Nenek kesayangan saya mati. Sima mati bukan karena apa-apa,
memang sudah saatnya. Matinya natural. Keluarga besar dari garis ibu pun
berkumpul di rumah nenek. Mereka datang dari segala penjuru. Aku juga hadir,
sekadar memeluknya terakhir kali (sebab itu yang paling disukainya dariku)
kemudian aku berlalu tanpa mengantarnya ke pemakaman. Waktu di sore hari itu
malah kuhabiskan bersama kekasihku. Soalnya semasa hidup, Sima selalu periang.
Pasti dia tidak ingin ditangisi.
Sima lahir di Manipi, Sinjai Barat. Keluarga kami mendiami
sekitaran situs kerajaan Manipi. Ada yang bilang kami masih keturunan kejayaan
masa lalu itu, tetapi Sima menampiknya, “Ah, tidak ada itu yang dibilang
Karaeng kecuali Karaeng Allah Ta’ala” seraya menengadah ke langit-langit rumah.
Eh, dia benar. Dari kacamata linguistik, Sima tidak merujuk kepada Tuhan bagi
satu agama tertentu, tetapi Tuhan Yang Esa, Tuhan Semesta Alam.
Ketika Sima remaja, pimpinan DI/TII wilayah Manipi dan
sekitarnya (entah bagaimana pastinya, yang jelas kata Sima penculiknya itu
orang penting dari kalangan gerilyawan). Dia diculik untuk kepentingan politik:
menikahi anak dari keluarga berpengaruh di suatu wilayah. Kata Sima, orang itu
sempat melamar baik-baik, tetapi Sima menolak karena dia masih young, wild, and
free. Terlebih pula, kakek buyut dan keluarga tidak menyukai motivasi di
baliknya. Nenek diculik pada suatu malam dan dia dibawa ke dalam tenda
persembunyian mereka di tengah hutan. Sementara itu, gerilyawan mengejak kakak
Sima (kakek Tallasa namanya), sebab menolak dipaksa menyebut dua kalimat
syahadat. Tallasa lari menerobos hutan dan lembah hingga terjebak di ujung “Tebing
Penghakiman”. Tebing itu masih ada sampai hari ini. Sebagai titik yang
menyeramkan, tempat itu dijadikan spot eksekusi adat bagi para pelanggar atau
kriminal.