Alfa adalah Api

Manusia memang makhluk yang sempurna. Dikatakan dalam kitab-kitab Samawi – saya tidak menyebutkannya karena alasan keliman -, bahwa Tuhan menciptakan satu sifat dalam diri manusia yang tidak dimiliki makhluknya yang lain: kebebasan. Pembuktian ilmiah, secara psikologis, manusia memang memiliki kehendak. Selalu ada kehendak bebas dalam diri manusia untuk memilih. Pilihan paling pertama adalah hidup atau mati. Yang memilih hidup tentulah sekarang sedang bekerja dan mempertahankan asupan gizi bagi dirinya sendiri, yang memilih mati, entah dia yang bunuh diri atau dia yang menyengsarakan diri sebelum mati.


Para manusia yang berkehendak untuk mempertahankan diri kemudian dihadapkan pada pilihan-pilihan turunan, yang lebih kompleks. Dalam proses  pembentukan karakter pribadi, seseorang selalu memiliki pilihan. Pakaian sederhana atau pakaian mewah. Makanan mahal atau makanan yang murah. Bersekolah atau tidak. Memimpin atau dipimpin. Yin atau yang.

Secara pribadi, manusia memiliki kehendak untuk menjadi si protagonis atau si antagonis. Mudah saja. Pilihan terus dibuat lurus dengan cara lebih sering mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan orang banyak. Orang-orang tipe ini adalah mereka yang tampak seperti pecundang. Berkali-kali disebut bodoh karena memikirkan orang lain cenderung berakhir pada kondisi menyakiti diri sendiri. Kebalikannya, mementingkan kebutuhan pribadi melahirkan konsekuensi kerusakan bagi pihak-pihak lain. Dan secara social, tindakan ini disepakati menjadi sebuah kesalahan beretika. Pelakunyalah yang antagonis itu.
Dalam konteksi bertahan hidup, setiap hari, manusia memiliki banyak pilihan. Kadang menjadi protagonis, kadang menjadi si antagonis. Kadang-kadang pula, demi hasil terbaik, seseorang harus melakoni kedua peran ini. Membuatnya disebut si muka dua. Mungkin tak masalah bermuka dua jika sebenarnya sedang memperjuangkan kepentingan orang banyak.

Saya berkali-kali harus melakukan tindakan ini. Berpura A di sini dan berpura B di sana. Lantas siapakah diri saya? Saya adalah manusia berwajah seribu. Berat menjadi seorang manusia yang memiliki kesensitifan tinggi pada sekitarnya. Mungkin ini sebuah berkah. Saya dan kamu diberi kemampuan memahami situasi lebih cepat dan lebih detail dari orang lain. Dalam sebuah kerja tim, tipe manusia seperti ini adalah si pemimpin.

Sekali waktu, saya akan tampak sangat polos. Mempertanyakan banyak hal, tersenyum pada apapun dengan tingkah yang membuat orang lain tak mencurigai motif asli saya. Dalam kesempatan lain, saya akan bertindak sebagai orang yang paling sok tahu, cenderung tegas, dan kasar. Lain kesempatannya lagi, saya berperangai berada di antaranya, berarti tidak memedulikan apapun. Mengedepankan apatisme.

Sikap ini lah yang disebut “pandai membawa diri”, memiliki pembawaan yang baik. Namun pembawan diri yang baik sekedar untuk tujuan kesuksesan bersosial agaknya kurang pantas terus dipertahankan. Setidak-tidaknya, sikap ini dapat membuat kita bosan. Saya bisa saja menjadi anak manis, yang patuh, lurus, dan tidak berambisi apapun. Tidak juga memerintah. Tidak juga memimpin banyak orang melakukan sesuatu. Saya bisa saja membuat segalanya tidak bergantung kepada saya. Dan saya tidak bergantung kepada apapun.

Namun, apakah itu kemudian menjadi pilihan yang pantas bagi kita yang diberkahi kemampuan untuk membaca urgensi social lebih dari orang lain? Ketika saya memilih menjadi antagonis, saya mungkin dapat dengan mudah memanipulasi sekitar demi kepentingan saya sendiri. Pilihan lain, saya dapat memanfaatkannya untuk melakukan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan bagi kemaslahatan seluruh makhluk hidup.

Namun, di saat-saat sacral, pertanyaan ini biasaya muncul tiba-tiba. Apakah saya dan kamu yang merasakan hal yang sama untuk berkehendak menjadi pahwalan? Benarkah? Ataukah kita hanya sedang menerima apa yang disebut kodrat dan menjalankan tugas kita?

Renungkanlah kembali siapa dirimu sebernarnya, mengapa kamu diciptakan, apa fungsi dirimu bagi dunia ini. Pertanyakan mengapa kamu terlahir belakangan, mengapa kamu anak kesekian dari sekian bersaudara, renungkan mengapa kamu lahir dari rahim yang itu, renungkan mengapa jalan hidupmu berada dalam jalur yang sekarang?

Tidakkah semua jawaban itu memberimu kepada satu kesimpulan: kedirianku. Kedirian dan fungsinya di muka bumi. Setidaknya dalam satu kelompok manusia terkecil, ada 5 karakter manusia yang berbeda-beda. Dari 5 itu jika terintegrasi akan membentuk satu tim kokoh untuk melakukan sebuah perubahan. Tentu saja, ada pemimpin di antara mereka. Bukan dia yang yang memproklamirkan diri atau semata didukung oleh ketinggian derajat keturunannya, tetapi dia yang mampu menyatukan suara yang berbeda-beda dalam kelompok tersebut. Tanyakan pada dirimu, apakah kamu sang alfa atau bukan?

Jangan takut menjadi alfa. Alfa adalah api. Adalah pengobar semangat. Adalah dia yang menjadi junjungan manusia lain. Juga menjadi yang bertanggung jawab atas segala tindakan baik dan buruk kawanannya. Alfa bukan si penyombong. Alfa justru merupakan si kambing hitam dalam rimba raya. Sementara kambing hitam yang sebenarnya adalah yang kau lindungi.


0 comments: