Redup dan lengang. Pertanda-pertanda ada pada aspal. Pada lampu jalan dua kepala. Pada pangkuan lambai nyiur. Pada rundukan miana. Asjir mengenakan jaket bertudung dancelana cutbrai menghampiriku.
“Malik berkabar?” Asjir bertanya sambil berdiri, matanya awas.“Itu dia!” aku menunjuk sisi toilet umum. Malik berjalan terseok-seok ke arah kami. Cahaya layar ponsel menerangi wajahnya dari bawah. Begitu tiba, bisik-bisik ia menjelaskan;
“Saya memancing dengan hestek #makassartidakaman tadi malam, belum berapa menit, di linikala muncul hestek #makassarharusaman. Situasi masih berada di luar kendali kita,”
“Siapa yang memulai hestek itu?” Asjir bertanya sembari meletakkan pantatnya di sampingku. Malik masih berdiri, menunduk, menghadap kami berdua. Dalam kegelapan, kulihat ia menggaruk-garuk pantat.
“Entahlah, banyak yang me-retweet dan tweet, saya tidak bisa melacak siapa yang pertama kali memulai. Sepertinya, ada kelompok lain yang ingin ikutlakon kita.
“Ini sebuah pertanda, kawan. Kita harus lanjut,” kataku, “Hei, hentikan garukanmu!”
“Tidak bisa, bro. Gatal sekali di bawah sini. Kayaknyatumbuh bisul baru,”
“Awas kau salah pakai kostumku, nanti aku bisa tertular penyakit jalananmu,” Asjir mendengus.
“Tenanglah. Bagaimana pun situasinya, kita tetap menjalankan rencana awal. Persiapan kita sudah matang. Dari awal, semua ini sudah kita ramal akan terjadi. Sebab dan akibat, keduanya dapat diciptakan dan dihentikan,”
“Jadi kita lanjutkan?” tanya Malik
“Di balik kebenaran yang relatif, situasi ini justru membuka ruang bagi rencana kita,” jawabku. Malik terus menggaruk, menuju bagian depan selangkangannya.