Kucing Hitam si Bung

model: Olong the Cat. Photo by admin

Tuanku, si Bung itu laki-laki bertubuh besar dan bersuara lantang. wajahnya tegas, namun teduh pada semburat senja dan lurik langit pagi. Ia melangkah dalam rima yang bijak. Ia berbicara dengan nada lagu-lagu Bond, tidak terlalu cepat dan berdiksi terpilih. Kepadaku, tuanku berbicara lemah dan lembut. Tuan pria tua yang rapih. Ia selalu mengenakan setelan kain yang habis disetrika dan wangi. Sepatunya pun selalu mengilat. Peci hitam dikenakannya setiap saat, baru saat mau tidur dan mandi ia lepaskan.

Aku menjadi bagian keluarganya lewat pintu dapur. Saat itu, pintu dapur terbuka setengah, karena wangi ikan goreng, aku yang sedang berjalan-jalan di pekarangannya tertuntun memasuki pintu. Tuan membiarkanku masuk pintu, mendekati piring berisi ikan-ikan habis digoreng, namun melarangku menyentuhnya. Ia memilih sepotong ikan yang paling besar, meletakkannya di atas piring kecil, lalu menyodorkannya padaku. Aku menikmatinya sambil dielus-elus jemarinya yang besar-besar.

Sebagai seekor kucing dengan bulu-bulu yang tidak menenggelamkan jemari, kehadiranku tidak berpengaruh banyak di sini. Misalkan Pusi, kucing si jenderal, ketika ia tidak sengaja dibawa ke mari oleh anaknya – saat itu, anak jenderal ikut ayahnya ke mari, singgah sebentar sebelum dibawa ke dokter hewan-, Pusi bercerita kadang-kadang jenderal menangis di hadapan pusi, bercerita betapa rendah dia di mata tuan Bung saat membahas masalah penting. Tuan Bung dan aku tidak pernah terlibat dalam suasana meluap-luap begitu, paling-paling ia melihatku melintas dari dapur ke ruang tengah, mengelusku jika sempat, dan tidak ada lagi kejadian setelahnya.

Pusi melanjutkan cerita, pernah jenderal terlambat ke lokasi penting lantaran belum selesai menyisirnya. Pusi senang memiliki pengaruh sebesar itu pada manusia penting. Ah, dia kucing sok. Disangka bulu tebalnya dapat menyelamatkan jabatan tuan jenderal. Jenderal cengeng itu dipecat tuan Bung kemarin pagi karena terlambat tugas atas alasan yang tidak ada hubungannya dengan urusan negara. Selanjutnya, aku tidak pernah bertemu Pusi lagi. Semoga dia masih dapat mengeluarkan bola bulu dalam perutnya.

Itu dia tuanku Bung, dia berlajan ke arahku. Dia meletakkan peci hitam di atas meja, masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya dengan air. Ini kesempatanku. Tidak ada orang lain di antara kami, aku akan menunjukkan diri padanya, untuk mengucapkan, “Aku bersamamu, tuanku,”. Tuan Bung keluar kamar mandi, ia terpaku melihat tubuhku yang hitam dan mataku yang kuning kemerahan. Pupilku membesar tiba-tiba karena tuan berdiri membelakangi jendela.

Tuan berlutut, membuat jarak yang lebih dekat padaku. Ia menyodorkan tangannya, langsung saja kusodorkan hidungku pada jari tengahnya yang gemuk dan tegas bercincin giok. Tuan Bung tidak canggung padaku, dahi dan punggung telingaku diusapnya lembut. Permukaan tangan bung agak kasar. Wangi tembakau dan bau badan manusia tua menyebar. “Meong”, sapaku.

Tuan tersenyum. Kemudian berlalu ke mushallah, tempat ia biasa menyembah tuhan yang kusembah pula. Caraku menyembah tuhan yang itu tidak dengan gerakan naik-turun. Aku menyembahnya dengan menatap langit dalam-dalam, seperti ingin kuterbang padanya. Aku duduk di sisi karpet sembahyang tuan Bung sampai ia selesai mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah, dan kuikuti ia menuju kamar tidur. Kurasa tuan akan beristirahat siang sejenak. Tuan bangun dua jam kemudian, itu kebiasaannya. Manusia dewasa tidur siang tidak selama kaumku. Kami sanggup tidur beberapa kali dalam sehari karena bergerak seperti ini sangat melelahkan. Apalagi, rumah tuan sangat luas dan penuh ruangan.

Tempat tinggal kami lengang. Anak-anak Tuan belum kembali dari sekolah. Istri Tuan Bung ada di halaman belakang, menyulam taplak meja. sementara, di ruang depan yang lapang, menumpuk beberapa rekan tuan, bercakap-cakap, serius dan berat. Tuan sembahyang pelan-pelan. Aku menantinya di atas sofa, menikmati tiap gerakannya.

Lanang beringsuk masuk lewat fentilasi, kemudian bertolak ke atas meja dari lemari, untuk bertengger dan memulai percakapan khas bangsa kami.
“Ada makanan sisakah di rumahmu?” Lanang menjilati kuku kelimanya.
“Rasanya tidak mau makan siang, rasanya mataku berat sekali,”
“Mewowowong... mewowowong... kamu sok seperti tuanmu,” Lanang menatapku sinis. Dia kucing kampung belang dua, hitam dan cokelat. Liar, tanpa majikan. Lanang iri pada kami, kucing-kucing kampung yang tidak sengaja diadopsi saat mengendap-endap di dapur.

“Meong!” Lanang mencoba menerkamku. Aku menghindar dan bersembunyi di sisi sajadah Tuan. Tuan menengadahkan kedua tangannya. Daging-daging di wajahnya merunduk, tetapi sepasang mata yang teduh itu menatap tajam ke sesuatu di atas sana. Aku dan Lanang beradu meongan, bulu-bulu kami merinding. “Kucakar tuanmu!” ancamnya. “Tuanku tidak bersalah apapun padamu,” aku mendesis.

“Dia ini sangat sombong, tidak pernah memberiku makanan, mengelus pun tidak pernah,”
“Tuan sedang berdiskusi bersama Tuhan. Tidakkah kau takut?”
Istri tuan berhambur masuk ke ruangan. Ada semesta gelap pada bias wajahnya. Aku dan Lanang mencari tempat sembunyi di bawah meja dan kursi. Tuan mengusap kedua tangannya dengan ketenangan. Majikan perempuanku membawa kabar bahwa jenderal-jenderal masih menunggu di teras. Tuan duduk di di atasku, istrinya gelisah.

“Aku sedang memikirkan kebajikan-kebajikan bagi semua orang di Sabang yang sama baiknya bagi orang-orang Dani. Fatma, menurutmu apa yang harus aku lakukan?” kata Tuan. Istrinya terisak. Lanang diam-diam meninggalkan kami. Aku membiarkannya dan berusaha memahami percakapan tuan dan istrinya.

Kami, bangsa kucing, tidak diberi kemampuan untuk memahami banyak hal seperti manusia. Kami mengenal manusia dari apa yang mereka lakukan di sekitar kami. Dengan alasan ini, tentu Pusi memiliki wawasan yang lebih luas, karena dia selalu diajak tuannya bepergian dengan kandang khusus. Aku hanya kucing kampung rumahan, bulu-buluku pendek dan selalu rontok. Aku bermain paling jauh ke pekarangan tetangga.

Tuan berpelukan dengan istrinya. Usia mereka sepertinya terpaut jauh. Istrinya masih muda. Aku melihatnya seperti kucing baru berumur delapan bulan, di dunia kucing itu seperti manusia berusia 20 tahunan. Walau masih muda, sepertinya istri tuan pandai dan dapat memberi nasihat yang baik. Menurutku, entah apa pekerjaan tuan, yang kupahami sekarang, jika berbicara tentang kebutuhan banyak orang, tentulah tuan seseorang yang sangat penting dan berpengaruh.

Aku beranjak menuju teras, barangkali ada yang dapat kulakukan selain membuka pupil mata lebar-lebar. Di teras, tiga pria berpakaian rapih duduk saling berhadapan. Wajah mereka serius dan tegang. Salah seorang di antaranya memegang map di atas meja. Ia menggerak-gerakkan jemarinya, telunjuk-jari manis-jari tengah, telunjuk-jari manis-jari tengah. Yang lain mengepulkan asap tembakau kencang-kencang, sampai mungkin rasa tembakau itu menjadi tidak penting lagi. Satunya lagi, tidak betah duduk berlama-lama, ia mondar-mandir, kemudian duduk lagi, begitu seterusnya sampai tuan keluar rumah dan duduk di satu-satunya kursi yang kosong.

Aku melangkah ke bawah meja, tepat di sisi kaki tuan. Aku bermanja-manja sebentar di kakinya, menggosokkan tubuhku lalu duduk. Tuan sempat menoleh kepadaku, tetapi air mukanya datar. Posisi kaki ketiga tamu tuan tidak santai. Kedua kaki mereka lurus ke depan. Sementara kaki tuan terbuka agak lebar. Tidak ada percakapan di antara mereka dalam waktu yang cukup panjang. Aku penasaran, apa yang terjadi di atas meja. Namun apa boleh buat, aku hanyalah seekor kucing, yang dapat melihat permukaan meja dari tempat tinggi saja.

Kulihat istri tuan mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka. Ia meletakkan kedua tangannya di depan dada, matanya yang tampak sebelah saja tidak berkedip menatap tuan. Siapa menunggu siapa, untuk apa menunggu, batinku.

Ada bau ganjil yang menyeruak, entah dibawa angin ataukah baru dibuat. Bau itu pahit, menusuk, bikin mual. Bau... bau yang muncul saat tuan membakar sebuah cerutu atau rokok gulungan dengan korek api. Bau bakar. Siapa yang membakar, apa yang membakar. Istri tuan, di balik pintu tampak kaget, kedua bola matanya membesar. Jelas itu bukan ekspresi minta dielus.

Bunyi antukan jemari dan meja semakin cepat dan jelas terdengar. Aku tidak duduk lagi. Telingaku menunjuk ke belakang semakin kencang. Bau itu semakin tajam. Sebuah benda cukup berat diletakkan pelan-pelan di atas meja. Benda itu mungkin penyebab bau bakar ini. Kedua kaki tuan bergeser, mempersempit jarak. Duduknya menegap lebih. Aku mendengar suara bolpoin menggesek secarik kertas dengan lambat. Begitu suara bolpoin itu berhenti, ketia tamu tuan segera pergi dengan mobil berwarna hitam yang diparkir di luar pekarangan. Tuan pun beranjak memasuki rumah, aku mengikutinya.


Tuan dicegat istrinya di depan pintu dengan pelukan. Istrinya menangis, tubuhnya bergetar. Tuan tidak membalas pelukan itu, ia malah meraihku ke pelukannya, aku dibawanya ke mushallah. Ia meletakkanku di atas kursi sebelum tuan menggelar kembali sajadahnya. Aku turun dari kursi, duduk di atas sajadah, di bagian yang nantinya akan tuan cium dan membasahinya dengan air mata, dan membisikinya dengan isakan.