Yang imaginatif, murah, dan
mudah dikreasikan adalah cita-cita. Saking mudahnya, aku tak ingin membuang-buang
waktu melamukan cita-cita yang sederhana. Saat masih mengenakan rok merah, aku
bercita-cita ingin memiliki satu ruangan yang dipenuhi rak buku, disesaki majalah
anak-anak, komik, buku-buku cerita, dan ensiklopedia.
Rok sekolahku berganti warna jadi biru, aku bercita-cita meninggalkan rumah dan memulai petualangan sendiri. Petualangan dari kota ke desa. Perjalanan yang seru, bertemu orang banyak, bermain, berbagi kegemaran dan lagu-lagu kesukaan.
Rok sekolahku berganti warna jadi biru, aku bercita-cita meninggalkan rumah dan memulai petualangan sendiri. Petualangan dari kota ke desa. Perjalanan yang seru, bertemu orang banyak, bermain, berbagi kegemaran dan lagu-lagu kesukaan.
Lalu sebagai pemakai rok
abu-abu, aku bercita-cita ingin membuat banyak film. Documenter atau film
cerita. Saat itu aku tak pernah memikirkan dari mana semua kelengkapan bikin
film berasal, yang penting aku membuatnya, yang banyak.
Kini, di usia 25 tahun, baru
kusadari, setelah mencuri waktu untuk mengenang masa lalu, ternyata aku telah
mewujudkan semuanya. Sekali dalam hidupku. Walaupun banyak yang tidak dapat
kupelihara dengan baik. Aku pernah memiliki ruangan dengan buku-buku yang
banyak. Ukurannya kecil, tidak seperti perpustakaan wilayah yang sering
kukunjungi dahulu. Hanya satu ruangan bermain tiga kali tiga meter. Majalah, komik,
aneka buku, ensiklopedia, dan kamus-kamus, mereka menumpuk karuan di atas
terpal. Begitu adanya karena aku selalu jatuh tertidur sambil membaca.
Cita-cita berpetualang,
sebenarnya tidak betul-betul meninggalkan rumah. Aku hanya berkeliling kota, ke
mana saja yang kuinginkan dengan sepeda motor. Ke pantai, ke hutan, ke
kedai-kedai, ke tempat nongkrong, ke pinggiran kanal, ke mana saja. Dan aku
akan kembali ke rumah sebelum maghrib. Di rumah, dengan buku, computer, atau
khayalanku sendiri, aku melanjutkan perjalanan itu. Kadang-kadang, aku tak ingin melupakan banyak rincian, aku menuliskannya.
Perkara membuat film, kalau
kuhitung-hitung (dibuat bersama orang lain, membuatkan film orang, dan film
sendiri), hitungan jari tangan sudah tak cukup lagi. Bahkan aku masih belum
puas. Mungkin takkan pernah puas dengan semua produksi itu.
Mana dari semua cita-cita
yang berhasil kugapai akhirnya kutinggalkan? Tidak satu pun. Sebab mereka
ternyata saling berkaitan. Saling menghidupi. Dengan bacaan aku menghasilkan
banyak ide. Kemudian untuk menguji ide-ide, aku bertualang. sepanjang bertualang, kepalaku
terus-terusan memikirkan gagasan-gagasan visual. Ternyata, mereka adalah
keluarga besar yang kutemukan satu-persatu. Dengan keluarga inilah aku
memutuskan untuk terus menyambung tali silaturahmi. Membaca terus sampai bodoh, bertualang terus sampai lumpuh, berkreasi terus sampai mati.