Kalau takdir, alam memberikan jalannya. Awalnya Monyek enggan mengajakku tracking, katanya ini simulasi personal. Dia tidak ingin membagi rutenya denganku. Apalagi, sekali pernah ia ceplos mengutarakan maksud terdalam di balik semua petualangannya selama ini. Dia pikir, aku tipe orang yang akan menceritakan apapun kepada siapapun. Mungkin benar, mungkin juga salah. Aku hanya menulis dan tak peduli siapa pun yang akan  membaca tulisanku. 

foto oleh admin | pemandangan melewati Leang-leang (diambil dari atas pick-up tumpangan)

Begitu aku mendapat bbm “bala bantuan, datanglah!” aku tergelincir karena tertawa terbahak-bahak. Pemimpin hebat mana pun di dunia ini, butuh buah pikir seorang wanita. “Susulka. Trouble kaki kiriku. Dari paha ke jemari. Ransum juga out of stock” demikian isi bbmnya. Aku memang telah bersiap-siap untuk menyusul Monyek saat ia tiba di titik paling strategis dari rute pulang-kampung edisi jalan kaki versinya. Paling-paling dia akan melintasi poros Maros-Camba untuk mencapai Pakalu, pintu gerbang Leang-leang. Bbm minta tolong itu ia kirimkan saat mendapatkan satu bar signal di sekitaran Ta’deang, beratus meter dari Biseang Labboro (Bislab). Tampaknya Monyek mengerahkan seluruh kekuatan, menyeret sepasang kaki yang telah payah, menuju SoaSoa AdventurePark, tempat beberapa orang yang dikenalnya berada.

Bbm itu kuterima hari Kamis, sekisar pukul 14.00. Sembari mencari pesanan Ayah, aku berkeliling toko outdoor, mencari hammock, pisau lipat, headlamp dan perlengkapan lain. Sayangnya, sepatu ukuran kakiku tidak diproduksi massal. Aku hanya mengenakan sandal gunung merek segala umat yang sudah buluk. Pukul 4 dini hari, Jumat, 18 September 2015 aku meninggalkan area pemukiman Biring Romang tanpa tidur sekejap mata pun. Lantaran menurut Dwiky dan Nila merasa kurang enak melihat aku pergi menyusul Monyek, tanpa perlengkapan camp dan tracking yang  baik. Aku optimis, keadaan Monyek tidak Se-SOS isi Bbmnya. Dia bukan petualang kemarin sore. Lagipula Monyek menggendong carrier 80liter berisi peralatan camp lengkap dan tenda yang muat untuk empat orang. Tak perlu GPS pula untuk melacak kordinat Monyek. Anak PA domestic akan baik-baik saja di sekitaran TN. Bantimurung-Bulusaraung.

foto oleh admin | berkumpul bersama sekumpulan para Manggala Agni dari timur

Aku membawa carrier 60 liter berisi dua lembar kaos, satu jaket parasut, pakaian dalam, mukenah, peralatan mandi dan anti kulit terbakar. Hammock kurasa cukup. Di antara sekian banyak perlengkapan outdoor, penemuan hammock yang paling hebat, menurutku. Kantong tidur gantung berbahan taslan dapat berfungsi sebagai sleeping bag atau tenda flysheet. Penemuan yang multifungsi. Carrier-ku juga berisi ransum untuk  makan 2 kali sehari selama 3 hari. Tambahan, kelengkapan P3K untuk membereskan trouble di kaki Monyek.

3 senjata

Dalam kantong celana cargo selutut, kusematkan pisau lipat dan ponsel dengan aplikasi tracking terbaik. Hanya untuk berjaga-jaga, kalau Monyek kelewat pede memutuskan beristirahat di tempat sepi dan jarang dilalui anak PA lain. Dan Nikon untuk mengabadikan ekspedisi kurang kerjaan ini.

Ryan mengantarku dengan sepeda motor – karena tidak enak hati melihatku jalan kaki, dini hari, tanpa tidur – higga ke pusat kota Maros. Aku memejamkan mata sejenak di masjid. Begitu matahari terbit, aku menelusuri pasar Maros, mencari bandage dan microsd untuk backup data camera. Pencarianku selesai pukul 09.30. Aku tiba di gerbang Bislap pukul 10.11 wita dan beristirahat sejenak di balai-balai, halaman area Waterpark Maros.

Di balai-balai, sekelompok orang mendatangiku. Mereka melihat ukuran bahu dan lenganku yang cukup besar untuk perempuan. Betisku pun, mereka kagum melihatnya. “Wah, tubuhmu didesain jadi orang liar,” Aku tersenyum getir, aku rasa kelakar mereka agak aneh-, 

Satu per satu mereka memperkenalkan diri. Masing-masing berasal dari Balai Taman Nasional dari seluruh wilayah Indonesia Timur, dari Pegunungan Laurentz hingga tuan rumah TN. Bantimurung-Bulusaraung. Mereka mengajakku berkunjung ke daerah kekuasaan mereka suatu hari nanti. Benar-benar pertemuan yang menyenangkan. Tentu saja, aku akan mengunjungi tempat-tempat itu, kelak jika Tuhan memberi jalan.

gerbang Soasoa Adventure Park

Pukul 11.45 aku menyeberang jalan menuju jembatan yang membatasi jalan poros dan gerbang Bislab. Pada mula jalur, ternyata ada semacam resort area, bertajuk “Soa-Soa Adventure Park”. Aku berbincang lama dengan Aryo, salah seorang pengelola Park. Aku agak ragu, benarkan Monyek berada di sini atau jangan-jangan dia mendirikan tenda di camping area Bislab.

“Mau ke mana?” tanya Aryo. Dia alumni Fisika, Unhas.
“Menyusul temanku di sekitar sini. Katanya dia ada sedikit masalah,”
“Dayat?”
“Yah, si Monyek,”
“Dia ada di belakang sana, lagi mandi”

Kulihat carrier Monyek tergeletak di balai-balai, di belakang Aryo. Ternyata memang dia tidak se-SOS itu. Monyek muncul dari kamar mandi dengan selembar handuk di bahunya. Ia sumringah “Lu datang beneran ternyata,”

bertemu Monyek

Iyalah, gue datang. Emang gue mau bertualang, kok. Kataku dalam hati. Lalu kami coffee break sejenak di teras pos pengelola, bersama Aryo dan bung Andy, si pemilik SoaSoa. Kami menghabiskan sore hari dengan belajar teknik dasar rafting. Malamnya, Yudi, salah seorang pengelola juga, dan anak-anak membakar sekantung jambu mete untuk dibuat tenteng, sebagai bekal stamina kami esok hari.

sebelum meninggalkan Soasoa
Kami meninggalkan SoaSoa pukul 09.30 pagi menuju desa Pakalu, pintu gerbang gua Leang-Leang. Perjalanan ini diawali dengan kaki kanan, menyusur kembali jalur kedatangan kami. Monyek ingin perjalanan kami tidak diselingi kendaraan, seolah staminanya tanpa batas. Aku memilih tidak memaksakan kemampuan fisik. Saat beristirahat di warung jagung rebus, Monyek menghentikan sebuah truk dari Bone. Supirnya bersedia membawa kami hingga ke gerbang Pakalu. Si supir bercerita, menjadi supir truk adalah pekerjaan pilihannya. Baginya, mengangkut hasil bumi dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya bukan hal yang mudah. Ribuan jiwa bergantung pada keselamatan angkutannya. Bapak itu tidak memperkenalkan namanya, namun kami takkan melupakan wajahnya.

Estimasi perjalanan dari Pakalu ke Bosowa sekisar 3 jam dengan taksiran 4 km per 30 menit jika dengan stamina dan kecepatan langkah yang stabil, sesuai estimasi waktu perjalannya Kamis lalu. Hari itu tentu, Monyek berhasil memenuhi rencana tracking-nya, karena dia berjalan sendiri. Namun, menurut taksiranku, Monyek memperlakukan tubuhnya semena-mena, karena itu kaki kirinya kena trouble. Estimasi waktu yang tepat menurutku, 3 km per 30 menit dan diselingi istirahat setiap 15 menit.
foto oleh admin: gerbang Leang Leang

Monyek tidak mendengarkan imbauanku, tetapi diam-diam aku memperlambat langkah agar memenuhi estimasiku sendiri. Aku tidak ingin tracking ini menjadi yang terakhir kalinya. Rencana perjalanan dengan kaki dari Pare-Pare ke Menado masih jauh dari hari ini. Kami harus memantapkan fisik. Jangan kalah di simulasi.

3 km per 30 menit. Kami tiba di pertigaan menuju Bosowa pada pukul 15.30 wita. Dengan 2 kali istirahat: 1 kali di Gua Leang-Leang dan 2 kali di sepanjang jalan beton Kalabirrang, berarti jarak tempuh kami sekitar 15 km. Di pertigaan Bosowa tersebut, kami berpapasan dengan rekan Operasi Rekor Muri Leang Pute pada Agustus lalu. Mereka mengantar kami dengan sepeda motor hingga ke gerbang Salenrang: jalur darat menuju dusun Rammang-Rammang.

foto oleh admin | sepanjang perjalanan, kami bertemu banyak anak-anak

singgah minta air di posko pengelola Leang-leang


di depan gerbang Leang-leang

Salenrang ke Rammang-Rammang dimulai pukul 16.05 wita dan berakhir pukul 17.15 wita. Perjalanan yang cukup singkat, melewati jalur penuh batu curam dan memotong pematang-pematang sawah warga. Lebih mudah melewati jalur ini karena kami tak perlu mengeluarkan energi ekstra demi mengimbangi suhu yang dipantulkan beton. Apalagi, mataku minus dan tubuhku tidak cukup tinggi, sehingga langkahku mudah diperlambat terik matahari.

foto oleh admin | memasuki Rammang-Rammang, lewat jalur darat Salenrang

Kami disambut surau bersahaja di tengah sawah, dikelilingi bukit-bukit karst, penduduk local, dan aroma pepohonan nipah. Memasuki Rammang-Rammang melalui jalur darat, seperti memasuki hidden paradise. Atau seperti memasuki dusun yang memencilkan dari di tengah pegunungan. Apalagi melihat kondisi tanah dan ekosistem Rammang-Rammang yang kurang baik untuk pertanian. Dusun ini dihuni 17 kepala keluarga dengan 15 rumah panggung. Penduduk bertani, menambak dan mengurus pariwisata sebagai mata pencaharian. Untuk bersekolah, anak-anak dusun harus berjalan kaki ke jalan poros atau menumpang rakit-rakit buatan ayah mereka.

foto oleh admin | para kepala keluarga di dusun Rammang-rammang, menanti turis

Objek wisata utama di dusun ini adalah perjalanan menyusuri sungai dengan perahu, mengunjungi mata air, telaga bidadari, telusur gua, dan yang paling menarik adalah menonton ribuan kalelawar buah meninggalkan sarangnya setiap pukul 6 pagi dan pukul 6 sore. Kelelawar-kelelawar itu tumpah memenuhi langit selatan, sementara puluhan elang putih berputar-putar siap memangsa.

foto oleh admin | mengintip proses pembuatan kapal

Menarik menyaksikan sekelompok peneliti dari Rusia memekik girang menyakikan fenomena kelelawar membentuk ombak hitam di langit. Mereka mengeluarkan kamera foto dan video, mengabadikan. Sementara adzan maghrib merdu terdengar, seolah menjadi lagu latar pertunjukan alam itu.


Kami berencana membangun tenda di salah satu pematang sawah yang cukup lebar, tepat berhadapan surau yang indah itu, ketika seorang pria paruh baya mengajak Monyek berbincang. Percakapan itu berujung ajakan bermalam di rumahnya. Dari sebelah utara surau, muncul seorang pria paruh baya lain, menghampiri kami dan mengucapkan kalimat kunci. Kata yang membuat Monyek tak dapat menolak ajakannya. “Anaknya Pak Nurdin?”
“Eh, iya. Dia bapak saya,” jawab Monyek.
“Waah… saya bersyukur sekali. Bapak kamu waktu masih muda sering ke sini. Dia teman kecilku. Kamu juga sering dibawa ke sini oleh Ibumu,” lanjut bapak itu. Ibu Monyek seorang bidan. Rammang-rammang termasuk wilayah pelayanannya.
“Bermalamlah di rumah kami. Dulu dia yang membantu persalinan istri saya. Ibu kamu baik sekali. Dia menerima apapun yang kami berikan, tidak pernah meminta bayaran mahal,”


foto oleh adamin | Pak Darwis, sesaat sebelum menunjukkan jalur ke terowongan
Kami pun berakhir di rumah bapak itu. Istrinya menggelar tikar di ruang tamu untukku dan Monyek. Aku tidur lebih dahulu, punggungku rasanya sakit sekali. Monyek menemani si bapak dan anak lelaki tertuanya, bercerita tentang masa lalu orang tuanya, hingga dini hari.

Pak Darwis, bapak itu menunjukkan kami jalur menuju terowongan Sakeang: jalur terbaik menuju Balocci dari Rammang-rammang. Kami meninggalkan rumah bapak Darwis pukul sepuluh pagi. Jalur tersebut melewati sisi tebing dan hilir sungai. Kami tiba di telaga kering. Jalur terbagi dua. Ke kanan menuju tebing sebelah, ke kiri entah menuju ke mana. Dari jauh tampak jarang dijamah. Jangan-jangan ini jalur memutar karena jalur kiri agak berbahaya, kataku. Monyek berkata, berdasarkan pengalamanku, jalur kanan selalu membuat tersesat. Kita coba saja, menyesatkan diri untuk mengetahui kebenaran.

sebelum meninggalkan Rammang-rammang

Akhirnya kami belok kanan. Aku tergelincir. Darah mengalir di bagian bawah lututku, menyisakan bekas hingga kini. Sembari mengobati kakiku, Monyek menelusuri kembali jalur tadi, mencoba mencari ujung dari jalur kiri yang kami abaikan. “Wuuu…..” sahutnya. “Fufiiifuuu….” Balasku. Monyek membantuku berdiri. “Masih sanggup?” tanyanya. “Bisalah,” kataku. “Aku baru sadar kita dibimbing potongan-potongan kertas HVS sedari gerbang Salenrang,” katanya dalam nafas tersengal-sengal. Aku tak menyadari petunjuk masih berlanjut hingga ke terowongan. Aku memang kehilangan perhatianku pada benda itu sejak tiba di surau. Kami pun mengikutinya hingga tiba di area yang cukup berbeda dari area di sekitarnya. Di sisi karst yang abu-abu, tumbuh jenis kaktus yang menjulang jauh lebih tinggi dari Monyek, di sekitarnya tumbuh benalu anggrek. Inilah gerbang terowongan Sakeang.



Aku menyalakan kamera, mode video. Merekam perjalanan menelusuri terowongan keren ini cukup sulit. Yang kusesali, aku kurang menikmati eksotisme berjalan di lorong yang dibentuk aliran sungai beratus tahun silam. Terowongan berakhir di pertingaan, lagi. Kali ini cukup baik. Sebab jalur kiri jelas tidak menuju pedesaan. Tampak sunyi dan kelam. Jalur kanan dipenuhi dedaunan patah dan sisa-sia pijakan hewan ternak. Kami berjalan menuju jembatan yang menghubungkan wilayah Sakeang dan desa di tepian kecamatan Balocci. Tibalah kami di peradaban yang lebih maju. Rumah-rumah sudah terbuat dari batu, dan tentu saja semen hasil pabrikan Tonasa yang mahsyur itu. Kami melintasi perumahan Tonasa 1 yang telah ditinggal banyak penduduknya. Monyek mempercepat langkahnya. Ia ingin kami tiba di perempatan utama sebelum pukul 5 sore.

Kami menenggak “air rasa-rasa” saat beristirahat di halte tua. Halte kusam, hitam, dan sepertinya tak pernah digunakan lagi. Para penduduk banyak telah memiliki kendaraan pribadi, sehingga angkutan umum bukan lagi kebutuhan utama. Kami berpisah di sana. Ia terus berjalan menuju rumahnya, sekisar 100m dari halte. Dan aku menumpang truk pengangkut semen menuju jalan poros Pangkep-Barru.

Sungguh perjalanan dengan kaki yang takkan pernah kulupakan. Bukan karena kami tidak pernah menggunakan peralatan camping dan tak satu pun ransum dikeluarkan, tetapi perjalanan ini hanyalah jalan uji coba. Kelak, jika tiba saatnya, kami akan melakukan perjalanan dari ujung Pare-Pare ke Manado di utara Sulawesi.

terowongan Sakeang
Lebih dari 75km telah ia tempuh dengan berjalan kaki dan aku menempuh seperdua angka itu. Cara ini rasanya lebih ampuh untuk mengenal tanah kelahiran kami dengan cara yang lebih karib. Semoga kita panjang umur, Nyek. Semoga rencana gila kita bukan sekedar rencana. Hari itu kuakhiri dengan segelas kopi hitam buatan seorang sahabat di koridor sastra Unhas.




Jenis ras, keturunan, corak, bentuk ekor dan sebagainya tidak menjadi pembeda antara satu kucing dan kucing lainnya. Kucing adalah kucing. Kucing bukanlah anjing. Jenis kucing memiliki khas perilaku sendiri. Terkadang, karena pengetahuan yang kurang, manusia jadi sering salah kaprah pada kucing. Tak jarang ada yang menyakiti binatang berbulu ini karena perilaku natural kucing yang dianggap sebuah kesalahan. Berikut kesalahan-kesalahan persepsi manusia kepada perilaku kucing:


Kucing bukan Binatang Pemalas dan Tukang Tidur
Satu hari bagi kucing adalah 3 jam bagi manusia. Kucing akan tidur sekali dalam 3 jam. Jadi, sebenarnya kucing bukan pemalas atau tukang tidur. Berpikiran aneh-aneh saat melihat kucing anda tidur di siang hari berkali-kali itu keliru. Mereka memang sedang berperilaku secara natural. 

Kucing merupakan makhluk nocturnal. Hewan ini banyak melakukan aktifitas di malam hari. Jadi Kucing juga bukan tukang begadang, mereka terjaga lebih banyak di malam hari. Oleh sebab itu, kucing banyak dipelihara untuk menjaga lumbung padi dari hama saat manusia sedang beristirahat. Kucing disebut-sebut pemalas, tukang tidur, dan sering begadang karena kita tidak memahami jam biologisnya.


Kucing itu Makhluk yang Tidak Suka Tempat Kotor

Kucing anda sering pup di kasur, di bawah tempat tidur, atau di area dapur? Jangan jengkel dahulu. Kucing memiliki kemampuan untuk mendeteksi kuman. Sehingga mereka dapat membedakan mana tempat yang kotor dan mana tempat yang bersih. Di tempat yang bersihlah mereka akan duduk, tidur, atau bermain. Sementara di tempat yang kotorlah mereka akan membuang kotoran. Coba perhatikan baik-baik, area-area yang dijadikan “kamar mandi” oleh kucing domestik anda. Tentu dapat anda lihat sendiri, apakah tempat itu lebih kotor dibanding tempat lainnya.

Kucing terkenal suka buang kotoran di pasir. Sebelum melakukannya, kucing akan menggali lubang terlebih dahulu, mengeluarkan pup, kemudian menutupnya kembali. Mereka memilih pasir, sebab struktur pasir yang dapat menyerap cairan dan menutupi bau. Selain itu pasir atau tanah cepat menguraikan kotoran. Jika kucing anda sering buang air di dalam rumah, perhatikan baik-baik apakah wilayah itu berpasir atau berdebu. Jika ia, jangan pukuli kucing anda. Sebab mereka melakukan hal yang benar dan tak pantas disebut kucing nakal. Justru, anda yang sebaiknya membersihkan area itu, membuatnya wangi, bersih dari kuman hingga kucing anda tidak lagi buang air di sana.

Buang air di pasir merupakan perilaku natural kucing. Agar anda tidak kewalahan membersihkan kotoran, sebaiknya sediakan area berpasir, khusus sebagai kamar mandi kucing anda. Tata sedemikian rupa agar area itu tidak basah, sebab kucing akan lebih memilik area kering (walaupun agak kotor) untuk dijadikan kamar mandi. Mereka tidak begitu suka tempat-tempat yang basah dan lembab. Agar tidak repot, sediakan cat sand dalam baskom persegi dan bersihkan wadah ini 2 kali seminggu. 


Faktor Genetis bukan Penyebab Kerontokan Bulu Kucing

Bulu rontok kucing disebabkan oleh suhu dan makanan. Dari bulunya dapat terihat seberapa sehat makanan yang diberikan dan seberapa baik lingkungan tempat kucing tinggal. Tubuh kucing dilapisi mantel yang menghangatkan tubuh mereka. Jika suhu terlalu panas, bulu kucing lebih sering rontok. Kasus bulu rontok karena suhu jarang terjadi pada kucing domestic, sebab mereka telah berevolusi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang bersuhu tinggi. Makanya mantel bulu mereka tidak selebat kucing-kucing endemik subtopis dan dingin.

Jika anda memelihara kucing domestic dan bulunya sering rontok hebat, itu berarti anda memberinya makanan yang kurang sehat. Walaupun kucing domestic, berikan makanan yang tinggi protein dan agak padat. Jangan sering diberi nasi. Ingat, kucing adalah binatang karnivora dan mereka mengkonsumsi daging-dagingan. Anda telah memberikan makanan yang baik jika pup kucing anda padat dan tidak berair.


Kucing Tidak Cocok Minum Susu

Hampir semua karakter kucing dalam film kartun digambarkan menyukai susu dan para majikan mereka sering memberi susu. Sebenarnya kucing alergi pada kandungan laktosa dalam susu. Laktosa ini menganggu pencernaan dan membuat perut kucing terserang diare. Kucing mungkin menyukai susu karena rasanya yang gurih. Jika anda ingin memanjakan kucing anda dengan susu, berilah susu yang memiliki kandungan rendah laktosa. Biasanya jenis susu ini hanya tersedia di pet shops.


Sifat Setiap Kucing itu Berbeda

Para kucing lahir dengan karakter yang beragam, seperti halnya manusia. Jika anda memelihara lebih dari satu kucing di rumah, perhatian baik-baik perilaku mereka saat berinteraksi dengan sesama kucing atau kepada manusia. Anda akan menemukan ada kucing yang pendiam, sensitive, ada yang periang dan usil, adapula kucing yang manja dan pintar. Anda mungkin akan komplain dengan kucing yang pemalu karena anda lebih menyukai kucing yang aktif dan suka bermain-main. Saat akan mengadopsi kucing, jangan terburu-buru. perhatikan dahulu pola interaksinya. Apakah kucing itu cocok atau tidak dengan anda.
ekspresi kucing berbeda-beda menanggapi sesuatu

Karakter kucing juga dapat dibentuk dengan latihan-latihan dan pola interaksi khusus. Sebagai sampel, perhatikan video-video Jackson Galaxy di youtube. Cat expert botak itu telah melatih banyak kucing pemarah menjadi sedikit lebih jinak. Kucing-kucing lainnya, ia ajari untuk mampu melindungi diri jika mereka tergolong sangat jinak.


Kucing adalah Kucing, bukan Anak Manusia.

Terkadang, sebagai pemelihara kita lupa bahwa kucing sebenarnya hanyalah hewan dengan daya tarik dan kebiasaan naturalnya sendiri. Jam biologis, jenis makanan, kebiasaan dan perilaku mereka berbeda dengan perilaku manusia. Perlakukan kucing peliharaan anda selayaknya kucing yang perlu tidur beberapa kali dalam sehari, tidak memakan memakan semua yang manusia konsumsi, dan mereka tidak memiliki kemampuan intelegensia sebaik manusia. Tidak baik memaksa kucing anda untuk memahami bentuk komunikasi yang sering dilakukan manusia. 

Kucing cenderung lebih merespon kebiasaan. Buatlah rutinitas yang mudah dipahami kucing anda. Misalkan jadwal makan minimal 4 kali sehari. Sarapan pada pukul 6 pagi dan makan siang pada pukul 12 pagi. Jika ingin kucing anda mengenali namanya, sering-seringnya menyebut namanya sebelum memberinya makanan. Dengan sendirinya kucing akan menghapal nama tersebut sebagai bunyi, sebuah sirine pertanda akan diberi makan. Sebahagi hasilnya, kapanpun anda mengeluarkan bunyi nama itu, kucing akan berbalik atau berlari ke arah anda. Cara yang sama dapat anda lakukan untuk mengajari mereka mengenali kamar mandi baru, bantal tidur baru, atau kebiasaan-kebiasaan kecil lainnya yang membuat hubungan anda dan kucing peliharaan semakin akrab.
Senin, 23 November 2015 merupakan hari yang dinanti-nanti. Hari itu, Anugerah Adipura dijemput di Bandara Sultan Hasanuddin untuk diarak keliling Makassar. Sebegitu pentingnya Adipura ini, Walikota Danny Pomanto dan segenap perangkat pemerintahan kota mempersiapkan kegiatan ini dengan matang, sejak 5 Juli 2015 lalu. Sebagai warga Makassar, jangan senang dulu.

Adipura memang bukti nyata dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penghargaan ini terbagi dalam beberapa bentuk. Yang pertama, disebut Adipura Kencana. Adipura Kencana diberikan kepada kota/ibukota kabupaten yang kinerja pengelolaan lingkungan beyond compliance, artinya kota tersebut melampaui standar penilaian dari KLH. Pengeloaan TPA (Tempat Pembuangan Akhir), pengendalian pencemaran air dan udara, pengelolaan tanah, perubahan iklim social dan ekonomi, dan pelestarian keanekaragaman hayati. Di tahun 2015 ini dialamatkan kepada Surabaya, Balikpapan, dan Kendari. Bagi kamu yang pernah berkeliling Surabaya, Balikpapan, dan Kendari tentu merasa bahwa Adipura Kencana tidak salah alamat.

Selanjutnya ada yang disebut Sertifikat Adipura. Bentuk ini diberikan kepada kota/ibukota kabupaten yang mengalami kenaikan nilai Adipura yang signifikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peraih kota kategori ini ini ada 69 kota yaitu 1 kota kategori metropolitan, 3 kota kategori kota besar, 18 kota kategori sedang, dan 47 kota kategori kecil. Di Sulawesi Selatan, Sinjai, Jeneponto, dan Patallassang mendapatkan Sertifikat Adipura tahun ini.

Selain kedua bentuk di atas, penghargaan senada Adipura yang diberikan kepada perusahaan dan pemda yang telah menerapkan pengelolaan lingkungan hidup secara menyeluruh dan berkelanjutan disebut Proper Emas. Dua pabrik semen Sulawesi; Tonasa dan Bosowa tidak mendapatkan penghargaan ini. Mungkin bisa dilihat dari jejak kedua perusaahaan ini di wilayah Karst Maros-Pangkep.

Tahun lalu, Makassar gagal mendapatkan 1 dari penghargaan Adipura ini lantaran kondisi sungai, pasar, drainase, dan jalan-jalan protocol yang jorok. Turunnya prestasi kota pun membuat Wapres Jusuf Kalla menegur Walikota DP, “Hei Danny, sudah lama Makassar tidak dapat Adipura? Itu sekitar Masjid Al-Markaz sudah kau bersihkan belum?” kata JK dalam satu kesempatan telecomference (sumber: CNN Indonesia). Dalam kesempatan lain, wawali Dg. Ical menyatakan kekecewaannya atas prestasi buruk ini. Lalu pada 1 November 2014, tugu Adipura di pertigaan Perintis-Abd. Dg. Sirua-Urip Sumoharjo dirubuhkan karena alasan kemacetan yang menjadi-jadi di titik itu. Dan kini, sebagai warga Makassar kita dapat menemukan dengan mudah truk sampah revolusioner “Makassar ta’ Tidak Rantasa’” yang beroperasi siang-malam mengurus limbah kota.

Terasa jelas betapa pemkot Makassar City berusaha keras untuk mendapatkan Adipura tahun ini, dan untungnya, memang berhasil walaupun bukan Adipura Kencana. Namun, benarkah Makassar layak mendapatkan penghargaan ini, jika dilihat dari sudut pandang lingkungan hidup?

Menurut Tuti Hendrawati, dirjen LHK, penataan ruang hijau yaitu tersedianya 30 persen dari luas wilayah. Kemudian perhatian area daerah aliran sungai (DAS) yang harus terjaga. Lalu, perhatian perawatan ruang publik seperti terminal, rumah sakit, dan sekolah untuk mendapatkan penghargaan ini. Berdasarkan pendataan yang dilakukan BLDH Makassar pada 2014 lalu, ruang terbuka hijau kota Makassar masih di bawah 6, 716%. Ruang hijau tersebut tersebar di taman-taman kota, Lapangan Karebosi, Kampus Unhas Tamalanrea dan beberapa wilayah kecil di sekitaran kota. Selebihnya, area-area hijau kota ini telah dirampas pembangunan ruko dan pelebaran jalan.

Untuk urusan drainase, terima kasih sebab pemkot telah merapikan wilayah sekitaran pasar terong. Akan tetapi, kanal-kanal di Karuwisi, Maccini, Rappocini dan sekitarnya masih sekotor sebelumnya. Wilayah-wilayah yang telah menjadi area pemukiman warga miskin kota masih kurang dilirik. Pembersihan wilayah dalam kurun waktu setahun ini masih terpusat pada wilayah-wilayah di sekitaran alun-alun kota. Sementara fasilitas umum seperti terminal Daya atau Malengkeri belumlah terjamah dengan baik. Bahkan baru-baru ini diberitakan untuk mengambil air wudhu, pengunjung Terminal Daya harus membayar sekian rupiah. Pungutan itu pun tidak dibarengi dengan pengelolaan fasilitas yang baik di sana. Bau pesing dan udara pengap masih menjadi masalah besar pengunjung. Persoalan kesehatan, alih-alih merapikan Rumah Sakit yang sudah ada, pemkot malah mengijinkan pembangunan banyak rumah sakit swasta yang membuat RS atau puskesmas semakin terpuruk. Berikut beberapa foto “sisi lain kota Makassar yang sedang tidak ingin diperbincangkan demi Adipura itu”:






Makassar mendapat Anugerah Adipura 2015, jangan senang dulu! Walaupun anugerah ini merupakan bukti keberhasilan kota meningkatan kelayakan lingkungan, tetapi sesungguhnya masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

Festival Film Indonesia, penulis sering menyebutnya “Academy Award-nya Indonesia” pasca kemenangan “Ekskul” yang controversial, tidak henti dilanda masalah. Beberapa tahun terakhir, Piala Citra diduga banyak salah alamat. Para penggiat film tahah air pun tak henti memberikan asumsi-asumsi negatif terkait tim penyelenggara FFI. Mengagungkan Teguh Karya sebagai wajah FFI tahun ini seperti penawar racun yang manjur. Beliau merupakan legenda sinema Indonesia dan karya-karyanya yang banyak dirujuk penggiat film sekarang ini.


Teguh Karya lahir dengan nama Liem Tjoan Hok di Padeglang, Banten pada 22 September 1937. FFI 2015 pun dihelat di kota ini sebagai bentuk totalitas penghargaan kepada almarhum. Steve Liem, begitu ia dahulu sempat dikenali, seperti kebanyakan seniman sineas tahun 1970-an, Teguh Karya juga mulai berkesenian dari panggung teater sepanjang tahun 1957-1961 langganan sebagai pemain drama di panggung-panggung Akademi Teater Nasional Indonesia. Ia bergabung bersama Dewan Kesenian Jakarta (1968-1972), ketika Gus Dur menjadi ketua DKJ.

foto dari IFC
Pada tahun 1968, Teguh Karya membuat film anak-anak dan baru menghasilkan film dewasa pertamanya 3 tahun kemudian, saat sibuk melakukan tugas praktik penulisan scenario film-film semi documenter di PPFN (Perusahaan Film Negara). Di PPFN, beliau mendapatkan kesempatan luas untuk berkarya di banyak departemen, baik sebagai penulis scenario, penata artistik, pemain, hingga asisten sutradara.

Di saat yang bersamaan, Teguh mendirikan Teater Populer di kediamannya, di jalan Kebon Kacang, Tanah Abang. Di sinilah banyak seniman kawakan Indonesia dilahirkan. Dari beberapa kenangan para “anak” Teguh Karya, beliau dikenal sebagai seorang seniman non-stop. Ia tidak pernah puas pada pencapaiannya. Teguh Karya melakukan banyak cara untuk melahirkan generasi baru, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, dan Alex Komang merupakan sedikit di antara aktor-aktor yang “dilahirkannya”. Ajaran-ajaran Teguh Karya pun masih ditanamkan para anaknya. Siapa yang tidak mengenal Christine Hakim, dalam “Eat Pray Love” ia beradu akting dengan Julia Roberts dan menjadi salah satu aktris kenamaan yang diundang menghadiri banyak festival film internasional.



Teguh Karya juga tak luput dari bencana mati suri film Indonesia. Kondisi ini membuatnya turut meramaikan layar kaca. Beberapa judul karya sinema elektronik yakni “Pulang” (1987), “Arak-Arakan” (19920, dan “Pakaian dan Kepalsuan” (1994). “Cinta Pertama” (1974), “Ranjang Pengantin” (1975), “November 1828” (1978), “Ibunda” (1986), “Di Balik Kelambu” (1983), dan “Pacar Ketinggalan Kereta” (1988) memberinya gelar sutradara terbaik Festival Film Indonesia.

Teguh Karya dikenal bermazhab realis. Melalui Teater Populer, beliau mengejawantahkan gagasan-gagasan teater realis di atas panggung, menyambungkan tali idealism yang dibawa Usmar Ismali dan Asrul Sani. Sebagai orang realis, dalam mendidik para rekan di balik layar, Teguh Karya menciptakan suasana yang agaknya serius. Berdasarkan cerita Christine Hakim, beliau selalu meminta para actor yang tidak sedang berakting untuk tidak bermain-main. Ia meminta mereka untuk terus memperhatikan aktifitas di atas panggung, agar mereka tidak keluar dari dimensi cerita.

Tokoh ini meninggal di usia 64 tahun di RSAL Mintoharjo pada tanggal 11 Desember 2001, setelah menderita stroke sejak tahun 1998. Teguh Karya hidup melajang sepanjang hidupnya. Orang-orang yang mengenal dekat beliau menceritakan kalau Teguh Karya sebenarnya sosok yang penuh cinta, akan tetapi ada ruang-ruang khusus bagi setiap aspek dalam hidupnya. Dan pernikahan mungkin berada dalam ruang yang misterius baginya dan bagi orang lain.


Di Jalan Rusa, di samping gedung bekas bioskop Arini, sebuah Volkswagen berwarna kuning telur terparkir sejak 12 November 2015. Microbus itu ternyata rusak. Salah satu pintu dan interiornya dirusak habis-habisan oleh si pemilik untuk dijadikan dapur berjalan. 

Pemiliknya bernama Adi Herlandi. Pemuda berusia 26 tahun ini memiliki passion yang besar pada dunia makanan dan minuman. Dia sendiri adalah seorang penikmat kopi. Bersama Dwiky Pratama Noviar, microbus miliknya menjelma sebuah kereta makanan. Mereka menamainya “MexInCan Food Wagen”. Menu utama MexInCan adalah Taco. Makanan khas Meksiko versi mereka berupa roti tortilla yang membalut campuran daging sapi, paprika, keju, dan saos. 
“Sebenarnya agak sulit memaksakan lidah orang Indonesia untuk menikmati Taco. Namun di MexInCan, saya membuat Taco yang sudah disesuaikan dengan lidah kita tanpa menghilangkan citarasa Taco itu sendiri,” ujar Dwiky.
Selain Taco, MexInCan juga menyajikan aneka minuman, seperti Cappucinno, Green Tea, Thai Tea, dan Meet Sunset. Harga yang ditawarkan untuk setiap minuman ini terbilang sangat terjangkau, mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 15.000. sementara Taco khas mereka hanya seharga Rp 15.000 per porsi. Selain harga dan dapur yang unik, MexInCan juga menawarkan pengalaman kuliner menarik: duduk bersantai di atas box palet ala kargo pelabuhan yang ditata bersisian dengan wagen.


Ditanya mengenai latar belakang mereka menjalankan bisnis food truck penyaji masakan Meksiko, Dwiky bercerita bahwa cita-citanya berkecimpung di dunia kuliner kembali bergejolak setelah menonton film “Chef” (John Favreau, 2014). Dalam film itu, koki professional Carl Casper mengundurkan diri dari restoran tempatnya bekerja, untuk menjalankan sebuah food truck masakan khas Meksiko. Suatu hari, Dwiky membicarakan ide yang senada dalam film itu kepada Adi Herlandi dan disambut antusias. Mereka pun mencari kendaraan yang tepat unik, berkelas, dan cukup besar untuk memuat dapur rancangan khusus. Karena keduanya sama-sama penggemar kendaraan klasik, pilihan jatuh pada Volkswagen tersebut. Dalam pengelolaannya, Adi Herlandi bertindak sebagai barrista dan kasir, sementara Dwiky sebagai koki.



“Kami mengonsep MexIncan tidak hanya sebagai mini-restoran di pinggir jalan, kami pengen food wagen ini bisa menjelajah ke banyak tempat. Untuk ke depannya, kami berharap bisa menawarkan menu Meksiko lain, seperti Cubanos,” kata Adi Herlandi kepada penulis, saat berkunjung pekan lalu. Well, see you everywhere soon, folks!


Rekomendasi:
Kalau berkunjung ke sini, pesanlah satu porsi Taco dan segelas Meet Sunset. Sensasi pedas yang tak begitu menggigit dari campuran Paprika sungguh pas dilegakan oleh segarnya Meet Sunset. 


Masih ingat “Pada suatu hari di sebuah desa yang jauh,….” atau “Konon di puncak sebuah gunung yang sangat tinggi…,”? kalimat-kalimat itu hampir selalu jadi pembuka cerita anak, dongeng, atau fable di masa kecil kita. Kalimat-kalimat itu berfungsi sebagai pengantar sekaligus pembenaran atas dunia khayal pengarang, sebab menyajikan cerita fiktif. Namun, bukan hal-hal fiktif yang menjadi topik utama. Cerita-cerita anak dialamatkan untuk memberi pelajaran moral lewat bacaan yang sederhana.  Yang menarik menurut saya, pengaruhnya kepada alam bawah sadar manusia. Cerita-cerita tersebut yang akhirnya membentuk perilaku kita hingga sekarang. Di sisi lain, cerita-cerita itu membentuk mimpi dan kegemaran kita.

Sebab sering membaca cerita-cerita fantasi dari gunung, hutan, atau desa yang jauh, aku merasa tumbuh menjadi orang yang memiliki hasrat melakukan banyak perjalanan. Dua kota yang ingin kukunjungi, sangat, yakni Quebec di timur Kanada dan Timbuktu di dekat Gurun Sahara (sering disebut dalam komik Paman Gober). Hutan Amazon, Gunung Kilimanjaro, Sungai Kapuas, Danau Kelimutu dan sebagainya merupakan tempat-tempat yang ril namun masih fiktif dalam kepalaku, karena aku belum pernah ke sana. Sungguh, rasa penasaran saya pada ornament-ornamen natural di permukaan bumi tidak pernah cukup cara untuk terbendung.

Nasib buruk para born-to-be-explorer yang terlahir di kota besar. Aku jadi sulit memiliki waktu untuk melakukan semua itu. Ketika manusia lain dengan gampang memetik buah di kebun mereka, di desa-desa, aku harus mencari cara terlebih dahulu untuk mendapatkan uang dan membelinya di pasar. Sebagian besar waktu dan tenaga manusia-manusia kota dihabiskan untuk menjadi pekerja agar dapat bertahan hidup.

Keterbatasan ini kemudian mengecilkan volume mimpiku. Aku ingin menginjak daerah-daerah di pulauku terlebih dahulu. Ekspedisi pertama sukses, aku berhasil menjelajah kota Makassar dari bibir pantai hingga ke pesisir kota sebelum tamat SMA. Misi kedua, menjelajah kabupaten-kabupaten selama tahun-tahun perkuliahan. Aku telah menelusuri seluruh Sulawesi-Selatan, selain wilayah Eropa (Enrekang-Toraja-Palopo), bahkan sudah kuinjakkan kakiku ke Bombana, di Sulawesi Tenggara sana. Dalam hitunganku, aku masih punya PR yang panjang. Sulawesi Barat, Mamuju belum kukunjungi, Pasang Kayu yang sedikit lagi mencapai Palu di Sulwesi Tengah pun belum kudatangi. Bau-Bau, dan Kendari masih menempati daftar teratas.

Dalam setahun ini, aku telah berhasi membayar cicilan. April lalu, aku mengunjungi Bulukumba dan Bantaeng untuk mengenal mereka lebih dekat. Agustus, aku mendatangi dua gua vertical besar di Maros, Leang Pute dan Gua Dinosaurus (meskipun skill SRT belum cukup mumpuni untuk mendapatkan ijin menelusurinya). September, aku melakukan perjalanan yang cukup gila: jalan kaki dari Pattunuang (Maros) ke Balocci (Pangkep) melalui terowongan Rammang-Rammang. Pada bulan Oktober, kulakukan pendakian gunung lebih dari 1000mdpl yang hanya kusebut sebagai simulasi Bulusaraung.

Pendakian ini memang hanya simulasi. Sebagai anak dengan garis keturunan kuat dari orang-orang di kaki gunung Lompobattang, alangkah afdhal jika gunung pertama yang kudaki adalah Lompobattang. Maka, kulatih mental dan fisikku terlebih dahulu dan menyelesaikan satu gunung terendah di Sulawesi-Selatan tanpa acara camping di puncak. Aku mendaki dan menuruni Bulusaraung tidak cukup sehari.

Sudah kukatakan pada Monyek (salah seorang kawan seperjalananku), “Aku akan segera mendaki Bulusaraung. Jika tidak bersamamu aku akan pergi dengan orang lain, kalau perlu sendirian” Monyek bersikeras melarangku pergi saat itu, iya karena aku cukup tolol ingin langsung melanjutkan perjalanan ke puncak Bulusaraung begitu kami mengakhiri long march di depan masjid besar Komp. Tonasa 1. Namun, belum cukup 2 minggu, aku benar-benar melakukannya.





Saat itu aku ditemani kawan perjalanan lainnya. Kami hanya berdua. Tanpa carrier. Isi daypack seadanya.  Dengan sepeda motor, kami tiba di desa terakhir pukul 11 siang. Aku dan teman (sebut saja Begal) menunggu posisi matahari berada di titik cukup ramah dengan ritual sarapan yang tertunda. Di kedai kopi yang menyajikan air putih istimewa (berwarna kemerahan karena dimasak dengan tungku dan kayu berkhasiat), aku dan Begal bercengkrama bersama pemuda setempat. Mereka masih kelas tiga SMA. Pagi itu, mereka baru saja turun dari puncak. Semalam mereka camping di Pos 9 untuk mengisi akhir pekan. Mereka mengeluhkan meramainya pengunjung gunung beberapa bulan terakhir, “Kami kehilangan suasana gunung yang selalu bikin rindu,” ujar salah seorang di antara mereka.

Bagian terbaik dari menghabiskan waktu di gunung adalah kesunyian yang dalam, udara dan cahaya bebas polusi, dan tema-tema percakapan yang jauh dari unsur kekotaan. Sekarang, seolah kota dipindahkan ke gunung oleh ramainya kelompok pendaki. Inilah sebabnya aku tidak pernah berniat memasuki KPA tertentu. Kami memulai pendakian pukul 13.30 wita setelah melaporkan kedatangan di pos jaga TN Babul.

Pos 1: Pematang Sawah. Jalur menuju gunung melalui setapak kecil di belakang kedai kopi. Melewati sebuah rumah tua, setapak kebun, pematang sawah, kemudian melintasi pagar anti hama. Kemiringan sekisar 350 menuju pos 2.

Pos 2: Bidang Landai pertama. Sebuah gazebo atau tempat berteduh sederhana dibangun sebagai penanda Pos 2. Kami singgah sejenak, sekedar minum seteguk dua teguk air putih sembari memperhatikan “jejak tangan” para pendaki sebelumnya. Mereka cukup “kreatif” meninggalkan sampah visual pada tiang-tiang gazebo.
foto oleh admin

Pos 3: No Space. Jalur dari pos 1 hingga pos 3 statis pada kemiringan yang sama, kadang-kadang landai namun tidak panjang. Gully semakin banyak dan dalam. Kaki-kaki pendaki tidak memberi sejenak waktu bagi permukaan tanah untuk merapikan diri. Tidak gazebo, hanya papan penanda bertuliskan himbauan bagi para pendaki, yang tampaknya tidak dipedulikan. Debu-debu beterbangan. Udara pegunungan yang bersih tidak berasa di tempat ini.

Pos 4, dan 5 tidak lagi dapat kunikmati. Jalur semakin curam. Apalagi arus mudik dari puncak memperlambat jalanku. Menjelang pos 5, aku dan Begal beristirahat sejenak, bersandar di sisi bebatuan. Tak kusangka lalu lintas cukup padat. Jalur terbagi dua, mungkin karena para pendaki tidak sabaran mengantri akhirnya mereka membuat jalur di sisi lain. Kedua jalur ini mengerucut menjadi satu jalur, tempat beberapa batang pohon berdiri. Karena kemiringan cukup menggetarkan (sekaligus mengasyikkan), para pendari berlarian turun, meluncur hingga ke pohon tersebut, kemudian berputar, meloncat, lalu mendarat dengan (sebut saja) keren pada bidang yang cukup landai. Namun euphoria hanya dapat dilakukan dengan pekikan, karena kemiringan selanjutnya menyambut. Mereka pun terus meluncur hingga pos 1. Bagi orang-orang yang memiliki engsel kaki serapuh aku, tidak disarankan melakukan adegan ini. Takut jatuh lebih penting.



Terus terang, tontonan ini sangat menghibur, namun jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Begitu jalur mulai sepi, kami melanjutkan pendakian menuju pos 6. Jalur perlahan melandai, gullies sudah mengecil. Jalur berupa akar-akar pepohonan besar. Sangat membantu agar terhindar dari gelincir. Jalur juga semakin menyempit. Udara semakin segar. Debu-debu berkurang. Serasa mendekati sumber kerinduan.

Karena mengejar ketibaan di puncak sebelum maghrib, kami kurang memperhatikan penanda Pos 7. Kami sempat berhenti untuk mengabadikan beberapa titik yang kuanggap khas dari gunung ini. Aku sempat beristirahat cukup lama, namun Begal mengingatkan bahwa sia-sia kita lama istirahat di tempat itu, sebab pemandangan di Pos 8 sangat menjanjikan. Dia tidak berbohong. Di pos 8 dibangun menara air, tepat di sisi tebing. Pemandangan hutan tropis kaki gunung membuatku takjub. Aku mengeluarkan “air rasa-rasa” dan kretek mild andalan. Ada pagar kawat yang dipasang di sepanjang tebing, tapi kuterobos saja. Tanggung rasanya menikmati pemandangan dengan pembatas.


foto oleh admin

Kami harus tiba di puncak sebelum “dunia batas” datang, sebelum kabut memperpendek jarak pandang, dan suasana mencekam memaksa kami bermalam. Di pikiranku, aku sudah berencana akan “nebeng” di salah satu tenda pendaki yang kami temui sepanjang perjalanan, jika rencana kali ini tidak sesuai. Dari pos 8 menuju pos 9 membutuhkan waktu kurang dari 15 menit. Kami menjumpai sisa-sia camp semalam dan beberapa kelompok KPA yang bersiap membangun tenda.

Jalur nyaris mencapai kemiringan 80 derajat menuju pos terakhir. Sungguh menguras tenaga dan perasaan. Bebatuan yang dipijaki cukup besar, mengingatkanku pada tangga Minas Morgul di LOTR, jalur tersembunyi Frodo dan Sam menuju kawah api. Sayangnya, puncak cukup mengecewakan. Awan-awan tipis yang biasanya menghampiri sedang berada menutupi wilayah lain. Benchmark kotor, tak ada penanda nama selain kotoran-kotoran spidol para pendaki alay. Area juga seramai pasar senin di desa-desa. Namun, aku dan Begal tetap bersyukur, kami tiba di puncak dengan selamat dan sesuai rencana. Kami menikmati hembusan angin menuju dunia batas hingga matahari benar-benar tidak ada lagi untuk menghangatkan.

Pulang. Untung pertemuan singkat dengan seorang operator menara provider di pos 3 tadi menyisakan sebuah headlamp. Niatku yang cukup terburu-buru dan yakin kalau akan tiba di bawah sebelum gelap membuatku lupa membawa penerangan. Dengan bantuan headlamp, dan senter berlumens rendah, kami menelusuri kembali jalur tadi. Adrenalin dan rasa takut dua kali lebih besar dari saat mendakit tadi. Tentu saja, karena hanya kami yang memaksa diri untuk turun gunung di malam hari. Aku terjatuh berkali-kali dalam gully yang curam. Kuukur-ukur, dalamnya dapat menenggelamkan tubuhku. Sekujur tubuhku dipenuhi debu. Begitu tiba di Makassar, kaki hingga paha diserang gatal-gatal karena debu itu. Gatal, sungguh gatal. Garukan membuat bagian-bagian yang gatal menyisakan luka totol. Kata orang, itu namanya “mor-mor”. Selama dua minggu, kulit sepasang kakiku tidak semulus sebelumnya. Akan tetapi, apalah arti bekas perjalanan seperti itu dibandingkan simulasi yang sukses.


Terima kasih 1.323 mdpl, puncak tertinggi di pegunungan Bulusaraung. Lain kesempatan aku datang lagi. Semoga pihak TN memberimu libur sejenak untuk memperbaiki diri dan rehat dari sentuhan para pendaki. Cukuplah kau disiksa 2000 pasang kaki dalam seminggu, setahun terakhir ini. See you, soon!