Simulasi Bulusaraung



Masih ingat “Pada suatu hari di sebuah desa yang jauh,….” atau “Konon di puncak sebuah gunung yang sangat tinggi…,”? kalimat-kalimat itu hampir selalu jadi pembuka cerita anak, dongeng, atau fable di masa kecil kita. Kalimat-kalimat itu berfungsi sebagai pengantar sekaligus pembenaran atas dunia khayal pengarang, sebab menyajikan cerita fiktif. Namun, bukan hal-hal fiktif yang menjadi topik utama. Cerita-cerita anak dialamatkan untuk memberi pelajaran moral lewat bacaan yang sederhana.  Yang menarik menurut saya, pengaruhnya kepada alam bawah sadar manusia. Cerita-cerita tersebut yang akhirnya membentuk perilaku kita hingga sekarang. Di sisi lain, cerita-cerita itu membentuk mimpi dan kegemaran kita.

Sebab sering membaca cerita-cerita fantasi dari gunung, hutan, atau desa yang jauh, aku merasa tumbuh menjadi orang yang memiliki hasrat melakukan banyak perjalanan. Dua kota yang ingin kukunjungi, sangat, yakni Quebec di timur Kanada dan Timbuktu di dekat Gurun Sahara (sering disebut dalam komik Paman Gober). Hutan Amazon, Gunung Kilimanjaro, Sungai Kapuas, Danau Kelimutu dan sebagainya merupakan tempat-tempat yang ril namun masih fiktif dalam kepalaku, karena aku belum pernah ke sana. Sungguh, rasa penasaran saya pada ornament-ornamen natural di permukaan bumi tidak pernah cukup cara untuk terbendung.

Nasib buruk para born-to-be-explorer yang terlahir di kota besar. Aku jadi sulit memiliki waktu untuk melakukan semua itu. Ketika manusia lain dengan gampang memetik buah di kebun mereka, di desa-desa, aku harus mencari cara terlebih dahulu untuk mendapatkan uang dan membelinya di pasar. Sebagian besar waktu dan tenaga manusia-manusia kota dihabiskan untuk menjadi pekerja agar dapat bertahan hidup.

Keterbatasan ini kemudian mengecilkan volume mimpiku. Aku ingin menginjak daerah-daerah di pulauku terlebih dahulu. Ekspedisi pertama sukses, aku berhasil menjelajah kota Makassar dari bibir pantai hingga ke pesisir kota sebelum tamat SMA. Misi kedua, menjelajah kabupaten-kabupaten selama tahun-tahun perkuliahan. Aku telah menelusuri seluruh Sulawesi-Selatan, selain wilayah Eropa (Enrekang-Toraja-Palopo), bahkan sudah kuinjakkan kakiku ke Bombana, di Sulawesi Tenggara sana. Dalam hitunganku, aku masih punya PR yang panjang. Sulawesi Barat, Mamuju belum kukunjungi, Pasang Kayu yang sedikit lagi mencapai Palu di Sulwesi Tengah pun belum kudatangi. Bau-Bau, dan Kendari masih menempati daftar teratas.

Dalam setahun ini, aku telah berhasi membayar cicilan. April lalu, aku mengunjungi Bulukumba dan Bantaeng untuk mengenal mereka lebih dekat. Agustus, aku mendatangi dua gua vertical besar di Maros, Leang Pute dan Gua Dinosaurus (meskipun skill SRT belum cukup mumpuni untuk mendapatkan ijin menelusurinya). September, aku melakukan perjalanan yang cukup gila: jalan kaki dari Pattunuang (Maros) ke Balocci (Pangkep) melalui terowongan Rammang-Rammang. Pada bulan Oktober, kulakukan pendakian gunung lebih dari 1000mdpl yang hanya kusebut sebagai simulasi Bulusaraung.

Pendakian ini memang hanya simulasi. Sebagai anak dengan garis keturunan kuat dari orang-orang di kaki gunung Lompobattang, alangkah afdhal jika gunung pertama yang kudaki adalah Lompobattang. Maka, kulatih mental dan fisikku terlebih dahulu dan menyelesaikan satu gunung terendah di Sulawesi-Selatan tanpa acara camping di puncak. Aku mendaki dan menuruni Bulusaraung tidak cukup sehari.

Sudah kukatakan pada Monyek (salah seorang kawan seperjalananku), “Aku akan segera mendaki Bulusaraung. Jika tidak bersamamu aku akan pergi dengan orang lain, kalau perlu sendirian” Monyek bersikeras melarangku pergi saat itu, iya karena aku cukup tolol ingin langsung melanjutkan perjalanan ke puncak Bulusaraung begitu kami mengakhiri long march di depan masjid besar Komp. Tonasa 1. Namun, belum cukup 2 minggu, aku benar-benar melakukannya.





Saat itu aku ditemani kawan perjalanan lainnya. Kami hanya berdua. Tanpa carrier. Isi daypack seadanya.  Dengan sepeda motor, kami tiba di desa terakhir pukul 11 siang. Aku dan teman (sebut saja Begal) menunggu posisi matahari berada di titik cukup ramah dengan ritual sarapan yang tertunda. Di kedai kopi yang menyajikan air putih istimewa (berwarna kemerahan karena dimasak dengan tungku dan kayu berkhasiat), aku dan Begal bercengkrama bersama pemuda setempat. Mereka masih kelas tiga SMA. Pagi itu, mereka baru saja turun dari puncak. Semalam mereka camping di Pos 9 untuk mengisi akhir pekan. Mereka mengeluhkan meramainya pengunjung gunung beberapa bulan terakhir, “Kami kehilangan suasana gunung yang selalu bikin rindu,” ujar salah seorang di antara mereka.

Bagian terbaik dari menghabiskan waktu di gunung adalah kesunyian yang dalam, udara dan cahaya bebas polusi, dan tema-tema percakapan yang jauh dari unsur kekotaan. Sekarang, seolah kota dipindahkan ke gunung oleh ramainya kelompok pendaki. Inilah sebabnya aku tidak pernah berniat memasuki KPA tertentu. Kami memulai pendakian pukul 13.30 wita setelah melaporkan kedatangan di pos jaga TN Babul.

Pos 1: Pematang Sawah. Jalur menuju gunung melalui setapak kecil di belakang kedai kopi. Melewati sebuah rumah tua, setapak kebun, pematang sawah, kemudian melintasi pagar anti hama. Kemiringan sekisar 350 menuju pos 2.

Pos 2: Bidang Landai pertama. Sebuah gazebo atau tempat berteduh sederhana dibangun sebagai penanda Pos 2. Kami singgah sejenak, sekedar minum seteguk dua teguk air putih sembari memperhatikan “jejak tangan” para pendaki sebelumnya. Mereka cukup “kreatif” meninggalkan sampah visual pada tiang-tiang gazebo.
foto oleh admin

Pos 3: No Space. Jalur dari pos 1 hingga pos 3 statis pada kemiringan yang sama, kadang-kadang landai namun tidak panjang. Gully semakin banyak dan dalam. Kaki-kaki pendaki tidak memberi sejenak waktu bagi permukaan tanah untuk merapikan diri. Tidak gazebo, hanya papan penanda bertuliskan himbauan bagi para pendaki, yang tampaknya tidak dipedulikan. Debu-debu beterbangan. Udara pegunungan yang bersih tidak berasa di tempat ini.

Pos 4, dan 5 tidak lagi dapat kunikmati. Jalur semakin curam. Apalagi arus mudik dari puncak memperlambat jalanku. Menjelang pos 5, aku dan Begal beristirahat sejenak, bersandar di sisi bebatuan. Tak kusangka lalu lintas cukup padat. Jalur terbagi dua, mungkin karena para pendaki tidak sabaran mengantri akhirnya mereka membuat jalur di sisi lain. Kedua jalur ini mengerucut menjadi satu jalur, tempat beberapa batang pohon berdiri. Karena kemiringan cukup menggetarkan (sekaligus mengasyikkan), para pendari berlarian turun, meluncur hingga ke pohon tersebut, kemudian berputar, meloncat, lalu mendarat dengan (sebut saja) keren pada bidang yang cukup landai. Namun euphoria hanya dapat dilakukan dengan pekikan, karena kemiringan selanjutnya menyambut. Mereka pun terus meluncur hingga pos 1. Bagi orang-orang yang memiliki engsel kaki serapuh aku, tidak disarankan melakukan adegan ini. Takut jatuh lebih penting.



Terus terang, tontonan ini sangat menghibur, namun jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Begitu jalur mulai sepi, kami melanjutkan pendakian menuju pos 6. Jalur perlahan melandai, gullies sudah mengecil. Jalur berupa akar-akar pepohonan besar. Sangat membantu agar terhindar dari gelincir. Jalur juga semakin menyempit. Udara semakin segar. Debu-debu berkurang. Serasa mendekati sumber kerinduan.

Karena mengejar ketibaan di puncak sebelum maghrib, kami kurang memperhatikan penanda Pos 7. Kami sempat berhenti untuk mengabadikan beberapa titik yang kuanggap khas dari gunung ini. Aku sempat beristirahat cukup lama, namun Begal mengingatkan bahwa sia-sia kita lama istirahat di tempat itu, sebab pemandangan di Pos 8 sangat menjanjikan. Dia tidak berbohong. Di pos 8 dibangun menara air, tepat di sisi tebing. Pemandangan hutan tropis kaki gunung membuatku takjub. Aku mengeluarkan “air rasa-rasa” dan kretek mild andalan. Ada pagar kawat yang dipasang di sepanjang tebing, tapi kuterobos saja. Tanggung rasanya menikmati pemandangan dengan pembatas.


foto oleh admin

Kami harus tiba di puncak sebelum “dunia batas” datang, sebelum kabut memperpendek jarak pandang, dan suasana mencekam memaksa kami bermalam. Di pikiranku, aku sudah berencana akan “nebeng” di salah satu tenda pendaki yang kami temui sepanjang perjalanan, jika rencana kali ini tidak sesuai. Dari pos 8 menuju pos 9 membutuhkan waktu kurang dari 15 menit. Kami menjumpai sisa-sia camp semalam dan beberapa kelompok KPA yang bersiap membangun tenda.

Jalur nyaris mencapai kemiringan 80 derajat menuju pos terakhir. Sungguh menguras tenaga dan perasaan. Bebatuan yang dipijaki cukup besar, mengingatkanku pada tangga Minas Morgul di LOTR, jalur tersembunyi Frodo dan Sam menuju kawah api. Sayangnya, puncak cukup mengecewakan. Awan-awan tipis yang biasanya menghampiri sedang berada menutupi wilayah lain. Benchmark kotor, tak ada penanda nama selain kotoran-kotoran spidol para pendaki alay. Area juga seramai pasar senin di desa-desa. Namun, aku dan Begal tetap bersyukur, kami tiba di puncak dengan selamat dan sesuai rencana. Kami menikmati hembusan angin menuju dunia batas hingga matahari benar-benar tidak ada lagi untuk menghangatkan.

Pulang. Untung pertemuan singkat dengan seorang operator menara provider di pos 3 tadi menyisakan sebuah headlamp. Niatku yang cukup terburu-buru dan yakin kalau akan tiba di bawah sebelum gelap membuatku lupa membawa penerangan. Dengan bantuan headlamp, dan senter berlumens rendah, kami menelusuri kembali jalur tadi. Adrenalin dan rasa takut dua kali lebih besar dari saat mendakit tadi. Tentu saja, karena hanya kami yang memaksa diri untuk turun gunung di malam hari. Aku terjatuh berkali-kali dalam gully yang curam. Kuukur-ukur, dalamnya dapat menenggelamkan tubuhku. Sekujur tubuhku dipenuhi debu. Begitu tiba di Makassar, kaki hingga paha diserang gatal-gatal karena debu itu. Gatal, sungguh gatal. Garukan membuat bagian-bagian yang gatal menyisakan luka totol. Kata orang, itu namanya “mor-mor”. Selama dua minggu, kulit sepasang kakiku tidak semulus sebelumnya. Akan tetapi, apalah arti bekas perjalanan seperti itu dibandingkan simulasi yang sukses.


Terima kasih 1.323 mdpl, puncak tertinggi di pegunungan Bulusaraung. Lain kesempatan aku datang lagi. Semoga pihak TN memberimu libur sejenak untuk memperbaiki diri dan rehat dari sentuhan para pendaki. Cukuplah kau disiksa 2000 pasang kaki dalam seminggu, setahun terakhir ini. See you, soon!