semasa kuliah, aku nomaden. dari satu kos ke kos lainnya. atau dari satu rumah orang baik ke rumah orang baik lainnya. setelah beberapa bulan merasa tidak nyaman tanpa kucing, suatu malam aku bertemu anak manis itu.

motorku nyaris menginjak lehernya. seekor kucing bersembunyi di bawah roda sepeda motorku sedari tadi. warna mantelnya cokelat gelap, nyaris menyatu dengan warna malam. saat aku berusaha memindahkannya ke tempat terbuka, ia memberikanku tatapan itu. tapapan yang sekelam semesta, yang memiliki ratusan bintang pijar. kurangkul tubuhnya yang besar dan hangat.

tanpa berpikir panjang, kucing besar itu kubawa ke kosan. dia begitu pandai dan penurut. malam pertamanya di kamar membuatku terkesan. ia membuang air seninya tepat di lubang kloset. betapa seekor kucing yang pandai. "Tinggallah bersamaku sesukamu, kucing manis. bolehkah kupanggil kau Allie?" kataku padanya. kucing manis itu mengedipkan matanya. kami memulai musim hujan tahun 2012 dengan kehangatan.

saat itu, isi kantongku terus menipis karena besar pasak daripada tiang. penghasilanku banyak kuhabiskan untuk membiayai karya ini-itu, aku tak peduli apakah akan ada laba dari modal yang telah kukeluarkan. namun aku selalu percaya, seekor kucing memiliki rejekinya sendiri. Allie dapat jatah makan tiga ekor ikan goreng dalam sehari. menu makanan Allie meningkat seiring bertambahnya hari. aku dapat membelikannya sebungkus catfood kelas B 2 kali seminggu. dan tak perlu pengeluaran untuk catsand, ia pandai membuang pee atau poo nya ke dalam lubang kloset.

catfood itu membuatnya melebar dan melebar. menggendongnya bukan lagi pekerjaan yang mudah. Allie si gendut. obesitas, kata dokter yang pernah memberinya vaksin. dokter hewan itu menyarankan diet ketat pada Allie, tetapi aku selalu tak tega melihat tatapan semestanya saat meminta makan. Allie makan lebih dari 6 kali sehari dengan snack yang membumbung tinggi di atas mangkuknya. 

Allie yang sebesar karung
kalau Allie lapar tengah malam dan aku sedang pulas, ia melakukan segala cara untuk membangunkanku. ia menarik-narik rambutku sampai aku terbangun kesakitan. paling parah, ia menggigit ketiakku yang sering terbuka saat sedang tidur. sumpah, itu sakit sekali. melihat ekspresi kesakitanku, bukannya merasa bersalah, Allie malah senang dan langsung berlari dengan pantat megal megol ke mangkuknya, matanya tertuju pada bungkusan eureka di atas lemari.

sejak saat itu, tak pernah kubiarkan mangkuknya kosong. makanan harus terus membumbung untuknya. mangkuknya yang berwarna biru pun kubaluri kapur ajaib agar tidak didatangi semut. Allie pernah tak sengaja makan makanan bersemut dan bibirnya luka-luka. ekspresinya seperti menangis kesakitan, aku memeluk tubuh bundarnya penuh kasih.

Allie kucing sosialis. ia pandai bergaul. saat itu kami tinggal di pondokan rumah panggung. Allie menghabiskan siangnya mengunjungi kamar-kamar tetangga kosan, sekedar memperlihatkan tubuhnya yang gendut atau ikutan memakan cemilan mereka. seisi kos sudah mengenal dan menyayanginya. kalau kekenyangan, Allie nongkrong di teras pondokan, tepat di depan kamar dan mengawasi halaman pondokan seperti penjaga menara. 

mungkin Allie sudah menjadi betina alfa di sekitaran pondokan dan dia berniat memperluas wilayah pergaulan lebih jauh. beberapa kali Allie seperti hilang ditelan bumi. tidak ada di kamarku atau di kamar tetangga. apalagi di balkon. ia membuatku kuatir tak terkira. aku seperti kesurupan mencarinya. orang-orang menertawaiku karena begitu ngotot mencari seekor kucing domestik. saat itu, langit sudah gelap. dunia batas perlahan muncul dan Allie belum pulang. sebentar lagi jam makannya tiba, ia belum pulang. aku termenung di ambang pagar pondokan, memikirkan cara menemukan anak manis itu. tiba-tiba, Allie berlenggak lenggok keluar lorong sempit dengan tatapan semesta padaku. seolah merasa bersalah, ia tidak menyundulkan kepala pada betisku seperti biasa, terburu-buru ia menaiki tangga dan bersembunyi di bawah meja kerjaku.

kucecar dia dengan omelan bertubi-tubi. Allie semakin merapatkan tubuhnya ke tembok. ia takut menatapku. tatapan semestanya tak ampuh bagiku saat itu. tak pernah kulihat ia setakut itu padaku. Allie terus bersembunyi di sana, melewatkan jam makan malam dan jam makan tengah malamnya. aku juga membawa kekesalanku hingga tertidur. aku dan Allie diam-diaman sampai kudengar dengkurannya seperti gemuruh karena menahan lapar. kesalku belum reda, tetapi tetap kusodorkan semangkuk eureka. Allie makan tergesa-gesa. wajahnya terus menunduk. betapa ia merasa bersalah. "Jangan begitu lagi!" kataku padanya. sejak saat itu, Allie selalu bergaul tak jauh dari pondokan. setiap kusadari ia hilang dari pandanganku, aku menyahutkan namanya dan Allie akan muncul entah dari mana, berlari tergopoh-gopoh, berusaha secepat mungkin berada di hadapanku dengan bobot tubuh seberat itu.

Allie tumbuh semakin besar dan besar. sampai-sampai lebar tubuhnya selebar badanku. bentuknya aneh tetapi menggemaskan, bulat dari leher ke bawah sementara kepala dan telinganya tetap kecil. seperti karung beras ditancapi kepala-kepalaan. kalau dia tidur di dekat pintu, tak sengaja kutendang kepalanya. karena ia tampak seperti buntelan besar kecokelatan dari belakang. tubuh yang besar itu menyembunyikan kepala kucingnya.

corak mantel Allie agak unik. loreng kecokelatan pada wajah, punggung, dan ekor. perutnya penuh totol. Allie juga agak galak untuk jenis kucing domestik. kucing domestik lain yang pernah kupelihara, saat marah cenderung mengeong keras. Allie justru menggeram dalam dan menatap tajam. sifat agak liar ini, didukung dengan ukuran tulangnya yang lebih besar dari kucing domestik , dan corak mantel yang tak biasa, memberiku kesimpulan: ada gen kucing hutan semacam Blacan dalam tubuhnya. penemuan ini membuat Allie semakin berharga buatku.

aku senang membawanya jalan-jalan. Allie tak pernah menyusahkanku selama di luar rumah. saat aku bekerja, ia berbaring di sisi kakiku dengan posisi meringkuk. kadang ia memaksa membalik tubuhnya, memperlihatkan perut lebarnya sebagai tanda mengajak bermain. saat ingin buang air, ia mengeong di depan kamar mandi, agar aku membuka pintu kamar mandi. aku menunggunya selesai berurusan dengan lubang kloset lalu menyiramnya. kemudian Allie akan kembali berbaring manja di ujung kakiku. 

suatu hari, mamaku penasaran pada Allie. kubawa ia ke rumah mama. mama histeris melihat ukurannya. sampai-sampai mama bersembunyi di balik lemari karena ketakutan. "Itu bukan kucing, itu monster!". Aku menenangkan mama, pelan-pelan kuarahkan tangan mama mengelus kepala Allie. kucing itu perlahan memperlihatkan tatapan semestanya kepada mamaku. alhasil, beliau luluh. kutinggalkan Allie di rumah mama, hingga setahun kemudian.

itu karena keuanganku merosot drastis. aku tak lagi sanggup membelikannya 2 bungkus eureka setiap bulan. pikirku, rawfood nasi-ikan akan selalu ada di rumah mama. mama juga senang bersama Allie. kucing manis itu selalu menemaninya tidur. kata mama, tidur sama Allie enak. tubuhnya besar, seperti boneka. saat keuanganku sudah membaik, aku ingin merawat Allie kembali dan mama tidak rela. sebagai anak yang mencoba berbakti, sudahlah, kubiarkan Allie bersamanya. hitung-hitung sebagai pengganti anaknya yang jarang pulang ke rumah ini. Allie digantikan dua ekor kucing persian medium bernama Piki dan Wichi. bersama kucing manapun selalu membahagiakan.

sebulan terakhir ini, aku kembali tinggal di rumah mama. Piki & Wichi dicuri orang. aku membawa pulang seekor kucing domestic tabby lainnya bernama Pikkolo. Pikkolo dan Allie saling menyayangi. corak mantel mereka juga mirip, tampak seperti ibu dan anak. senang rasanya, dua kucing kesayangan tidak bermusuhan.

suatu malam, aku pulang kantor dan menemukan muntahan berwarna hitam. sebegitu lelahku, aku tak sanggup mencari tahu siapa pemilik muntahan itu. aku langsung tersungkur di kasur, tertidur bersama Pikkolo. tak kusadari kalau Allie ternyata tidak berada di sekitar. esoknya, mama menemukan Allie terbujur kaku di rooftop. 

mengubur Allie semacam aktifitas yang menguras emosi. aku ingin ia dikuburkan dengan layak ditempat yang baik. di tanah yang pasti selama 3 bulan tidak akan digali demi pembangunan dan semacamnya. aku ingin tubuhnya benar-benar habis terurai sebelum tanah tempatnya dikubur tersentuh manusia. tempat itu adalah sepetak tanah kosong di dalam lorong yang dijadikan tempat sampah oleh warga sekitar. di bawah hujan deras, aku menggali lubang yang cukup memuat tubuhnya yang besar. tetiba seorang warga mengusirku dari tempat itu dengan alasan aku hendak mengubur kesialan di sekitar rumahnya. dengan kesal aku mengangkat mayat kucing manisku ke dalam pelukanku. kubungkus kembali tubuhnya dengan kain putih dan kubawa mayat itu dengan sepeda motor.

aku menguburnya tepat di bawah pohon, di halaman warung kopi tempatku menuliskan kisah ini. pemilik warkop tidak melihatku melakukannya. aku ingin ada satu tempat yang dapat kukunjungi diam-diam, sekedar untuk merasakan kenanganku bersama Allie selama hampir 4 tahun. aku bersyukur pernah dipercaya Tuhan hidup bersama salah satu makhluknya yang hebat. kelak, kalau aku masuk surga, kupastikan berdoa pada Tuhan agar Allie dihidupkan kembali. akan kudoakan pula semoga ada catfood jenis eureka di surga. karena beberapa hari sebelum Allie pergi, aku sempat berkata padanya;

"Allie... doakan mama.. supaya banyak rejeki, supaya bisa belikan kamu sebungkus eureka kesukaanmu itu,..."
dua puluh dua desember dua puluh dua desember dua puluh dua desember dua puluh dua desember dua puluh dua desember dua puluh dua desember saya tidak suka ada dua puluh dua desember untuk mengingat ibu yang satu-satunya sepanjang masa


karena manusia mengandalkan panca indera untuk membenarkan apapun, yang satu dan satu-satunya paling materialistik hanyalah ibu. tak mungkin ada seorang manusia yang lahir dari dua rahim. aku dapat melihat ibu memberiku kasih sayang tanpa pamrih. aku mendengar cara ibu menyayangiku dengan kata-katanya. aku dapat menyentuh kulitnya yang berkerut seiring bertambah usianya. aku dapat mencecap setiap masakan dan minuman yang dibuatnya gratis untukku. dan aku dapat meneri maaroma apapun yang tercium dari tangannya saat sungkem. maka ibu adalah kebenaran. 

untuk kebenaran yang senyata ibu, perlakuan spesial baginya tak cukup dilakukan pada satu hari tertentu. dua puluh dua desember hanyalah tanggal, satu hari dari 365 hari dalam setahun. aku lebih senang berasumsi bahwa dari 365 hari itu, hanya pada dua puluh dua desember aku sengaja lupa untuk memberinya ucapan selamat hari ibu. karena dalam hidupku, selalu ada satu hal yang mainstream. misalnya tidak mencintai ibu pada tanggal dua puluh dua desember. 

ibuku bukan ibu orang lain. ibuku satu-satunya dan kuingat beliau setiap detik. ibuku mainstream bagiku. ibuku mewariskan semua ciri fisik dirinya kepadaku, itulah mengapa dia begitu mainstream. ibu mengajarku mencintai kucing dan tumbuhan. cara hidupnya ada dalam diriku, makanya dia mainstream bagiku. ibuku sama dengan diriku. mengapa perlu hari khusus untuk mengingat mengingat kebenaran yang nyata?


Manusia memang makhluk yang sempurna. Dikatakan dalam kitab-kitab Samawi – saya tidak menyebutkannya karena alasan keliman -, bahwa Tuhan menciptakan satu sifat dalam diri manusia yang tidak dimiliki makhluknya yang lain: kebebasan. Pembuktian ilmiah, secara psikologis, manusia memang memiliki kehendak. Selalu ada kehendak bebas dalam diri manusia untuk memilih. Pilihan paling pertama adalah hidup atau mati. Yang memilih hidup tentulah sekarang sedang bekerja dan mempertahankan asupan gizi bagi dirinya sendiri, yang memilih mati, entah dia yang bunuh diri atau dia yang menyengsarakan diri sebelum mati.


Para manusia yang berkehendak untuk mempertahankan diri kemudian dihadapkan pada pilihan-pilihan turunan, yang lebih kompleks. Dalam proses  pembentukan karakter pribadi, seseorang selalu memiliki pilihan. Pakaian sederhana atau pakaian mewah. Makanan mahal atau makanan yang murah. Bersekolah atau tidak. Memimpin atau dipimpin. Yin atau yang.

Secara pribadi, manusia memiliki kehendak untuk menjadi si protagonis atau si antagonis. Mudah saja. Pilihan terus dibuat lurus dengan cara lebih sering mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan orang banyak. Orang-orang tipe ini adalah mereka yang tampak seperti pecundang. Berkali-kali disebut bodoh karena memikirkan orang lain cenderung berakhir pada kondisi menyakiti diri sendiri. Kebalikannya, mementingkan kebutuhan pribadi melahirkan konsekuensi kerusakan bagi pihak-pihak lain. Dan secara social, tindakan ini disepakati menjadi sebuah kesalahan beretika. Pelakunyalah yang antagonis itu.
Dalam konteksi bertahan hidup, setiap hari, manusia memiliki banyak pilihan. Kadang menjadi protagonis, kadang menjadi si antagonis. Kadang-kadang pula, demi hasil terbaik, seseorang harus melakoni kedua peran ini. Membuatnya disebut si muka dua. Mungkin tak masalah bermuka dua jika sebenarnya sedang memperjuangkan kepentingan orang banyak.

Saya berkali-kali harus melakukan tindakan ini. Berpura A di sini dan berpura B di sana. Lantas siapakah diri saya? Saya adalah manusia berwajah seribu. Berat menjadi seorang manusia yang memiliki kesensitifan tinggi pada sekitarnya. Mungkin ini sebuah berkah. Saya dan kamu diberi kemampuan memahami situasi lebih cepat dan lebih detail dari orang lain. Dalam sebuah kerja tim, tipe manusia seperti ini adalah si pemimpin.

Sekali waktu, saya akan tampak sangat polos. Mempertanyakan banyak hal, tersenyum pada apapun dengan tingkah yang membuat orang lain tak mencurigai motif asli saya. Dalam kesempatan lain, saya akan bertindak sebagai orang yang paling sok tahu, cenderung tegas, dan kasar. Lain kesempatannya lagi, saya berperangai berada di antaranya, berarti tidak memedulikan apapun. Mengedepankan apatisme.

Sikap ini lah yang disebut “pandai membawa diri”, memiliki pembawaan yang baik. Namun pembawan diri yang baik sekedar untuk tujuan kesuksesan bersosial agaknya kurang pantas terus dipertahankan. Setidak-tidaknya, sikap ini dapat membuat kita bosan. Saya bisa saja menjadi anak manis, yang patuh, lurus, dan tidak berambisi apapun. Tidak juga memerintah. Tidak juga memimpin banyak orang melakukan sesuatu. Saya bisa saja membuat segalanya tidak bergantung kepada saya. Dan saya tidak bergantung kepada apapun.

Namun, apakah itu kemudian menjadi pilihan yang pantas bagi kita yang diberkahi kemampuan untuk membaca urgensi social lebih dari orang lain? Ketika saya memilih menjadi antagonis, saya mungkin dapat dengan mudah memanipulasi sekitar demi kepentingan saya sendiri. Pilihan lain, saya dapat memanfaatkannya untuk melakukan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan bagi kemaslahatan seluruh makhluk hidup.

Namun, di saat-saat sacral, pertanyaan ini biasaya muncul tiba-tiba. Apakah saya dan kamu yang merasakan hal yang sama untuk berkehendak menjadi pahwalan? Benarkah? Ataukah kita hanya sedang menerima apa yang disebut kodrat dan menjalankan tugas kita?

Renungkanlah kembali siapa dirimu sebernarnya, mengapa kamu diciptakan, apa fungsi dirimu bagi dunia ini. Pertanyakan mengapa kamu terlahir belakangan, mengapa kamu anak kesekian dari sekian bersaudara, renungkan mengapa kamu lahir dari rahim yang itu, renungkan mengapa jalan hidupmu berada dalam jalur yang sekarang?

Tidakkah semua jawaban itu memberimu kepada satu kesimpulan: kedirianku. Kedirian dan fungsinya di muka bumi. Setidaknya dalam satu kelompok manusia terkecil, ada 5 karakter manusia yang berbeda-beda. Dari 5 itu jika terintegrasi akan membentuk satu tim kokoh untuk melakukan sebuah perubahan. Tentu saja, ada pemimpin di antara mereka. Bukan dia yang yang memproklamirkan diri atau semata didukung oleh ketinggian derajat keturunannya, tetapi dia yang mampu menyatukan suara yang berbeda-beda dalam kelompok tersebut. Tanyakan pada dirimu, apakah kamu sang alfa atau bukan?

Jangan takut menjadi alfa. Alfa adalah api. Adalah pengobar semangat. Adalah dia yang menjadi junjungan manusia lain. Juga menjadi yang bertanggung jawab atas segala tindakan baik dan buruk kawanannya. Alfa bukan si penyombong. Alfa justru merupakan si kambing hitam dalam rimba raya. Sementara kambing hitam yang sebenarnya adalah yang kau lindungi.


Yang imaginatif, murah, dan mudah dikreasikan adalah cita-cita. Saking mudahnya, aku tak ingin membuang-buang waktu melamukan cita-cita yang sederhana. Saat masih mengenakan rok merah, aku bercita-cita ingin memiliki satu ruangan yang dipenuhi rak buku, disesaki majalah anak-anak, komik, buku-buku cerita, dan ensiklopedia. 

Rok sekolahku berganti warna jadi biru, aku bercita-cita meninggalkan rumah dan memulai petualangan sendiri. Petualangan dari kota ke desa. Perjalanan yang seru, bertemu orang banyak, bermain, berbagi kegemaran dan lagu-lagu kesukaan.

Lalu sebagai pemakai rok abu-abu, aku bercita-cita ingin membuat banyak film. Documenter atau film cerita. Saat itu aku tak pernah memikirkan dari mana semua kelengkapan bikin film berasal, yang penting aku membuatnya, yang banyak.

Kini, di usia 25 tahun, baru kusadari, setelah mencuri waktu untuk mengenang masa lalu, ternyata aku telah mewujudkan semuanya. Sekali dalam hidupku. Walaupun banyak yang tidak dapat kupelihara dengan baik. Aku pernah memiliki ruangan dengan buku-buku yang banyak. Ukurannya kecil, tidak seperti perpustakaan wilayah yang sering kukunjungi dahulu. Hanya satu ruangan bermain tiga kali tiga meter. Majalah, komik, aneka buku, ensiklopedia, dan kamus-kamus, mereka menumpuk karuan di atas terpal. Begitu adanya karena aku selalu jatuh tertidur sambil membaca.

Cita-cita berpetualang, sebenarnya tidak betul-betul meninggalkan rumah. Aku hanya berkeliling kota, ke mana saja yang kuinginkan dengan sepeda motor. Ke pantai, ke hutan, ke kedai-kedai, ke tempat nongkrong, ke pinggiran kanal, ke mana saja. Dan aku akan kembali ke rumah sebelum maghrib. Di rumah, dengan buku, computer, atau khayalanku sendiri, aku melanjutkan perjalanan itu. Kadang-kadang, aku tak ingin melupakan banyak rincian, aku menuliskannya.

Perkara membuat film, kalau kuhitung-hitung (dibuat bersama orang lain, membuatkan film orang, dan film sendiri), hitungan jari tangan sudah tak cukup lagi. Bahkan aku masih belum puas. Mungkin takkan pernah puas dengan semua produksi itu.



Mana dari semua cita-cita yang berhasil kugapai akhirnya kutinggalkan? Tidak satu pun. Sebab mereka ternyata saling berkaitan. Saling menghidupi. Dengan bacaan aku menghasilkan banyak ide. Kemudian untuk menguji ide-ide, aku bertualang. sepanjang bertualang, kepalaku terus-terusan memikirkan gagasan-gagasan visual. Ternyata, mereka adalah keluarga besar yang kutemukan satu-persatu. Dengan keluarga inilah aku memutuskan untuk terus menyambung tali silaturahmi. Membaca terus sampai bodoh, bertualang terus sampai lumpuh, berkreasi terus sampai mati.