"Ikutilah ke mana arus membawamu." Klasik. Aku bosan membacanya dan mendengar orang acak mengutarakannya di hadapanku, setiap kali mereka menduga aku sedang tidak baik-baik saja. Hanya karena aku sedang duduk sendirian dan menatap suatu objek tertentu. Oh yeah, mereka tidak dapat menyelami kedalaman mataku yang terhalang kacamata ini. Ucapan spontanitas seperti itu, sebenarnya pantulan dari perasaan mereka sendiri. Tatapanku mungkin terlalu jernih, serupa cermin, maka mereka berkenan berbicara kepada diri mereka sendiri melalui mataku.
Aku tidak sama seperti mereka. Mereka tebang pilih untuk menyayangi spesies, akibat tampilan. Aku menyayangi semuanya; manusia, binatang, tumbuhan. Aku juga bisa menakuti semuanya; manusia, binatang, dan tumbuhan. Harus aku akui, yang terburuk dari semuanya adalah mencintai manusia.
Kasih, sayang, dan cinta itu berbeda. Kasih itu memberi. Memberi saja. Seperti pencipta kepada makhluknya. Sayang itu perasaaan semena-mena yang harus dikeluarkan karena adanya hubungan ketergantungan di antara dua individu. Cinta itu transaksional, seperti kedua belah pihak musti membawa jaminan sesuatu ke atas meja dan keduanya bersepakat untuk saling memberi dan saling menerima. Seperti sebuah perjanjian. Makanya orang-orang menikah. Ada jaminan yang harus diberikan oleh kedua belah pihak untuk masa-masa yang akan mereka jalani bersama.
Dan aku bukan lagi seseorang yang menerima pengandaian menjadi perahu yang pasrah diarahkan oleh hembusan angin. Kedengarannya sangat payah, tidak berdaya. Hidup memberikan kita kesempatan untuk memilih peran, ada baiknya saya memanfaatkannya. Maka saya memilih menjadi air. Air yang jumlahnya di planet bumi ini selalu sama, hanya berubah bentuk. Suatu masa air adalah hamparan lautan, rumah bagi begitu banyak spesies menakjubkan. Di musim kemarau, perlahan air menguap menjadi awan, untuk kelak dirayakan atau dikutuk petani. Reaksi manusia terhadap hujan, tergantung dari persiapan mereka dan perlakuan mereka kepada permukaan daratan.
Di dalam pegunungan, air demikian sejuk dan menempati urat-urat batu dengan tenang. Di ujungnya, air keluar dalam berbagai gerak rekreatif di mata manusia. Air menerjun, menganak sungai, menyebur sebagai mata air, dikumpulkan dalam cincin sumur, di mata manusia air mengeluarkan toksin dalam bentuk kepedihan. Apakah hanya aku yang melihat kekuatan dalam tangisan seseorang?
Duduk manis, ya.
Aku akan menuliskan refleksi atas kejadian-kejadian yang aku alami selama satu tahun terakhir. Kejadian yang boleh jadi menebalkan karat dalam dadamu atau justru meluruhkannya.
Namun sebelum aku memulainya, aku ingin kamu memikirkan angka 1. Pada deret awal Fibonacci Sequence, ada angka 0 dan 1. Pilihlah angka 1 tanpa mengabaikan angka 0 sebelumnya. Dalam matematika dasar, jika kamu mengalikan angka berapapun dengan 1 maka hasılnya sesuai dengan angka tersebut. Tetapi jika kamu mengalikan angka berapapun dengan 0, maka hasılnya akan 0 atau sama dengan menjadi tiada. Sudah pahamkah? Baik, mari mendengarkan kisahku sembari memikirkan angka 1.
KOPER AYAH SAYA
(Pidato Nobel Sastra oleh Orhan Pamuk, Turki)
Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Tia Setiadi

Dua tahun sebelum kematiannya, ayah saya memberikan kepada saya sebuah koper kecil yang sarat dengan tulisan-tulisan, manuskrip-manuskrip, dan catatan-catatannya. Dengan separuh bercanda dan separuh mencemooh, dia mengatakan kepada saya bahwa dia ingin saya membacanya setelah dia “pergi”, yang artinya setelah dia wafat.
“Coba kau lihat-lihat saja,” katanya, dengan sedikit malu-malu. “Kalau-kalau ada sesuatu di dalamnya yang bisa kau gunakan. Barangkali setelah aku ‘pergi’ kau bisa menyeleksi dan mempublikasikannya.”
There was a toy
flip-flop odd eyes
in thrift dress leather holey shoes
it had no other changes
bare face
only laughing it knew
for any jobs a man did to it
No use, no use, now, begging Recognize!
There is nothing to do with such a beautiful blank but smooth it.
Name, house, car keys,
The little toy wife—
Erased, sigh, sigh.
There is nothing to do with such a beautiful blank but smooth it.
Name, house, car keys,
The little toy wife—
Erased, sigh, sigh.
Pukul 9 pagi waktu itu, aku menemukan isi kepalaku berkurang. Di bagian depan dan belakang. Hari-hari sebelumnya, isi kepala yang telah hilang itu membuatku sulit meluruskan posisi kepala. Terkadang, bagian dahi telampau berat hingga aku sering nyaris terjatuh tanpa mempedulikan lokasi. Benar-benar pagi yang ganjil, karena memang tidak biasanya aku merasakan seperti itu. Biasanya kepala berat, sangat.
Banyak bekas luka di kakinya. Rambutnya pendek seleher dan tidak wangi. Ruang-ruang di rumah ini berbau tembakau akibat kebiasaannya. Dia memanggilku anak dan menjuluki dirinya mamaku. Bukannya tidak sudi, tetapi aku sudah memiliki ibu.
Pertama kali memasuki tempat tinggal Sofie, aroma lepek menyeruak dari dinding lembab dan udara yang jarang terganti. Dia membuka pintu kandang. Harapnya, aku dapat menjelajah rumah agar terbiasa. Namun aku hanya berdiam di atas meja makan, memandang kecoak-kecoak merdeka di bawah lemari makan. Dia menyiapkan bak buang air, mangkuk makanan dan air minum di garasi yang sebenarnya menyatu dengan ruang keluarga. Dia memintaku minum, aku tidak bergeming. Air itu dari sumur bor.