July 07, 2016
No Comment
July 06, 2016
No Comment
Redup dan lengang. Pertanda-pertanda
ada pada aspal. Pada lampu jalan dua kepala. Pada pangkuan lambai nyiur. Pada
rundukan miana. Asjir mengenakan jaket bertudung dancelana cutbrai
menghampiriku.
“Malik berkabar?” Asjir
bertanya sambil berdiri, matanya awas.“Itu dia!” aku menunjuk sisi toilet umum.
Malik berjalan terseok-seok ke arah kami. Cahaya layar ponsel menerangi
wajahnya dari bawah. Begitu tiba, bisik-bisik ia menjelaskan;
“Saya memancing dengan
hestek #makassartidakaman tadi malam, belum berapa menit, di linikala muncul hestek
#makassarharusaman. Situasi masih berada di luar kendali kita,”
“Siapa yang memulai
hestek itu?” Asjir bertanya sembari meletakkan pantatnya di sampingku. Malik
masih berdiri, menunduk, menghadap kami berdua. Dalam kegelapan, kulihat ia
menggaruk-garuk pantat.
“Entahlah, banyak yang
me-retweet dan tweet, saya tidak bisa melacak siapa yang pertama kali memulai. Sepertinya,
ada kelompok lain yang ingin ikutlakon kita.
“Ini sebuah pertanda,
kawan. Kita harus lanjut,” kataku, “Hei, hentikan garukanmu!”
“Tidak bisa, bro. Gatal
sekali di bawah sini. Kayaknyatumbuh bisul baru,”
“Awas kau salah pakai
kostumku, nanti aku bisa tertular penyakit jalananmu,” Asjir mendengus.
“Tenanglah. Bagaimana
pun situasinya, kita tetap menjalankan rencana awal. Persiapan kita sudah
matang. Dari awal, semua ini sudah kita ramal akan terjadi. Sebab dan akibat,
keduanya dapat diciptakan dan dihentikan,”
“Jadi kita lanjutkan?”
tanya Malik
“Di balik kebenaran
yang relatif, situasi ini justru membuka ruang bagi rencana kita,” jawabku. Malik
terus menggaruk, menuju bagian depan selangkangannya.