Dua ekor anjing ras mixed what-what yang
merekatkan kami, tiga petualang sejati. Tersebutlah si Dwiky (lebih sering
dipanggil Opa) yang akrab dengan anjing sejak kecil. Kemudian, Nila si gadis dangdutan
sejak dahulu kala ngidam memelihara anjing, dan aku si tante kegirangan yang
pada dasarku suka binatang, kucing atau anjing. Jadi kami bertiga memelihara
seekor Beagel mixed what-what bernama Mandang (nama yang diambil dari sebuah
akun facebook terkenal) dan Betty si Norrbottenspets also mixed what-what. Nila
mamaknya Mandang dan Betty, Dwiky bapaknya Mandang dan Betty, aku tante kue
mereka. Ya begitulah.
Cerita ini bermula di kontrakan Nila, di area
pemukiman paling padat di daerah Tamalanrea Makassar. 2013 kemarin, Awalnya aku
yang nebeng tinggal di sana, kemudian Dwiky sering datang membawa Betty bermain
dengan Mandang. Entahlah, mungkin urutannya kebalik. Pokoknya aku lupa-lupa
ingat, karena kadang over bahagia bisa bikin hangover dan amnesia. cerita
berlanjut ke 2015. Baru-baru ini, kami bertiga tersesat bahagia di Pantai Bara.
Dwiky menyebutnya “Into The Wild”, Nila menyebutnya “Lost and Fun”, aku bilang
sederhana saja, “Menjauh dari kerasnya hidup di Makassar”.
Sebenarnya Aku dan Nila lagi tidak pengen
liburan keluar kota, karena sumpah kantong kami lebih tipis dari rambut dibelah
tujuh. Dwiky juga lagi kere sih. Untung ada Bang Ego (paman Dwiky, usianya 2
tahun lebih tua dari Dwiky, 5 tahun lebih tua dari aku, dan 9 tahun lebih tua
dari Nila. Itulah pokoknya. Bang Ego niat isi liburan mancing di pantai
Bulukumba. Dwiky yang memilih destinasi Pantai Bara (adik Pantai Bira yang
tersohor). Pantai Bara jadi special karena diperuntukkan untuk Diving dan
Camping. Catat, bukan untuk mancing.
1 Agustus 2015, kami berangkat dari Perum.
Tamarunang, Gowa (dari rumah Nenenk Dwiky) dengan dua sepeda motor. Dwiky
boncengan dengan Bang Ego membawa satu carrier 60 kg, satu daypack dan
seperangkat alat pancing. Nila dan Aku boncengan membawa satu daypack dan
Betty. Oh, iya Mandang sudah wafat tahun lalu. Perjalanan santai kami
menghabiskan waktu kurang lebih 6 jam dengan satu kali singgah di rest area
Jeneponto.
(gambar menyusul)
Sekilas tentang Jeneponto, kampung Turatea. Area
ini paling kering di antara kabupaten-kabupaten pesisir timur Sulawesi Selatan.
Banyak tambak garam, kuda, pedati, dan jagung. Inilah kampung halaman gubernur
Sulawesi Selatan dan menurut cerita nenekku, dulu menjadi daerah ribuan pasukan
dan bangsawan. Makanya di daerah ini banyak kuda dan rumah panggung Saoraja
yang bertingkap tiga.
I don’t wanna get too far. Jarak Makassar ke
Bara kurang lebih 200km. Jarak ini cukup untuk membuat tulang punggung remuk.
Rest area tempat kami sarapan dan menenggak gelas kopi pertama kami disebut
Boyong, salah satu objek pariwisata kabupaten Jeneponto. Sebagai sentra bisnis,
area ini memiliki Water Boom, wisata Tambak Garam, dan tak lupa coto Kuda yang…
ah, kalian para cowok ngertilah.
Tapi kami tidak mencicipi coto kuda, lantaran
Betty tampaknya tak sabar ingin berenang di laut. Perjalanan segera kami
lanjutkan. Kami mengendarai sepeda motor tanpa henti dengan kecepatan santai 60
km/ jam. Kami tiba di kawasan pantai Bulukumba tidak lewat dari pukul 2 siang.
Untuk mengembalikan punuk pantat, kami beristirahat sejenak di rest area
Pelabuhan Bira.
![]() |
di depan pelabuhan Bira |
Agaknya kedatangan kami kurang tepat, sepanjang
pesisir Bira sedang menderita kekurangan air tawar, lantaran musim kemarau
sedang memuncak. Berkali-kali kami melihat mobil pick-up melintas, membawa satu
atau dua reservoir. Aktivitas pelabuhan juga sedang sepi. Pelabuhan Bira
merupakan tempat merapat kapal-kapal ke Pulau Selayar hingga ke Labuan Bajo.
Pantai-Pantai
di Bira
Kalau dijejer dari jalan utama, Pantai
PanrangLuhu yang pertama ditemui, kemudian pelabuhan Bira, selanjutnya Pantai
Bira, kemudian Pantai Malboro, dan yang paling ujung adalah Pantai Bara. Lainnya ada pula Pantai Appalarang yang
sedang anthem itu.
Karena kami bertiga termasuk Alien local, kami
tidak mencari objek wisata primadona. Kami memilih Pantai Bara yang
terpencilkan di ujung tebing. Setelah menempuh jalan sempit sejauh 1 km, kami
tiba di bibir pantai yang juga sempit. Tidak banyak orang (mungkin segera ramai
setelah tulisan ini aku publikasikan), camp tent berjejeran, lapakan penduduk
local hanya sepetak, ada satu cottage, dan beberapa bule yang sedang naik ke daratan.
Tampaknya, beberapa puluh meter dari bibir pantai terdapat objek snorkeling
yang menarik.
Kami bergegas mendirikan tenda di bagian paling
ujung Pantai, tepat di bawah karang yang membentuk cekungan. Kami pikir, tak
perlu dekat dengan toilet umum dan sumber logistic. We just wanna feel a little
wilderness for some days. Inilah tenda kami.
(gambar menyusul)
Lulur Pasir
Putih dan Betty yang Konyol
Bang Ego bilang pasir pantai putih berkhasiat
layaknya lulur yang dijual di toko. Plus, air laut dapat segera menyembuhkan
luka termasuk jerawat tentunya. Sehabis berkata seperti itu, Bang Ego dan Dwiky
berlari nyemplung ke laut, aku buru-buru ganti pakaian buat basah-basahan.
Meninggalkan Nila yang sibuk mengajak Betty keliling pantai.
Bang Ego pun sibuk menggosok punggung Dwiky yang
penuh rajahan. Sementara si Dwiky keenakan dilayani paman sendiri. Aku mencari
pasir terlembut di dasar pantai dan membalurkannya ke seluruh tubuh dan
wajahku. Sembari menunggu khasiatnya meresap, kuapungkan tubuh di air. The
feeling was amazing.
Setelah membersihkan tubuhnya, Dwiky mencari
Betty. “Betty berenang…. Betty berenang!” si Dwiky bersenandung sambil
menggendong anaknya memasuki air. Aku bergegas membersihkan tubuh pula dan
mengambil DSLR di tenda. Nila? Well, we had no idea where she was.
Satu, dua, tiga, Dwiky melepas Betty di ujung
pecahan ombak dan ternyata anjing mixed what-what itu takut air laut!
(gambar menyusul juga, yaah)
Senja Hilang
dan Purnama Rekah
Sehabis luluran, berenang, memandikan Betty,
membangun tenda, kami menenggak kopi senja di sisi tenda, di dekat hammock yang
terpancang di antara karang. Sayangnya, matahari senja bersembunyi di balik
karang, di belakang punggung kami. Sementara di bentang air di hadapan kami
hanya ada ombak bergulung-gulung, cahaya yang memudar, dan angin kemarau dari
laut.
“Senja berada di Losari, aku lupa” Kataku. Walau
sedikit kecewa karena kebodohan sendiri, kami tetap bahagia karena kopi panas
benar menghangatkan kami. Betty pun tampak senang di sisi tebing. Nila? Dia
sibuk selfie. Maklum, baru kenal Iphone.
![]() |
selfie terbaik dari 1000 selfie Nila |
Kemudian hari berlalu dengan demikian cepat,
diganti malam yang hadir perlahan. Kami (kecuali Nila) mengganti pakaian dengan
yang kering. Bang Ego memanjat ke hutan di atas tebing, mencari kayu bakar. Aku
membereskan lemari alam kami. Dwiky mempersiapkan makan malam. Maklum, sedari
berangkat tadi, kami belum juga makan. Nila? Adik kesayangan kami itu sibuk
berayun di atas hammock, menikmati angin malam dan kesepian jiwanya. Aku
berharap, saat kutuliskan cerita ini, dia pun sedang merancang outline versinya
sendiri.
Seolah Tuhan ingin membayar kekecewaan kami, Dia
menerbitkan purnama yang dekat, kuning, dan bulat sempurna. Kami bersorak.
Semakin semangat Bang Ego hendak memancing. “Tunggu airnya pasang lebih tinggi, kita pesta ikan
bakar malam ini!” serunya.
Tragedi Daypack
Pinjaman
Inilah fragmen paling menyedihkan dalam tulisan
ini. Well, aku membukanya dengan sedikit aib. Karena buru-buru ingin lost n
fun, aku lupa membawa rangkapan pakaian dalam. Jadinya, terpaksa, aku harus
menitip belanjaan pakaian dalam kepada seorang teman (?) yang kebetulan akan
reunian di Bara juga malam itu. Dengan sisa baterai ponsel pinjaman dari Nila,
aku menghubunginya. Jeleknya, jaringan benar-benar menjengkelkan. Ponselku
segera mati total, begitu aku tertidur menunggu balasan bbm.
Di saat yang bersamaan, Nila entah berada di
mana bersama Betty. Sementara Bang Ego dan Dwiky memancing 20 meter dari tenda.
Aku terbangun saat Dwiky berseru, “Kapan lagi kau nikmati makanan seharga
100ribu di restoran, Nila? Makan ki .. enak ini bulu babi,” ternyata, mereka
tidak berhasil mendapatkan seekor ikan pun. Mungkin karena guguran rumput laut
yang esok harinya menutupi pasir pantai. Tidak ingin rugi, akhirnya mereka
memungut bulu babi. Sore tadi, kawanan bulu babi itu memakan dua korban. Tenda
kami jadi Tim Bantuan Medis pantai Bara. Nila, Dwiky, dan Bang Ego membantu
mengeluarkan duri si bulu babi. Ada tips menarik, kalau ingin lekas sembuh dari
penderitaan tusukan bulu babi, kencingi area yang tertusuk! Kata Bang Ego, luka
tusukan segera membaik sehabis dikencingi.
Aku terbangun dengan, iya, perasaan tidak enak
di bagian bawah perut karena dalaman yang basah. Ponsel yang mati total perlu
segera dinyalakan, supaya dapat kabar dari si temanku itu. Akhirnya aku
mengajak Nila ke warung di dekat pintu masuk pantai, mencari colokan untuk
charging. Agak mahal sih, Rp 10.000 hingga baterai ponsel penuh. Sembari
menunggu charging-an, barangkali ada satu jam lebih. Aku juga agak memaksakan
charging ini, karena kerjaanku jadi melambat gara-gara ponsel dan jaringan yang
bermasalah. Cottage di atas tebing pun sudah sepi, jika saja aku bisa meminjam
wifi di sana dan menyelesaikan laporan kerjaku, jika saja. Padahal baru pukul
10 malam.
Aku dan Nila kembali ke tenda 1 jam kemudian.
Dwiky dan Bang Ego ternyata belum menyerah, mereka kembali memancing. Kerjaan
dan pakaian dalam pun beres. Aku menyalakan kembali api unggun di depan tenda,
udara malam saat itu sungguh menggigilkan. Bang Ego dan Dwiky kembali ke tenda
dengan ember kosong. Sejenak kami duduk melingkar di depan api, tidak
membicarakan apa-apa. Tidak memikirkan sesuatu pun.
Ketika Bang Ego beranjak mencari tisu basah
(mungkin doi sedang kebelet pengen bab), Bang Ego kaget tisu basah tidak berada
di tempatnya, di celah tebing. Kami mencari benda itu bersama-sama dengan bantuan
headlamp dan flashlight ponsel masing-masing.
“Lho, ke mana semua tas kita?” seruku. Daypack
aku dan Nila, daypak Bang Ego dan Dwiky tidak berada di antara bebatuan. Kami
mencari ke sana kemari, dan tidak ada. Rampok pasti. Kami segera berpencar. Nila
dan Betty menjaga tenda, Dwiky menelusuri hingga ke ujung selatan pantai,
sementara aku dan Bang Ego mencari ke hutan di atas tebing. Kami mengintari
semua jalan setapak dan halaman cottage, camp area, hingga ke spot buat
barbeque-an di bagian utara. Tidak ada jejak yang ditinggalkan tas itu. Aku
dan Bang Ego kembali ke tenda dengan sekantung sabut kelapa, seikat kayu bakar,
dan beberapa kantung kresek yang bertebaran di sana.
“Lumayan, setidaknya lelah kita bisa terobati
dengan kehangatan,”
Nila dan Dwiky tertidur di dalam tenda,
barangkali dengan perasaan campur aduk. Betty terikat di antara tebing, ia pun
tertidur dengan perasaan yang tak dapat kami baca. Sementara aku dan Bang Ego
menjaga api tetap menyala, hingga kantuk memanggilku. Kedua daypack tersebut
entah berada di mana. Ikhlas itu sulit.
Makan Siang dengan Tai
Hari kedua di Pantai Bara, kami mulai pada pukul
9.30 pagi. Tragedi semalam memaksa kami tidur lebih lama dari rencana. Belumlah
sempat cuci muka dan sikat gigi, Bang Ego dan Dwiky telah melempar kail ke
tengah laut, dengan harapan dapat membakar satu-dua ekor ikan untuk makan
siang. Aku mengenakan kaos pantai kesukaanku dan bergegas menyusur pantai, mencari
pesanan Claren (si monyet Toraja), yaitu beberapa ekor Kalomang. Lupakan Daypack
dan segala isinya yang hilang. Toh, pakaian dapat kami adakan kembali di Makassar
nanti.
![]() |
Memulung Kalomang |
Para lelaki telah mengemas 50% peralatan
camping, hingga tersisa tenda dan peralatan masak. Dwiky memindahkan hammock ke
tebing di sisi kiri camp, tepat di bawah cerukan yang lebih menjorok ke pantai.
Rupanya, jika siang hari, area camp kami disinari matahari terik. Bang Ego
berhasil mendapatkan seekor ikan. Dwiky meminta Nila memasak Nasi sementara ia sendiri membakar ikan tersebut dengan bara api sisa semalam. Aku sibuk mengemas
beberapa ekor Kalomang ke dalam botol plastic bekas air mineral.
Don’t Leave
a Mess on the Beach
Dari Makassar, Dwiky membawa kantong kresek
hitam buat ngepak mayat korban mutilasi. Aku menggunakannya untuk mengumpulkan
semua sampah pelastik di sekitaran camp area kami. Sementara itu, Bang Ego
membakar hasil pulunganku di antara tebing. Masakan siap, camp sudah bersih,
saatnya makan siang.
![]() |
dwiky sebagai anjing beagel jadi-jadian, sedang berlagak kecakepan di atas hammock, sehabis makan siang |
“Nil, mau lihat selfi-selfie ku tadi?” Nila
berseru pengen. Dwiky memperlihatkan gallery Nikon milik Nila. Benar-benar
selfie seonggok tinja yang cokelat eksotis. Dwiky tertawa pecah. Kami tertawa
pecah. Sepasang mata Nila berkaca-kaca. “Kerjai terusma, orang tua…. Aaa… aaa….”
(gambar nyusul, nyeet)
Kembali Makassar
Bang Ego seorang pegawai bank, Dwiky seorang
Koki harus segera kembali ke Makassar mengurus volks wagen yang disulapnya
menjadi Food Wagen. Aku kini, seorang promotional assistant dibebani tugas segera
kembali ke kota besar demi jaringan internet cepat. Dan Nila, kemarin dia
melamar kerja part-time sebagai ranger di salah satu coffee shop and senin besok
adalah hari pertamanya masuk kerja. Rasanya ingin menghabiskan satu malam lagi
di Bara, namun kami harus kembali menyesakkan diri di Makassar.
Kami meninggalkan Bara sekisar pukul 2 siang.
Betty sepertinya senang dapat menjauh dari debur-debur ombak dengan segera. Dia
tak suka dikagetkan deburan ombak. Kami menyusuri jalur yang sama menuju
Makassar: Bulumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Makassar. Dengan jarak
200 km yang sama.
Di perbatasan Bantaeng-Jeneponto, kami singgah
sejenak mencicipi kopi hitam local dan tentu saja, menemukan jaringan internet.
Dwiky kembali menunjukkan foto tinja eksotisnya kepada Nila, sembari aku dan
Bang Ego merencanakan trip bulan depan. Aku mengajaknya mengujungi kampung
nenek moyangku di lembah Lompobattang, sebuah desa bernama Parangkeke. Lembah yang
sangat subur, sejuk, dan kaya akan hasil bumi. Aku berencana membawa pulang
beberapa kentang besar dan tembakau Malakaji, nantinya. Bang Ego tampak
antusias.
Masih ingat temanku yang kutitipi dalaman? Ternyata
temannya menemukan salah satu tas kami di dalam hutan. Kami bersyukur sebab tas
itu ternyata tas pinjaman. Bahkan dua hari setelahnya aku baru tahu kalau Dwiky
menculik tas itu saat pemiliknya sedang tidak di rumah. Beberapa hari
berikutnya, Dwiky bercerita kalau dia menyimpan ratusan ribu uang di
dalamnya. Uang itu untuk membayar utang kepada seseorang. Tragedy!
![]() |
daypack yang diculik itu |
Dua
Pengalaman Mistis
Saat aku dan Nila menunggu charging-an di warung,
ia mendengar kikikan perempuan dari dalam hutan dan melihat sekelebat bayangan
melintas di belakangku. Dia baru menceritakannya padaku setelah aku
menceritakan pengalaman mistisku bersama Bang Ego malam itu:
Sehabis menyusuri hutan, aku dan Bang Ego tidak
sengaja memasuki area sebuah villa yang sudah reot. Kami disambut semerbak
wangi melati. Wangi tersebut hanya dapat dihasilkan dari satu kebun bunga melati,
tidak dari sebatang tanaman melati. Kami mendekati villa yang berbentuk rumah
panggung tersebut, berharap menemukan
salah satu dari daypack kami di kolong rumah. Belumlah sempat berdiri di ambang
villa, wangi melati semakin menyengat. Bang Ego mengarahkan senter ke sekitaran
villa dan berkata “Tidak lihat ka satu pun tanaman melati,” kami melangkah
mundur, menjauh dari tempat tersebut dengan langkah cepat.
Villa ini bersisian dengan cottage ter-mewah di
Pantai Bara, saat siang hari tampak hanya seperti bangunan rusak pada umumnya
dan banyak turis yang memarkir mobil di halamannya. Sepertinya kikikan perempuan yang Nila dengar
berasal dari tempat itu.
(cerita ini akan kulanjutkan setelah ingatan detailku kembali dan foto-foto kami sudah pindah ke dalam laptopku. berikut beberapa yang sempat terkirim via line)
![]() |
AlieNilEkiOki |
ditulis oleh Rezkiyah Saleh Tjako