Aku akan menuliskan refleksi atas kejadian-kejadian yang aku alami selama satu tahun terakhir. Kejadian yang boleh jadi menebalkan karat dalam dadamu atau justru meluruhkannya.
Namun sebelum aku memulainya, aku ingin kamu memikirkan angka 1. Pada deret awal Fibonacci Sequence, ada angka 0 dan 1. Pilihlah angka 1 tanpa mengabaikan angka 0 sebelumnya. Dalam matematika dasar, jika kamu mengalikan angka berapapun dengan 1 maka hasılnya sesuai dengan angka tersebut. Tetapi jika kamu mengalikan angka berapapun dengan 0, maka hasılnya akan 0 atau sama dengan menjadi tiada. Sudah pahamkah? Baik, mari mendengarkan kisahku sembari memikirkan angka 1.
Dalam keseharian, saya yang memiliki banyak kekurangan ini menjalani kehidupan dengan angka 1. Hadiah, pertemuan, perpisahan, manusia, semuanya saya kalikan dengan angka 1.
Sepanjang 2021, dalam kesendirian atau kesatuan, saya menghabiskan 24 jam sehari dalam skema manipulasi seseorang yang mengkalikan manusia lain dengan angka 0. Dirinya saja yang 1, orang lain adalah 0. Dengan menjadi 1 yang satu-satunya, dia memaksakan orang lain untuk menghamba kepadanya. Tetapi dia tidak menyadari bahwa eksis seorang manusia, diriku, yang memikirkan angka 1 tanpa melupakan angka 0. Begitupula beberapa manusia lain di sekitarnya. Dalam 12 bulan yang dipenuhi keganjilan manipulasi itu, kami bertahan dan mempertahankannya dengan memikirkan angka 1 terhadap dirinya.
Kenyataan dalam pikirannya yang mengkalikan entitas lain dengan angka 0 membuat seteru akhirnya harus pecah. Perbedaan-perbedaan akhirnya berebut kekuasaan dan kalkulasi akhirpun keluar menjadi pemenang. Dia bernafas dengan fitnah-fitnah, kami bernafas dengan kasih-sayang. Orang kebanyakan membutuhkan kasih-sayang. Maka dia terpaksa pergi dalam kekalahan atas perang yang dimulainya sendiri. Dia berpikir kami sedang merayakan keterpurukannya, tetapi dia salah. Kami tidak pernah melihatnya dengan angka 0. Bagi kami, dia berhak menjadi angka 1 juga. Sama seperti entitas lain.
Apakah kamu kebingungan?
Baik, aku akan keluar dari frasa mengandung angka. Tetapi, tetaplah memikirkan angka 1.
Konsekuensi dari pemilik pengetahuan adalah mengamalkannya. Menjadikan pengetahuan itu sebagai dasar berbuat. Konsekuensi dari memiliki otak adalah memberdayakannya. Sesederhana mengolah suatu informasi terlebih dahulu sebelum mempercayainya. Konsekuensi dari memiliki peraÅŸaan adalah berempati kepada perasaan manusia lain. Sederhana, bukan?
Jika takdir hidupmu adalah kesepian, tidak wajib bagimu untuk membuat orang lain merasakannya juga. Belajarlah berterima akan garis hidupmu. Pelan-pelan kamu akan memahaminya, menerimanya, kemudian sulit bagimu untuk merelakan orang lain merasakan side effect dari takdirmu. Bahwasanya, berbagi kebaikan kepada orang lain sama dengan membahagiakan dirimu sendiri. Perlahan, kesepian itu keluar dari kosa katamu. Aneka senyum mewarnai hidupmu.
Hanya saja, terkadang kita dipertemukan dengan orang-orang kesepian yang menjalani kehidupan ini dengan angka 0, sehingga kasihmu berubah menjadi kisah hampa di dalam dirinya. Mereka mendapatkan ketiadaan, maka selalu merasa kehausan. Dehidrasi kasih. Berkali-kali saya mengasihi manusia lain, dan berkali-kalipun dia tidak menganggapnya. Apakah saya harus membalas? Tidak wajib bagiku untuk membuatnya merasakan hal yang sama. Beberapa orang melukai dirinya sendiri dan menyalahkan orang lain. Maka benarlah Seneca itu. Ekspektasi menyakiti. Kurangi itu, perbanyak akseptansi aja.
Setelah mewajibkan manusia lain menjadi pesakitan atas kesakitan yang kita rasakan, hadirlah hukum untuk mengingatkanmu bahwa itu perbuatan yang merusak. Tidak selalu keinginanmu yang diarahkan oleh nafsi-nafsumu harus mengada, apalagi tanpa kehadiran persetujuan pihak lain, apalagi dengan mengkali nol relasi mulia di antaranya.
Sampai di sini, apakah kamu masih memikirkan angka 1?
Mengapa 1? Karena Tuhan menginginkan kita memahaminya dengan angka 1.
Bahwa Dia ada. Al-Ahad. Bahwa Dia adalah kasih dan sayang. Basmalah.
0 comments:
Post a Comment