Tuanku, si Bung itu laki-laki bertubuh besar dan bersuara
lantang. wajahnya tegas, namun teduh pada semburat senja dan lurik langit pagi.
Ia melangkah dalam rima yang bijak. Ia berbicara dengan nada lagu-lagu Bond,
tidak terlalu cepat dan berdiksi terpilih. Kepadaku, tuanku berbicara lemah dan
lembut. Tuan pria tua yang rapih. Ia selalu mengenakan setelan kain yang habis
disetrika dan wangi. Sepatunya pun selalu mengilat. Peci hitam dikenakannya
setiap saat, baru saat mau tidur dan mandi ia lepaskan.
Aku menjadi bagian keluarganya lewat pintu dapur. Saat itu,
pintu dapur terbuka setengah, karena wangi ikan goreng, aku yang sedang
berjalan-jalan di pekarangannya tertuntun memasuki pintu. Tuan membiarkanku
masuk pintu, mendekati piring berisi ikan-ikan habis digoreng, namun melarangku
menyentuhnya. Ia memilih sepotong ikan yang paling besar, meletakkannya di atas
piring kecil, lalu menyodorkannya padaku. Aku menikmatinya sambil dielus-elus
jemarinya yang besar-besar.
Sebagai seekor kucing dengan bulu-bulu yang tidak
menenggelamkan jemari, kehadiranku tidak berpengaruh banyak di sini. Misalkan
Pusi, kucing si jenderal, ketika ia tidak sengaja dibawa ke mari oleh anaknya –
saat itu, anak jenderal ikut ayahnya ke mari, singgah sebentar sebelum dibawa
ke dokter hewan-, Pusi bercerita kadang-kadang jenderal menangis di hadapan
pusi, bercerita betapa rendah dia di mata tuan Bung saat membahas masalah
penting. Tuan Bung dan aku tidak pernah terlibat dalam suasana meluap-luap begitu,
paling-paling ia melihatku melintas dari dapur ke ruang tengah, mengelusku jika
sempat, dan tidak ada lagi kejadian setelahnya.
Pusi melanjutkan cerita, pernah jenderal terlambat ke lokasi
penting lantaran belum selesai menyisirnya. Pusi senang memiliki pengaruh
sebesar itu pada manusia penting. Ah, dia kucing sok. Disangka bulu tebalnya dapat
menyelamatkan jabatan tuan jenderal. Jenderal cengeng itu dipecat tuan Bung
kemarin pagi karena terlambat tugas atas alasan yang tidak ada hubungannya
dengan urusan negara. Selanjutnya, aku tidak pernah bertemu Pusi lagi. Semoga
dia masih dapat mengeluarkan bola bulu dalam perutnya.
Itu dia tuanku Bung, dia berlajan ke arahku. Dia meletakkan
peci hitam di atas meja, masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya dengan air.
Ini kesempatanku. Tidak ada orang lain di antara kami, aku akan menunjukkan
diri padanya, untuk mengucapkan, “Aku bersamamu, tuanku,”. Tuan Bung keluar
kamar mandi, ia terpaku melihat tubuhku yang hitam dan mataku yang kuning
kemerahan. Pupilku membesar tiba-tiba karena tuan berdiri membelakangi jendela.
Tuan berlutut, membuat jarak yang lebih dekat padaku. Ia
menyodorkan tangannya, langsung saja kusodorkan hidungku pada jari tengahnya
yang gemuk dan tegas bercincin giok. Tuan Bung tidak canggung padaku, dahi dan
punggung telingaku diusapnya lembut. Permukaan tangan bung agak kasar. Wangi
tembakau dan bau badan manusia tua menyebar. “Meong”, sapaku.
Tuan tersenyum. Kemudian berlalu ke mushallah, tempat ia
biasa menyembah tuhan yang kusembah pula. Caraku menyembah tuhan yang itu tidak
dengan gerakan naik-turun. Aku menyembahnya dengan menatap langit dalam-dalam,
seperti ingin kuterbang padanya. Aku duduk di sisi karpet sembahyang tuan Bung
sampai ia selesai mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah, dan kuikuti ia
menuju kamar tidur. Kurasa tuan akan beristirahat siang sejenak. Tuan bangun
dua jam kemudian, itu kebiasaannya. Manusia dewasa tidur siang tidak selama kaumku.
Kami sanggup tidur beberapa kali dalam sehari karena bergerak seperti ini
sangat melelahkan. Apalagi, rumah tuan sangat luas dan penuh ruangan.
Tempat tinggal kami lengang. Anak-anak Tuan belum kembali
dari sekolah. Istri Tuan Bung ada di halaman belakang, menyulam taplak meja.
sementara, di ruang depan yang lapang, menumpuk beberapa rekan tuan,
bercakap-cakap, serius dan berat. Tuan sembahyang pelan-pelan. Aku menantinya
di atas sofa, menikmati tiap gerakannya.
Lanang beringsuk masuk lewat fentilasi, kemudian bertolak ke
atas meja dari lemari, untuk bertengger dan memulai percakapan khas bangsa
kami.
“Ada makanan sisakah di rumahmu?” Lanang menjilati kuku
kelimanya.
“Rasanya tidak mau makan siang, rasanya mataku berat
sekali,”
“Mewowowong... mewowowong... kamu sok seperti tuanmu,”
Lanang menatapku sinis. Dia kucing kampung belang dua, hitam dan cokelat. Liar,
tanpa majikan. Lanang iri pada kami, kucing-kucing kampung yang tidak sengaja
diadopsi saat mengendap-endap di dapur.
“Meong!” Lanang mencoba menerkamku. Aku menghindar dan
bersembunyi di sisi sajadah Tuan. Tuan menengadahkan kedua tangannya.
Daging-daging di wajahnya merunduk, tetapi sepasang mata yang teduh itu menatap
tajam ke sesuatu di atas sana. Aku dan Lanang beradu meongan, bulu-bulu kami
merinding. “Kucakar tuanmu!” ancamnya. “Tuanku tidak bersalah apapun padamu,”
aku mendesis.
“Dia ini sangat sombong, tidak pernah memberiku makanan,
mengelus pun tidak pernah,”
“Tuan sedang berdiskusi bersama Tuhan. Tidakkah kau takut?”
Istri
tuan berhambur masuk ke ruangan. Ada semesta gelap pada bias wajahnya. Aku dan
Lanang mencari tempat sembunyi di bawah meja dan kursi. Tuan mengusap kedua
tangannya dengan ketenangan. Majikan perempuanku membawa kabar bahwa
jenderal-jenderal masih menunggu di teras. Tuan duduk di di atasku, istrinya
gelisah.
“Aku sedang memikirkan kebajikan-kebajikan bagi semua orang
di Sabang yang sama baiknya bagi orang-orang Dani. Fatma, menurutmu apa yang
harus aku lakukan?” kata Tuan. Istrinya terisak. Lanang diam-diam meninggalkan
kami. Aku membiarkannya dan berusaha memahami percakapan tuan dan istrinya.
Kami, bangsa kucing, tidak diberi kemampuan untuk memahami
banyak hal seperti manusia. Kami mengenal manusia dari apa yang mereka lakukan
di sekitar kami. Dengan alasan ini, tentu Pusi memiliki wawasan yang lebih
luas, karena dia selalu diajak tuannya bepergian dengan kandang khusus. Aku
hanya kucing kampung rumahan, bulu-buluku pendek dan selalu rontok. Aku bermain
paling jauh ke pekarangan tetangga.
Tuan berpelukan dengan istrinya. Usia mereka sepertinya
terpaut jauh. Istrinya masih muda. Aku melihatnya seperti kucing baru berumur
delapan bulan, di dunia kucing itu seperti manusia berusia 20 tahunan. Walau
masih muda, sepertinya istri tuan pandai dan dapat memberi nasihat yang baik.
Menurutku, entah apa pekerjaan tuan, yang kupahami sekarang, jika berbicara
tentang kebutuhan banyak orang, tentulah tuan seseorang yang sangat penting dan
berpengaruh.
Aku beranjak menuju teras, barangkali ada yang dapat
kulakukan selain membuka pupil mata lebar-lebar. Di teras, tiga pria berpakaian
rapih duduk saling berhadapan. Wajah mereka serius dan tegang. Salah seorang di
antaranya memegang map di atas meja. Ia menggerak-gerakkan jemarinya,
telunjuk-jari manis-jari tengah, telunjuk-jari manis-jari tengah. Yang lain
mengepulkan asap tembakau kencang-kencang, sampai mungkin rasa tembakau itu
menjadi tidak penting lagi. Satunya lagi, tidak betah duduk berlama-lama, ia
mondar-mandir, kemudian duduk lagi, begitu seterusnya sampai tuan keluar rumah
dan duduk di satu-satunya kursi yang kosong.
Aku melangkah ke bawah meja, tepat di sisi kaki tuan. Aku
bermanja-manja sebentar di kakinya, menggosokkan tubuhku lalu duduk. Tuan
sempat menoleh kepadaku, tetapi air mukanya datar. Posisi kaki ketiga tamu tuan
tidak santai. Kedua kaki mereka lurus ke depan. Sementara kaki tuan terbuka
agak lebar. Tidak ada percakapan di antara mereka dalam waktu yang cukup
panjang. Aku penasaran, apa yang terjadi di atas meja. Namun apa boleh buat,
aku hanyalah seekor kucing, yang dapat melihat permukaan meja dari tempat
tinggi saja.
Kulihat istri tuan mengintip di balik pintu yang sedikit
terbuka. Ia meletakkan kedua tangannya di depan dada, matanya yang tampak
sebelah saja tidak berkedip menatap tuan. Siapa menunggu siapa, untuk apa
menunggu, batinku.
Ada bau ganjil yang menyeruak, entah dibawa angin ataukah
baru dibuat. Bau itu pahit, menusuk, bikin mual. Bau... bau yang muncul saat
tuan membakar sebuah cerutu atau rokok gulungan dengan korek api. Bau bakar.
Siapa yang membakar, apa yang membakar. Istri tuan, di balik pintu tampak
kaget, kedua bola matanya membesar. Jelas itu bukan ekspresi minta dielus.
Bunyi antukan jemari dan meja semakin cepat dan jelas
terdengar. Aku tidak duduk lagi. Telingaku menunjuk ke belakang semakin
kencang. Bau itu semakin tajam. Sebuah benda cukup berat diletakkan pelan-pelan
di atas meja. Benda itu mungkin penyebab bau bakar ini. Kedua kaki tuan
bergeser, mempersempit jarak. Duduknya menegap lebih. Aku mendengar suara
bolpoin menggesek secarik kertas dengan lambat. Begitu suara bolpoin itu
berhenti, ketia tamu tuan segera pergi dengan mobil berwarna hitam yang
diparkir di luar pekarangan. Tuan pun beranjak memasuki rumah, aku
mengikutinya.
Tuan dicegat istrinya di depan pintu dengan pelukan.
Istrinya menangis, tubuhnya bergetar. Tuan tidak membalas pelukan itu, ia malah
meraihku ke pelukannya, aku dibawanya ke mushallah. Ia meletakkanku di atas
kursi sebelum tuan menggelar kembali sajadahnya. Aku turun dari kursi, duduk di
atas sajadah, di bagian yang nantinya akan tuan cium dan membasahinya dengan
air mata, dan membisikinya dengan isakan.