“Aku percaya, surga memiliki keindahan yang tak dapat dicapai alam pikir manusia. Namun, Tuhan menjatuhkan potongan-potongannya ke bumi agar manusia dapat menikmatinya semasa hidup. Salah satu potongan itu jatuh di pantai-pantai Makassar. Sementara uncle Bob, sukarela mengelola surga kecil itu untuk kaum merah-kuning-hijau”
Dalam
hidupku, aku berusaha membaginya sama adil untuk tiap kesenanganku. Menulis,
membuat film, dan bercinta. Bertualang merupakan benang merah ketiga doping-ku
ini. Demi bertualang, aku dapat mengorbankan apa pun.
“Terkadang, petualangan paling menarik adalah yang tak terencana”

Dengan
kargo pendek, eiger pinjaman, kemeja flannel, dan sling bag yang telah menempel
di tubuhku selama dua hari, aku mengiyakan ajakan si Begal. Ia memasukkan
tenda, matras, headlamp, dan pakaian ganti ke dalam drybag hijau andalannya. Kami
siap berangkat.
Aku
dan Begal mengendarai motor trail pinjaman (entah didapatkannya dari mana,
karena Begal mengendarai CB klasik) menuju dermaga Kayu Bangkoa, di jalan Pasar
Ikan, dekat Makassar Golden Hotel. Tak lama menunggu, Sandi, salah seorang
pemilik Speedboat siap mengantar kami menyeberang ke pulau Lae-lae.
Arsitektur penerangan sepanjang pelabuhan Makassar, Pantai Losari, dan Jalan Penghibur
tampak menakjubkan dari jarak 1,5 km dari bibir daratan. Gedung-gedung tinggi
tak berjejer rapi seperti dalam poster iklan pariwisata Makassar di google. Tampak
apa adanya, sederhana, namun penuh misteri. Seolah kota itu tengah berujar, “Kami
baik-baik saja dengan kondisi ini, jangan polesi kami jadi menor,” aku menghela
nafas panjang. Ketakutan tampak menyelimuti kotaku.
Puluhan
anak-anak pantai menyambut kami di dermaga utama. Sandi berjanji akan menjemput
kami besok malam. Aku dan Begal berjalan kaki ke arah timur pulau, tempat
karang pemecah ombak sepanjang satu kilometer berada. Karang ini menjadi titik
wisata utama Lae-lae. Melewati jejeran pohon tinggi dan balla-balla, dibangun
area bersantai sepanjang 20 meter oleh seorang pemuda pantai hebat bernama Bob
Samalona. Baiklah, beliau memang sudah tidak muda lagi. Akan tetapi, caranya
memandang hidup dapat membuat anak muda merasa cukup tua untuk berada di
dekatnya. Kami di sambut uncle Bob di gerbang masuk, ia ditemani beberapa anak
pantai dan sepotong ukiran kayu berbentuk kepalanya sendiri.
Oktober
2014 lalu, uncle mengadakan acara bersama puluhan musisi Makassar lainnya. Beliau
memang dikenal sebagai musisi reggae senior (silakan lihat karya-karyanya di
youtube). Band-band anthem Makassar, seperti Galarasta dan Melismatis ikut
serta dengan sukarela dalam event yang uncle adakan, bertajuk “Sunset to
Sunrise”. Tahun ini, uncle berencana mengadakannya lagi. Untuk itu, tampaknya
uncle tak butuh banyak bantuan dari orang-orang di daratan Makassar.
Uncle
Bob telah mengumpulkan alat dan bahan untuk membangun venue-nya: Bob Beach. Area
pemecah ombak yang sudah indah, ia tambahkan sedikit pemanis, dengan rumah
pohon, net tents, pagar-pagar dari kayu, hammock buatan, stage, pahatan kayu,
balla-balla dari bamboo, dan meja berhiaskan kerang-kerang mutiara.
Ia
mendatangkan sendiri, potongan-potongan kayu, bamboo, dan peralatan yang
dibutuhkannya entah dari mana. Orang-orang di pulau tak pernah heran dengan
kemampuannya, Uncle telah dikenal sebagai semacam waterman, yang dapat
merenangi jejeran pulau spermonde tanpa bersusah payah. Uncle pernah berenang
dari Lae-lae ke Samalona, tempat ia berjodoh dengan istrinya yang sekarang.
Uncle
Bob memberi kami kuasa untuk menggunakan pantainya sesuka kami. Begal pun
memasang tenda agak menjorok ke laut, tepat di sisi balla-balla. Aku mengeluarkan
ransum ke atas meja, mengatur paket untuk makan malam dan sarapan. Uncle akan
kembali, membawa sesajen khas agamanya. Tetapi, uncle tak tahu kami membawa
sesajen kami sendiri. Yah, bakar satu biar laper dulu!
Sayangnya,
Bob Beach belum dapat memiliki penerangan yang cukup. Mungkin uncle sedang
mencari cara selain mendatangkan genset raksasa dari daratan. Sumber listrik di
pulau juga terbatas, para penduduk baru dapat menikmatinya saat malam tiba. Di siang
hari, hanya fasilitas utama yang mendapatkan listrik, sekolah misalnya.
Semalam Tidak
di Bumi
Uncle
kembali bersama beberapa anak pantai. Rata-rata masih duduk di bangku sekolah
menengah pertama. Kami berbaring dalam net tent pribadinya, menikmati panduan
navigasi utama para pelaut di permukaan langit sana. Weeds berpindah dari
jemari ke jemari. Uncle secara sengaja menjatuhkan pocongan yang sisa sepotong
ke pasir. Salah seorang anak memungutnya. Uncle membiarkan anak itu menghirup
asapnya yang membahagiakan. Begitulah cara uncle mendidik para anak pantai. Bukan
hal yang pantas mengajari anak kecil merokok, tetapi bagi uncle, merokok bukan
alat ukur hati manusia. Ia berkata, anak-anak pantai ini tidak boleh tumbuh
jadi pribadi-pribadi lembek. Dalam jadwal yang tak teratur, uncle mengajari
mereka berenang, snorkling, dan diving secara cuma-cuma. Aku melihat anak-anak
pantai itu ibarat pengikut seorang nabi, nabi kecil yang diutus ke pulau kecil.
Uncle
membagi banyak cerita pada kami. Tentang dua gadis dari Bone yang menyempatkan
diri mengunjungi surga kecilnya, tentang dua gadis lain yang membawakannya ponsel
smartphone berkemampuan rekam video yang cadas, tentang bule-bule yang pernah ia
dampingi dan tetap menjadi temannya hingga kini. Begal bercerita bahwa istri
pertama uncle adalah seorang wanita bule. Aku mencoba menghubungkannya dengan
jalur hidup uncle sekarang, yang kosong tapi berisi. Akan tetapi, kisah ini
mungkin bakal jadi kisah film televisi murahan.
Uncle
tak suka jika anak-anak pantai, atau siapapun yang pernah berkunjung ke
pantainya dan merasa sungkan untuk melakukan apapun dalam area itu. Uncle ingin
setiap orang merasa memiliki Bob Beach, setiap orang memperlakukan inspirasi
yang ditemukannya dengan baik. Singkat cerita, uncle ingin anak-anak pantai dapat menemukan
dirinya dalam Bob Beach. Area relaksasi yang dibuatnya ini adalah cara Uncle
Bob berbagi surga kecil yang dititipkan padanya.
Aku
menuliskan penggalan cerita ini di bawah pohon mangga, di halaman studio
Inkmotion Screenprinting, tempatku menghabiskan waktu-waktu selow sebulan ini. Semoga
teman-teman Inkmotion sempat menemui uncle Bob sebelum surga kecil di pucuk
pulau Lae-lae ini disentuh tim dekorasi proyek CPI.