“Aku percaya, surga memiliki keindahan yang tak dapat dicapai alam pikir manusia. Namun, Tuhan menjatuhkan potongan-potongannya ke bumi agar manusia dapat menikmatinya semasa hidup. Salah satu potongan itu jatuh di pantai-pantai Makassar. Sementara uncle Bob, sukarela mengelola surga kecil itu untuk kaum merah-kuning-hijau”

Dalam hidupku, aku berusaha membaginya sama adil untuk tiap kesenanganku. Menulis, membuat film, dan bercinta. Bertualang merupakan benang merah ketiga doping-ku ini. Demi bertualang, aku dapat mengorbankan apa pun.

“Terkadang, petualangan paling menarik adalah yang tak terencana”

Seminggu belakangan -- mungkin karena keputusanku meninggalkan begitu banyak tanggungjawab yang sudah menumpangi tubuhku selama beberapa tahun-- aku merasa sangat bosan. Walau tetap kubuat keseharianku seacak mungkin, tetap saja bosan dapat menyergap. Sepulang operasi Leang Puteh, aku mendapatkan banyak lingkaran baru, yang lebih berwarna dari lingkaran lamaku. Salah seorang manusia, yang kini menjadi partner in crime baruku, kupanggil Begal, mendapatkan sms dari anak pantai Lae-lae, saat ‘high’ kami menurun. Anak-anak pantai itu rindu padanya. “Yuk, ke Lae-lae malam ini!” ajaknya.


Dengan kargo pendek, eiger pinjaman, kemeja flannel, dan sling bag yang telah menempel di tubuhku selama dua hari, aku mengiyakan ajakan si Begal. Ia memasukkan tenda, matras, headlamp, dan pakaian ganti ke dalam drybag hijau andalannya. Kami siap berangkat.

Aku dan Begal mengendarai motor trail pinjaman (entah didapatkannya dari mana, karena Begal mengendarai CB klasik) menuju dermaga Kayu Bangkoa, di jalan Pasar Ikan, dekat Makassar Golden Hotel. Tak lama menunggu, Sandi, salah seorang pemilik Speedboat siap mengantar kami menyeberang ke pulau Lae-lae.

Arsitektur penerangan sepanjang pelabuhan Makassar, Pantai Losari, dan Jalan Penghibur tampak menakjubkan dari jarak 1,5 km dari bibir daratan. Gedung-gedung tinggi tak berjejer rapi seperti dalam poster iklan pariwisata Makassar di google. Tampak apa adanya, sederhana, namun penuh misteri. Seolah kota itu tengah berujar, “Kami baik-baik saja dengan kondisi ini, jangan polesi kami jadi menor,” aku menghela nafas panjang. Ketakutan tampak menyelimuti kotaku.

Puluhan anak-anak pantai menyambut kami di dermaga utama. Sandi berjanji akan menjemput kami besok malam. Aku dan Begal berjalan kaki ke arah timur pulau, tempat karang pemecah ombak sepanjang satu kilometer berada. Karang ini menjadi titik wisata utama Lae-lae. Melewati jejeran pohon tinggi dan balla-balla, dibangun area bersantai sepanjang 20 meter oleh seorang pemuda pantai hebat bernama Bob Samalona. Baiklah, beliau memang sudah tidak muda lagi. Akan tetapi, caranya memandang hidup dapat membuat anak muda merasa cukup tua untuk berada di dekatnya. Kami di sambut uncle Bob di gerbang masuk, ia ditemani beberapa anak pantai dan sepotong ukiran kayu berbentuk kepalanya sendiri.





Oktober 2014 lalu, uncle mengadakan acara bersama puluhan musisi Makassar lainnya. Beliau memang dikenal sebagai musisi reggae senior (silakan lihat karya-karyanya di youtube). Band-band anthem Makassar, seperti Galarasta dan Melismatis ikut serta dengan sukarela dalam event yang uncle adakan, bertajuk “Sunset to Sunrise”. Tahun ini, uncle berencana mengadakannya lagi. Untuk itu, tampaknya uncle tak butuh banyak bantuan dari orang-orang di daratan Makassar.

Uncle Bob telah mengumpulkan alat dan bahan untuk membangun venue-nya: Bob Beach. Area pemecah ombak yang sudah indah, ia tambahkan sedikit pemanis, dengan rumah pohon, net tents, pagar-pagar dari kayu, hammock buatan, stage, pahatan kayu, balla-balla dari bamboo, dan meja berhiaskan kerang-kerang mutiara.







Ia mendatangkan sendiri, potongan-potongan kayu, bamboo, dan peralatan yang dibutuhkannya entah dari mana. Orang-orang di pulau tak pernah heran dengan kemampuannya, Uncle telah dikenal sebagai semacam waterman, yang dapat merenangi jejeran pulau spermonde tanpa bersusah payah. Uncle pernah berenang dari Lae-lae ke Samalona, tempat ia berjodoh dengan istrinya yang sekarang.

Uncle Bob memberi kami kuasa untuk menggunakan pantainya sesuka kami. Begal pun memasang tenda agak menjorok ke laut, tepat di sisi balla-balla. Aku mengeluarkan ransum ke atas meja, mengatur paket untuk makan malam dan sarapan. Uncle akan kembali, membawa sesajen khas agamanya. Tetapi, uncle tak tahu kami membawa sesajen kami sendiri. Yah, bakar satu biar laper dulu!




Sayangnya, Bob Beach belum dapat memiliki penerangan yang cukup. Mungkin uncle sedang mencari cara selain mendatangkan genset raksasa dari daratan. Sumber listrik di pulau juga terbatas, para penduduk baru dapat menikmatinya saat malam tiba. Di siang hari, hanya fasilitas utama yang mendapatkan listrik, sekolah misalnya.

Semalam Tidak di Bumi
Uncle kembali bersama beberapa anak pantai. Rata-rata masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kami berbaring dalam net tent pribadinya, menikmati panduan navigasi utama para pelaut di permukaan langit sana. Weeds berpindah dari jemari ke jemari. Uncle secara sengaja menjatuhkan pocongan yang sisa sepotong ke pasir. Salah seorang anak memungutnya. Uncle membiarkan anak itu menghirup asapnya yang membahagiakan. Begitulah cara uncle mendidik para anak pantai. Bukan hal yang pantas mengajari anak kecil merokok, tetapi bagi uncle, merokok bukan alat ukur hati manusia. Ia berkata, anak-anak pantai ini tidak boleh tumbuh jadi pribadi-pribadi lembek. Dalam jadwal yang tak teratur, uncle mengajari mereka berenang, snorkling, dan diving secara cuma-cuma. Aku melihat anak-anak pantai itu ibarat pengikut seorang nabi, nabi kecil yang diutus ke pulau kecil.




Uncle membagi banyak cerita pada kami. Tentang dua gadis dari Bone yang menyempatkan diri mengunjungi surga kecilnya, tentang dua gadis lain yang membawakannya ponsel smartphone berkemampuan rekam video yang cadas, tentang bule-bule yang pernah ia dampingi dan tetap menjadi temannya hingga kini. Begal bercerita bahwa istri pertama uncle adalah seorang wanita bule. Aku mencoba menghubungkannya dengan jalur hidup uncle sekarang, yang kosong tapi berisi. Akan tetapi, kisah ini mungkin bakal jadi kisah film televisi murahan.




Uncle tak suka jika anak-anak pantai, atau siapapun yang pernah berkunjung ke pantainya dan merasa sungkan untuk melakukan apapun dalam area itu. Uncle ingin setiap orang merasa memiliki Bob Beach, setiap orang memperlakukan inspirasi yang ditemukannya dengan baik. Singkat cerita, uncle ingin anak-anak pantai dapat menemukan dirinya dalam Bob Beach. Area relaksasi yang dibuatnya ini adalah cara Uncle Bob berbagi surga kecil yang dititipkan padanya.




Aku menuliskan penggalan cerita ini di bawah pohon mangga, di halaman studio Inkmotion Screenprinting, tempatku menghabiskan waktu-waktu selow sebulan ini. Semoga teman-teman Inkmotion sempat menemui uncle Bob sebelum surga kecil di pucuk pulau Lae-lae ini disentuh tim dekorasi proyek CPI.