Baik dari adat keluarga maupun adat agama, aku tidak pernah diajarkan untuk merayakan hari kelahiranku. Ayahku lebih senang merayakan prestasi atau pencapaian, seperti semasa kecilku dahulu. Aku baru dapat hadiah mainan kalau juara satu di kelas atau memenangkan lomba. Setiap 18 November, ayahku hanya memintaku shalat yang panjang dan lama untuk berdoa dan meminta ampunan dari Karaeng Allah Ta'ala. 

Pernah suatu waktu, teman-temaku memberi kejutan kue berlilin dan beberapa kado. Tak tahu apa yang harus kulakukan pada kue berlilin itu, jadi kutiup sekenanya kemudian membuka kado. Bukannya tak bersyukur, tetapi teman-temanku memberi hadiah yang sama sekali tidak kubutuhkan. Perayaan yang sia-sia, bukan?

Kusembunyikan hari kelahiranku kemarin, dari kawan-kawanku yang sekarang sebab aku tak ingin mereka kecewa dengan ketidaktahuanku pada perayaan seperti itu. Apalagi jika ada yang memberi kado berisi benda-benda yang tidak aku butuhkan. Senyumku pastinya akan palsu. Namun, iya tetap dalam hatiku ada seseorang yang berpikiran esensial, yang dapat melihat hari kelahiran sebagai sebuah ajang memberi yang berfaedah dan kesempatan membuktikan rasa cinta kepadaku.

Aku yakin mereka akan menunjukkannya, mereka orang-orang yang baik. Selain menghindari posibilitas kejadian fales di atas, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama mereka, tanpa mereka sadari, tanpa merasa terpaksa harus berada di sekitarku. Dan begitulah, sejauh ini di 2018 lah kurasakan menghidupi hari kelahiran yang paling hangat seumur hidupku. Semua teman terbaikku kumpul bersama di satu meja, bermain kartu joker dan berbego-bego ria merah kembali muncul di langit.

Terima kasih, wahai Tuhanku.
Engkau Maha Penyanyang.

Menurut KBBI, Etika diartikan sebagai sebuah bidang ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta hak dan kewajiban moral (akhlak). Menurut Brooks, Etika merupakan cabang ilmu filsafat yang menyelidiki penilaian normatif terhadap benar atau apa yang seharusnya dilakukan. Etika berlaku kapanpun, baik dalam pergaulan maupun saat seseorang menyendiri. Etika inilah yang dapat diasosiasikan dengan behavior atau kebiasaan. Etika memandang manusia pada batinnya (jiwanya). Sehingga Etika tidak dapat disamakan dengan attitude, tetapi lebih kepada behavior. Dari sudut pandang psikologi, behavior atau kebiasaan merupakan rutinitas yang dilakukan secara otomatis, seringkali di alam bawah sadar, atau spontanitas.

Sementara itu, ada istilah lain yang lebih tepat ditujukan kepada perilaku yang diputuskan oleh alam sadar manusia, yaitu etiket atau etiquette dalam bahasa Prancis. Di mana etiket diatur oleh norma-norma sosial tempat seorang individu berasal. Menurut KBBI, Etiket adalah tata cara (adat) yang dilakukan dalam rangka menjaga hubungan baik sesama manusia. Contoh etiket adalah gestur menunjukkan jempol yang di Indonesia dianggap positif, tetapi ada negara yang menilainya kurang ajar atau negatif. Berbeda dengan Etika, Etiket hanya berlaku dalam tataran pergaulan saja. Apabila individu sedang tidak bersama rekannya, maka dia bebas dari aturan etiket. Etiket memandang individu dari segi luarnya saja, tidak mempedulikan aspek batiniah individunya. Etiket ini sangat relatif.

Etika adalah cerminan jiwa seseorang, berbeda dengan Etiket yang belum tentu merupakan cerminan jiwa. Seringkali kita tertipu oleh etiket seseorang yang terkesan baik. Khususnya dalam hal berbicara, kedengarannya baik dan santun. Perihal survival, mengetahui motif seseorang di balik etiket yang baik sangatlah perlu. Tidak jarang kita menemukan etiket manis yang membungkus etika buruk. Contohnya, pidato Prabowo yang berbunyi, “Ga papa mencuri, asalkan santun”. Kalimat tersebut sangat kontradiktif. Kalimat pertama merupakan cerminan etika yang buruk, sementara kalimat kedua adalah cerminan etiket yang baik.

Kesantunan seseorang dapat menjadi pertanyaan besar, apabila di lain kesempatan kita menemukan seseorang tersebut ternyata beretika buruk (berniat buruk). Ingat, Etika bersifat batiniah, sementara etiket bersifat lahiriah. Ketidaksesuaian etika dan etiket melahirkan kepribadian yang tidak paripurna. Dalam istilah lain, disebut munafik (hipokrit). Lain di hati, lain di mulut. Lain di niat, lain di perbuatan.

Adalah suatu gejala yang saya alami di lingkungan sekitar saya, kebanyakan menyamakan etika dan etiket ke dalam istilah attitude. Attitude. Kata ini identik dengan ranah profesionalitas kerja, khususnya dalam pergaulan para pelaku seni. Sedikit-sedikit, seorang pelaku dinilai dari attitude-nya. ‘attitude’ adalah kosa kata bahasa Inggris yang padanan katanya dalam bahasa Indonesia adalah ‘perilaku’. Menurut Kendra Cherry di verywellmind.com, sebuah situs ilmu psikologi, “An attitude refers to a set of emotions, beliefs, and behaviors toward a particular object, person, thing, or event. Attitudes are often the result of experiecnce or upbringing, and they can have a powerful influence over behavior”, di mana maksudnya kurang lebih seperti berikut, “Perlaku merujuk pada rangkaian emosi, keyakinan, dan kebiasaan (seseorang) terhadap objek tertentu, misalkan benda atau kejadian. Emotions dan beliefs merupakan dua aspek batiniah. Berarti attitude lebih pas jika diasosiasikan dengan “etika”.

Gejalanya, apabila seorang individu mengeluarkan kata-kata kasar dalam sebuah percakapan, atau secara spontan mengeluarkan kata kasar, individu tersebut dituduh tidak ber-attitude baik. Sebuah tuduhan yang tidak sesuai, sebab kata-kata adalah urusan etiket, urusan lahiriah, dan belum tentu sama dengan urusan batin atau etikanya. Kembali kepada definisi menurut Kendra Cherry, attitude merupakan hasil dari pengalaman individu dan berpengaruh besar kepada kebiasaannya. Dalam artian, attitude merupakan reaksi individu atas lingkungannya. Bila perilaku awal seseorang kepada individu tersebut disebut aksi, maka attitude adalah reaksi. Tidak tepat kemudian bila tutur kata yang spontan serta-merta dihubungkan dengan isi batin yang buruk. Boleh jadi, reaksi tersebut adalah sikap defensif. Boleh jadi reaksi tersebut merupakan buah dari etika buruk kita kepadanya.

Dengan demikian, dalam hal menyikapi sikap buruk seseorang, kita lebih baik refleksi dahulu. Mengapa etiketnya kurang baik, apakah itu berhubungan dengan etikanya, apakah etika tersebut adalah reaksi dari etikaku? Berpikir sebelum judging. Value sebuah etika itu tidak dapat diukur oleh etiket belaka, etika harus dilihat secara menyeluruh, melihat pola pikir individu, melihat pengalamannya, melihat prinsip-pripsipnya. Jangan sampai kita pernah tertipu oleh etika buruk yang berbalut etiket manis. Jangan sampai, di sekitar kita lebih banyak orang-orang yang tidak sinkron antara etika dan etiketnya. Boleh jadi, mereka yang gagap etiket sebenarnya memiliki etika yang baik. Kita perlu pandai menilai individu yang fake dan individu yang genuine.

Psychology Today memberikan ciri-ciri genuine people sebagai berikut;
  • 1.  Genuine people tidak malu mengutarakan opininya, entah itu benar atau salah dan mereka tidak membutuhkan dukungan atas opini tersebut. Mereka mengatakan kebenaran, memberitahukan kejujuran, tanpa peduli respon di sekitarnya.
  • 2. Genuine people lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengeksplorasi keyakinan, idealisme, dan ekspektasi, ketimbang memikirkan hasil-hasil yang materialistis. Pemikiran mereka substansial, lebih kepada basic atau pondasi ketimbang hal-hal yang bersifat sensasional.
  • 3. Genuine people tidak takut kepada kegagalan. Kegagalan dianggapnya sebagai bagian dari perjalanan menuju keberhasilan.
  • 4. Genuine people berani mengakui kesalahannya dan belajar darinya. Lebih jauh, apabila bersalah, mereka akan bertanggung jawab atas kesalahan tersebut.
  • 5. Genuine people tidak judgmental. Mereka menerima perbedaan rasial, latar belakang, hingga karakteristik. Jarang sekali orang-orang genuine ini dapat bersikap rasis.  Mereka dapat berteman dengan siapapun, kaya atau miskin, tampan atau jelek, dan sebagainya.
  • 6. Genuine people memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Ini adalah result dari kombinasi karakteristik di atas: jujur, subtantif, tidak takut gagal, berani mengakui kesalahan, dan tidak judgmental. Mereka tidak menemukan adanya kekeliruan dalam etika atau batin mereka. Sebab jujur, subtantif, berani dan terbuka adalah hal-hal yang positif.
Sebagai hasilnya, berada di antara orang-orang beretika baik (genuine people) dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Etika inilah yang ditanamkan dalam berbagai budaya kuno di dunia, dalam berbagai ajaran agama agar menjadi kebiasaan. Itulah mengapa sering kita mendengar istilah, “Kita dapat percaya kepada orang-orang yang beretika baik,”, sekali lagi berarti percaya kepada orang-orang yang berniat baik. Bagaimana menilai individu yang beretika baik? Yaitu dengan melihat ciri-ciri genuine di atas. Bila sinkron buah pikir dan perilakunya, itulah yang disebut individu beretika baik. Bila tidak senang kepada sesuatu, dia akan jujur mengatakannya. Bila senang, dia akan memuji. Orang-orang yang beretika baik penuh tanggung jawab dan berpikir subtantif, mereka juga berani dan penuh kepercayaan diri. 



Beberapa tahun silam, tanpa peralatan yang memadai, tanpa pelatihan khusus, bahkan dana yang cukup, saya dan teman-teman yang memiliki minat kuat pada perfilman berkumpul dalam komunitas bernama Findie Makassar. Kami bukan dari lembaga kursus perfilman, studi ilmu komunikasi, atau kampus yang mengajarkan film dan pertelevisian. Kami hanyalah penikmat film yang penasaran bagaimana cara berkarya melalui media audio-visual. Saya dan almarhum teman saya belajar sastra asing, seorang lagi adalah mahasiswa teknik elektro, dan dua orang merupakan arsitek, kami memanfaatkan hasil pembelajaran dari studi masing-masing untuk diterapkan dalam membuat film. Semangat yang besar menjadikan Findie Makassar sebagai komunitas sederhana dengan pintu yang terbuka luas untuk siapapun. Dalam tahun-tahun aktif kami, Findie Makassar menjadi komunitas film-enthuasiast yang ramah, toleran, dan fleksibel di kota Daeng.