon untuk mengabadikan ekspedisi kurang kerjaan ini.

Ryan mengantarku dengan sepeda motor – karena tidak enak hati melihatku jalan kaki, dini hari, tanpa tidur – higga ke pusat kota Maros. Aku memejamkan mata sejenak di masjid. Begitu matahari terbit, aku menelusuri pasar Maros, mencari bandage dan microsd untuk backup data camera. Pencarianku selesai pukul 09.30. Aku tiba di gerbang Bislap pukul 10.11 wita dan beristirahat sejenak di balai-balai, halaman area Waterpark Maros.

Di balai-balai, sekelompok orang mendatangiku. Mereka melihat ukuran bahu dan lenganku yang cukup besar untuk perempuan. Betisku pun, mereka kagum melihatnya. “Wah, tubuhmu didesain jadi orang liar,” Aku tersenyum getir, aku rasa kelakar mereka agak aneh-, 

Satu per satu mereka memperkenalkan diri. Masing-masing berasal dari Balai Taman Nasional dari seluruh wilayah Indonesia Timur, dari Pegunungan Laurentz hingga tuan rumah TN. Bantimurung-Bulusaraung. Mereka mengajakku berkunjung ke daerah kekuasaan mereka suatu hari nanti. Benar-benar pertemuan yang menyenangkan. Tentu saja, aku akan mengunjungi tempat-tempat itu, kelak jika Tuhan memberi jalan.

gerbang Soasoa Adventure Park

Pukul 11.45 aku menyeberang jalan menuju jembatan yang membatasi jalan poros dan gerbang Bislab. Pada mula jalur, ternyata ada semacam resort area, bertajuk “Soa-Soa Adventure Park”. Aku berbincang lama dengan Aryo, salah seorang pengelola Park. Aku agak ragu, benarkan Monyek berada di sini atau jangan-jangan dia mendirikan tenda di camping area Bislab.

“Mau ke mana?” tanya Aryo. Dia alumni Fisika, Unhas.
“Menyusul temanku di sekitar sini. Katanya dia ada sedikit masalah,”
“Dayat?”
“Yah, si Monyek,”
“Dia ada di belakang sana, lagi mandi”

Kulihat carrier Monyek tergeletak di balai-balai, di belakang Aryo. Ternyata memang dia tidak se-SOS itu. Monyek muncul dari kamar mandi dengan selembar handuk di bahunya. Ia sumringah “Lu datang beneran ternyata,”

bertemu Monyek

Iyalah, gue datang. Emang gue mau bertualang, kok. Kataku dalam hati. Lalu kami coffee break sejenak di teras pos pengelola, bersama Aryo dan bung Andy, si pemilik SoaSoa. Kami menghabiskan sore hari dengan belajar teknik dasar rafting. Malamnya, Yudi, salah seorang pengelola juga, dan anak-anak membakar sekantung jambu mete untuk dibuat tenteng, sebagai bekal stamina kami esok hari.

sebelum meninggalkan Soasoa
Kami meninggalkan SoaSoa pukul 09.30 pagi menuju desa Pakalu, pintu gerbang gua Leang-Leang. Perjalanan ini diawali dengan kaki kanan, menyusur kembali jalur kedatangan kami. Monyek ingin perjalanan kami tidak diselingi kendaraan, seolah staminanya tanpa batas. Aku memilih tidak memaksakan kemampuan fisik. Saat beristirahat di warung jagung rebus, Monyek menghentikan sebuah truk dari Bone. Supirnya bersedia membawa kami hingga ke gerbang Pakalu. Si supir bercerita, menjadi supir truk adalah pekerjaan pilihannya. Baginya, mengangkut hasil bumi dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya bukan hal yang mudah. Ribuan jiwa bergantung pada keselamatan angkutannya. Bapak itu tidak memperkenalkan namanya, namun kami takkan melupakan wajahnya.

Estimasi perjalanan dari Pakalu ke Bosowa sekisar 3 jam dengan taksiran 4 km per 30 menit jika dengan stamina dan kecepatan langkah yang stabil, sesuai estimasi waktu perjalannya Kamis lalu. Hari itu tentu, Monyek berhasil memenuhi rencana tracking-nya, karena dia berjalan sendiri. Namun, menurut taksiranku, Monyek memperlakukan tubuhnya semena-mena, karena itu kaki kirinya kena trouble. Estimasi waktu yang tepat menurutku, 3 km per 30 menit dan diselingi istirahat setiap 15 menit.
foto oleh admin: gerbang Leang Leang

Monyek tidak mendengarkan imbauanku, tetapi diam-diam aku memperlambat langkah agar memenuhi estimasiku sendiri. Aku tidak ingin tracking ini menjadi yang terakhir kalinya. Rencana perjalanan dengan kaki dari Pare-Pare ke Menado masih jauh dari hari ini. Kami harus memantapkan fisik. Jangan kalah di simulasi.

3 km per 30 menit. Kami tiba di pertigaan menuju Bosowa pada pukul 15.30 wita. Dengan 2 kali istirahat: 1 kali di Gua Leang-Leang dan 2 kali di sepanjang jalan beton Kalabirrang, berarti jarak tempuh kami sekitar 15 km. Di pertigaan Bosowa tersebut, kami berpapasan dengan rekan Operasi Rekor Muri Leang Pute pada Agustus lalu. Mereka mengantar kami dengan sepeda motor hingga ke gerbang Salenrang: jalur darat menuju dusun Rammang-Rammang.

foto oleh admin | sepanjang perjalanan, kami bertemu banyak anak-anak

singgah minta air di posko pengelola Leang-leang


di depan gerbang Leang-leang

Salenrang ke Rammang-Rammang dimulai pukul 16.05 wita dan berakhir pukul 17.15 wita. Perjalanan yang cukup singkat, melewati jalur penuh batu curam dan memotong pematang-pematang sawah warga. Lebih mudah melewati jalur ini karena kami tak perlu mengeluarkan energi ekstra demi mengimbangi suhu yang dipantulkan beton. Apalagi, mataku minus dan tubuhku tidak cukup tinggi, sehingga langkahku mudah diperlambat terik matahari.

foto oleh admin | memasuki Rammang-Rammang, lewat jalur darat Salenrang

Kami disambut surau bersahaja di tengah sawah, dikelilingi bukit-bukit karst, penduduk local, dan aroma pepohonan nipah. Memasuki Rammang-Rammang melalui jalur darat, seperti memasuki hidden paradise. Atau seperti memasuki dusun yang memencilkan dari di tengah pegunungan. Apalagi melihat kondisi tanah dan ekosistem Rammang-Rammang yang kurang baik untuk pertanian. Dusun ini dihuni 17 kepala keluarga dengan 15 rumah panggung. Penduduk bertani, menambak dan mengurus pariwisata sebagai mata pencaharian. Untuk bersekolah, anak-anak dusun harus berjalan kaki ke jalan poros atau menumpang rakit-rakit buatan ayah mereka.

foto oleh admin | para kepala keluarga di dusun Rammang-rammang, menanti turis

Objek wisata utama di dusun ini adalah perjalanan menyusuri sungai dengan perahu, mengunjungi mata air, telaga bidadari, telusur gua, dan yang paling menarik adalah menonton ribuan kalelawar buah meninggalkan sarangnya setiap pukul 6 pagi dan pukul 6 sore. Kelelawar-kelelawar itu tumpah memenuhi langit selatan, sementara puluhan elang putih berputar-putar siap memangsa.

foto oleh admin | mengintip proses pembuatan kapal

Menarik menyaksikan sekelompok peneliti dari Rusia memekik girang menyakikan fenomena kelelawar membentuk ombak hitam di langit. Mereka mengeluarkan kamera foto dan video, mengabadikan. Sementara adzan maghrib merdu terdengar, seolah menjadi lagu latar pertunjukan alam itu.


Kami berencana membangun tenda di salah satu pematang sawah yang cukup lebar, tepat berhadapan surau yang indah itu, ketika seorang pria paruh baya mengajak Monyek berbincang. Percakapan itu berujung ajakan bermalam di rumahnya. Dari sebelah utara surau, muncul seorang pria paruh baya lain, menghampiri kami dan mengucapkan kalimat kunci. Kata yang membuat Monyek tak dapat menolak ajakannya. “Anaknya Pak Nurdin?”
“Eh, iya. Dia bapak saya,” jawab Monyek.
“Waah… saya bersyukur sekali. Bapak kamu waktu masih muda sering ke sini. Dia teman kecilku. Kamu juga sering dibawa ke sini oleh Ibumu,” lanjut bapak itu. Ibu Monyek seorang bidan. Rammang-rammang termasuk wilayah pelayanannya.
“Bermalamlah di rumah kami. Dulu dia yang membantu persalinan istri saya. Ibu kamu baik sekali. Dia menerima apapun yang kami berikan, tidak pernah meminta bayaran mahal,”


foto oleh adamin | Pak Darwis, sesaat sebelum menunjukkan jalur ke terowongan
Kami pun berakhir di rumah bapak itu. Istrinya menggelar tikar di ruang tamu untukku dan Monyek. Aku tidur lebih dahulu, punggungku rasanya sakit sekali. Monyek menemani si bapak dan anak lelaki tertuanya, bercerita tentang masa lalu orang tuanya, hingga dini hari.

Pak Darwis, bapak itu menunjukkan kami jalur menuju terowongan Sakeang: jalur terbaik menuju Balocci dari Rammang-rammang. Kami meninggalkan rumah bapak Darwis pukul sepuluh pagi. Jalur tersebut melewati sisi tebing dan hilir sungai. Kami tiba di telaga kering. Jalur terbagi dua. Ke kanan menuju tebing sebelah, ke kiri entah menuju ke mana. Dari jauh tampak jarang dijamah. Jangan-jangan ini jalur memutar karena jalur kiri agak berbahaya, kataku. Monyek berkata, berdasarkan pengalamanku, jalur kanan selalu membuat tersesat. Kita coba saja, menyesatkan diri untuk mengetahui kebenaran.

sebelum meninggalkan Rammang-rammang

Akhirnya kami belok kanan. Aku tergelincir. Darah mengalir di bagian bawah lututku, menyisakan bekas hingga kini. Sembari mengobati kakiku, Monyek menelusuri kembali jalur tadi, mencoba mencari ujung dari jalur kiri yang kami abaikan. “Wuuu…..” sahutnya. “Fufiiifuuu….” Balasku. Monyek membantuku berdiri. “Masih sanggup?” tanyanya. “Bisalah,” kataku. “Aku baru sadar kita dibimbing potongan-potongan kertas HVS sedari gerbang Salenrang,” katanya dalam nafas tersengal-sengal. Aku tak menyadari petunjuk masih berlanjut hingga ke terowongan. Aku memang kehilangan perhatianku pada benda itu sejak tiba di surau. Kami pun mengikutinya hingga tiba di area yang cukup berbeda dari area di sekitarnya. Di sisi karst yang abu-abu, tumbuh jenis kaktus yang menjulang jauh lebih tinggi dari Monyek, di sekitarnya tumbuh benalu anggrek. Inilah gerbang terowongan Sakeang.



Aku menyalakan kamera, mode video. Merekam perjalanan menelusuri terowongan keren ini cukup sulit. Yang kusesali, aku kurang menikmati eksotisme berjalan di lorong yang dibentuk aliran sungai beratus tahun silam. Terowongan berakhir di pertingaan, lagi. Kali ini cukup baik. Sebab jalur kiri jelas tidak menuju pedesaan. Tampak sunyi dan kelam. Jalur kanan dipenuhi dedaunan patah dan sisa-sia pijakan hewan ternak. Kami berjalan menuju jembatan yang menghubungkan wilayah Sakeang dan desa di tepian kecamatan Balocci. Tibalah kami di peradaban yang lebih maju. Rumah-rumah sudah terbuat dari batu, dan tentu saja semen hasil pabrikan Tonasa yang mahsyur itu. Kami melintasi perumahan Tonasa 1 yang telah ditinggal banyak penduduknya. Monyek mempercepat langkahnya. Ia ingin kami tiba di perempatan utama sebelum pukul 5 sore.

Kami menenggak “air rasa-rasa” saat beristirahat di halte tua. Halte kusam, hitam, dan sepertinya tak pernah digunakan lagi. Para penduduk banyak telah memiliki kendaraan pribadi, sehingga angkutan umum bukan lagi kebutuhan utama. Kami berpisah di sana. Ia terus berjalan menuju rumahnya, sekisar 100m dari halte. Dan aku menumpang truk pengangkut semen menuju jalan poros Pangkep-Barru.

Sungguh perjalanan dengan kaki yang takkan pernah kulupakan. Bukan karena kami tidak pernah menggunakan peralatan camping dan tak satu pun ransum dikeluarkan, tetapi perjalanan ini hanyalah jalan uji coba. Kelak, jika tiba saatnya, kami akan melakukan perjalanan dari ujung Pare-Pare ke Manado di utara Sulawesi.

terowongan Sakeang
Lebih dari 75km telah ia tempuh dengan berjalan kaki dan aku menempuh seperdua angka itu. Cara ini rasanya lebih ampuh untuk mengenal tanah kelahiran kami dengan cara yang lebih karib. Semoga kita panjang umur, Nyek. Semoga rencana gila kita bukan sekedar rencana. Hari itu kuakhiri dengan segelas kopi hitam buatan seorang sahabat di koridor sastra Unhas.